tirto.id - Herman (Teddy Syach) sedang main organ tua di ruang tamu, saat istrinya Sri (Putri Ayudia) menyiapkan makan malam. Di luar hujan deras dan angin kencang, tetapi jendela rumah mereka sama sekali tak ditutup.
Lataritu dirakit bukan tanpa alasan. Ada suasana kontras yang ingin ditonjolkan: rumah Herman diisi keceriaan sang ayah yang girang bernyanyi sumbang lagu Mawar Berduri versi Tetty Kadi, sementara di luar sudah gelap-gulita lengkap dengan badai serta kilat dan geledek yang berlomba.
Beberapa kali, kamera menyorot tampang Sri, Herman, dan sesekali Dina (Nadya Arina)—putri mereka—dengan jarak sangat dekat. Di lain waktu, kamera sengaja mengambil ekspresi para aktor dengan teknik frame. Sorotan close up dan teknik frame itu memberi kesan ‘terperangkap’ yang kuat. Kita tahu kalau sesuatu yang buruk akan terjadi, dan orang-orang di rumah itu tak akan bisa mengelak. Meski para aktor sedang ketawa-ketiwi, dan suasana lumayan girang, ancaman itu terasa kental.
Sehingga ketika Herman akhirnya tersedak, batuk darah, dan memuntahkan beling di atas meja makan, lalu semaput, penonton ikut panik. Upaya membangun situasi mencekam yang dilakukan sutradara Azhar Kinoi Lubis berhasil. Adegan pembuka itu sukses jadi pemantik misteri yang bikin kita penasaran.
Apa yang sedang terjadi? Siapa yang menyantet Herman? Siapa perempuan yang berdiri di luar rumah mereka?
Sepotong adegan sebelum credit title pembuka itu berhasil membangun suasana horor yang dibutuhkan film, sempurna dengan sinematografi yang estetis. Sebagai penonton, saya langsung menangkap keseriusan Kinoi dan timnya dalam membuat film ini—membuat saya merasa dihargai. Perasaan begini penting mengingat masih banyak film Indonesia yang berani muncul dengan naskah dan presentasi seadanya—alias cuma cari untung belaka.
Namun, adegan-adegan setelah itu justru tampil loyo. Misteri santet—yang jadi batang pokok Kafir: Bersekutu dengan Setan, film keluaran Starvision ini—selebihnya tertebak belaka. Faktor utamanya adalah kosongnya konteks dan karakterisasi yang tak tergali dengan baik.
Kematian Herman di atas meja makan sebetulnya sudah lebih dulu dilempar Kinoi dalam trailer. Sehingga plot tersebut tak lagi mengejutkan. Namun dalam sepuluh menit pertama itu, naskah berhasil membangun karakterisasi kuat pada keluarga kecil Herman yang jadi tokoh utama. Kita akan paham bahwa keluarga mereka bahagia, Herman dan Sri adalah pasangan mesra, Dina suka pada cerita detektif, Andi (Rangga Azof)—putra sulung keluarga itu—adalah anak kuliahan, dan keluarga mereka punya perspektif tradisional tentang peran laki-laki dan perempuan.
Citra harmonis keluarga kelas menengah itu cukup untuk bikin kita simpati. Sehingga kelak kita juga akan ikut takut saat tokoh-tokoh tersebut diteror horor.
Karakterisasi bagus itu nyatanya tak konsisten dipertahankan Rafki Hidayat dan Upi, sang penulis naskah. Setidaknya tidak pada semua karakter, terutama pada Hanum (Indah Permatasari) dan Leila (Nova Eliza). Hanum yang muncul sejak awal cerita dibangun terlalu misterius dan dominan. Padahal ia diperkenalkan sebagai calon pacar Andi, yang dibawa ke rumah pada malam hari. Sebagai film dengan latar 1998, dan rumah yang di daerah bukit, bukankah kedatangan Hanum harusnya memicu konflik pada Sri?
Untuk keluarga kelas menengah yang ketat tentang pembagian tugas perempuan dan laki-laki—alias keluarga patriarki tradisional—bukankah sambutan hangat Sri pada Hanum terasa aneh?
Keanehan itu cukup menonjol, membuat kehadiran Hanum yang pada awalnya ditampilkan protagonis jadi mencurigakan. Makin mencurigakan, ketika Leila, ibu Hanum tak pernah tampil nyaris sampai babak dua pertiga habis. Belum lagi, adegan-adegan Hanum selalu dipotong di beberapa adegan klimaks. Seolah-olah ia tak terlibat dalam teror yang menyerang Sri dan keluarganya.
Bila maksud Rafki dan Upi berniat membangun karakter Hanum jadi kejutan di akhir film, menurut saya mereka gagal belaka.
Beruntung, pemicu konflik ini digali cukup menarik. Ada isu perselingkuhan yang dibalut perspektif pelakor—perebut laki orang—yang dijadikan motivasi sang antagonis untuk memburu keluarga Sri. Naskah Rafki dan Uki mengupas dendam kaum perempuan yang dikonstruksi budaya patriarki sebagai korban, terutama dalam isu perselingkuhan.
Menariknya, sang antagonis turut membunuh Herman—laki-laki yang menyebabkan konflik ini. Oleh naskah Rafki dan Upi, sang antagonis ditampilkan benar-benar tenggelam buta pada dendamnya, bukan pada cintanya ke Herman. Sehingga karakter ini tampil benar-benar kuat dan ngeri. Bahkan, satu-satunya adegan yang berpotensi menyebar ketakutan di film ini baru muncul di ujung film, ketika sang antagonis utama juga muncul.
Lalai pada Konteks
Kesalahan lain naskah Kafir adalah konteks yang kosong melompong. Satu-satunya informasi latar yang diberikan pada penonton adalah tanggal kematian Herman yang tercantum di nisan: Mei 1998. Pada bulan itu, reformasi berhasil menggantikan Orde Baru. Sejumlah titik di Indonesia, terutama Pulau Jawa ricuh dan bergejolak. Keluarga yang punya anak mahasiswa pada masa itu pasti sedikit-banyak pasti tahu tentang momentum bersejarah tersebut. Ekonomi Indonesia jadi salah satu ihwal kasatmata yang kena dampak.
Namun, Rafki dan Upi sama sekali tak menyelipkan informasi apa-apa tentang itu. Bahkan tidak dalam sebaris dialog pun. Atmosfer di sekitar keluarga Sri baik-baik saja. Andi yang dirakit sebagai anak kuliahan cuma berfungsi sebagai karakter skeptis—tokoh antithesis dari semua kegaiban dan hal supranatural yang menimpa keluarganya.
Cerita Kafir benar-benar fokus pada misteri: siapa penyantet keluarga Herman. Semua keadaan yang dibangun dalam naskah cuma mendukung plot tersebut, sehingga keteteran pada detail-detail kecil—yang harusnya bisa jadi lebih menguatkan cerita. Kita tak tahu di mana Andi kuliah, apa pekerjaan Herman sebelum mati?
Naskah Rafki dan Upi juga tak menyediakan informasi apa pun tentang di mana keluarga itu tinggal. Kita cuma tahu diberi latar bukit, hutan, ladang tebu, dan rumah-rumah tua yang dibikin dari kayu. Padahal latar tempat seharusnya jadi informasi penting yang tak boleh tercecer. Fungsinya bisa sangat kuat. Setidaknya, kita jadi tak bingung: kenapa kadang Andi pakai logat Jakarta, Saidah (Oce Permatasari) pakai logat Sumatera, dan orang-orang di kampung mereka pakai bahasa Indonesia baku?
Padahal, tiap daerah di Indonesia punya bahasa daerah masing-masing. Jika tak di kota-kota besar, rasanya jarang menemui kampung-kampung yang pakai bahasa Indonesia baku.
Informasi lokasi harusnya juga bisa menjelaskan mengapa pakaian para tokoh lebih terlihat seperti dari era 1980-an ketimbang 1990 akhir menjelang millenium.
Minim Jumpscare
Kafir pada dasarnya film yang dibuat cukup serius, meski naskahnya masih bolong di mana-mana. Bak permainan Jenga yang sudah berjalan separuh waktu, bangunan naskahnya kurang kokoh. Keputusan Kinoi yang juga meminimalisir jumpscare di film ini jadi terasa kurang tepat. Untuk film yang mengandalkan plot misterius dan ketidaktahuan penonton, bolong-bolong dalam naskah Kafir jadi masalah besar.
Nyaris tak ada yang menakutkan di film ini. Terornya terasa hampa karena nyaris tak ada monster atau hantu. Kinoi kelihatan berusaha menakuti penonton lewat teror psikologi yang dihadapi tokoh Sri, dan Ayudia memerankan karakter itu dengan cukup baik. Sayang sekali, horor itu tak cukup.
Hereditary (2018), film horor yang juga amat minim jumpscare lebih berhasil membikin horor yang tebal karena kualitas naskah yang lebih rapi dan detail. Tak ada yang bolong dari naskahnya.
Permainan cahaya Hereditary juga jauh lebih baik. Sebagian besar latar Hereditary dibikin sutradara Ari Aster gelap sekali—memang bukan hal baru dalam film horor arus utama. Hanya saja, dalam banyak sekali adegan, layar benar-benar gelap. Kadang terlalu gelap, sampai kita pikir kita cuma melihat satu orang aktor di sana. Saat mata mulai terbiasa, kita mulai menyadari ada sesuatu di sudut layar. Sayangnya, layar terlalu gelap untuk bikin yakin memang ada sesuatu. Sampai… shit, ternyata memang ada sesuatu!
Efeknya sangat traumatik. Bikin saya paranoia kalau melihat ke arah tempat yang memang gelap gulita. Sesuatu yang sama sekali tak saya dapatkan ketika menonton Kafir. Semua suasana yang dibangun Hereditary dilakukan dengan porsi yang cukup sehingga penonton bisa fokus untuk ditakuti, bukan malah bertanya-tanya.
Editor: Suhendra