tirto.id - Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani menilai kenaikan upah minimum provinsi (UMP) pada tahun ini akan meningkatkan daya beli masyarakat Indonesia. Rosan berpendapat demikian karena kenaikan UMP tahun ini tidak diiringi inflasi yang tinggi sehingga dapat membuat kondisi perekonomian jadi lebih baik.
“Sehingga mereka punya daya beli. Karena daya beli masyarakat adalah yang mestinya kita jaga. Jadi kalau UMP naik, daya beli bisa naik,” kata Rosan di Kementerian Perdagangan, Jakarta pada Senin (6/11/2017).
Dia menambahkan, “Dari sisi pekerja, harusnya mereka punya duit lebih. Jadi menurut saya, pengeluaran semestinya jadi lebih jalan pada tahun depan. Karena selain UMP naik, inflasi kita juga terjaga.”
Lebih lanjut, Rosan optimistis kenaikan UMP tidak akan membebani perusahaan. Dia mengapresiasi keputusan pemerintah untuk menaikkan UMP dengan mengacu pada formula yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), yakni data pertumbuhan ekonomi kumulatif pada triwulan III 2016 hingga triwulan II 2017 yang sebesar 4,99 persen, ditambah tingkat inflasi pada September 2017 (year-on-year) di angka 3,72 persen.
“Jadi para pengusaha sudah mengantisipasinya dari jauh-jauh hari. Dengan formula seperti ini, kenaikannya pun nggak lebih dari 10 persen, karena kebanyakan di level hampir 9 persen,” ungkap Rosan.
Namun, Rosan juga mengingatkan agar tingkat permintaan pasar harus terus didorong. Dia mengimbau agar kebijakan-kebijakan pemerintah, yang cenderung memberatkan pelaku usaha, tidak dikeluarkan.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menyambut baik kenaikan UMP tahun ini yang tetap mengikuti skema ketentuan dalam PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
“Konsekuensi masalah upah, nggak ada yang bisa dipuaskan. Buruh minta lebih, pengusaha minta turun,” ucap Hariyadi di Bursa Efek Indonesia, Jakarta pada hari ini.
Hariyadi membenarkan penetapan kenaikan UMP dengan mengacu pada formula pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi lebih memberikan kejelasan bagi pengusaha.
Hal itu, menurut dia, sulit terjadi ketika kenaikan UMP mengacu pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menghitung UMP berdasarkan kebutuhan hidup layak, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi.
“Jadi sekarang orang ada pegangan, bisa ada perencanaan,” kata Hariyadi.
Meskipun kalangan pengusaha mengapresiasi formula kenaikan UMP itu, banyak organisasi buruh selama ini justru mengkritiknya. Sejumlah organisasi buruh menilai kenaikan UMP berdasar PP Pengupahan belum memenuhi kebutuhan para pekerja.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Addi M Idhom