tirto.id - Kabar terbaru hari ini, Senin 9 November 2020 dari aktivitas Gunung Merapi terus mengalami peningkatan sejak ditetapkannya status Siaga Level 3 beberapa hari lalu.
Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Hanik Humaida mengatakan, Gunung Merapi sempat mengalami guguran dengan jarak luncur 3000 meter mengarah ke barat pada hari Minggu kemarin sekitar pukul 12.50 WIB.
"Guguran yang terjadi tadi siang merupakan fenomena yang biasa terjadi di Gunung Merapi. Guguran tadi tidak disertai dengan kejadian awan panas," ungkap Hanik.
Untuk saat ini, kata Hanik, potensi bahaya dari aktivitas Merapi adalah guguran lava dan awan panas sejauh dengan jarak maksimal 5 kilometer.
"Untuk potensi bahaya saat ini masih sesuai rekomendasi, yaitu guguran lava, lontaran material vulkanik dari erupsi eksplosif, dan awan panas sejauh maksimal 5 kilometer dari puncak Merapi," ujarnya.
Nasib Pengungsi Merapi di Tengah Pandemi
Sejak ditetapkannya status Siaga Level 3 Gunung Merapi, pada 5 November lalu, warga yang tinggal di beberapa desa di sekitar kawasan Gunung Merapi telah mengungsi, tetapi tetap menerapkan protokol kesehatan.
Per Sabtu (7/11), jumlah pengungsi di Kabupaten Magelang, seperti diwartakan Antara, sudah mencapai 635 orang di tujuh titik pengungsian. Hal itu disampaikan Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Magelang Edy Susanto.
"Kemarin ada 607 pengungsi, saat ini jadi 635 orang. Tambahan 28 pengungsi ini berasal dari Desa Ngargomulyo dan Paten, Kecamatan Dukun," katanya saat meninjau pos pengungsian Merapi di Balai Desa Deyangan, Kecamatan Mertoyudan di Magelang, Sabtu (7/11).
Ia mengatakan, tambahan pengungsi itu langsung ditempatkan di Balai Desa Tamanagung dan tiga gedung lainnya, seperti Gedung Muhammadiyah, Gedung PPP, dan Gedung PDI serta lapangan futsal.
Selain itu, sebanyak 129 warga kelompok rentan di kawasan lereng Gunung Merapi, khususnya di Dusun Kalitengah Lor, Cangkringan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) juga diungsikan ke Balai Desa Glagaharjo, Cangkringan.
"Mereka telah dievakuasi kemarin (Sabtu) sore," kata Koordinator Bidang Operasi Tim Reaksi Cepat (TRC) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY Endro Sambodo.
Endro merincikan, kelompok rentan itu terdiri dari 31 balita, 3 orang ibu hamil, dan 95 lansia, 2 orang di antaranya merupakan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dan lima orang disabilitas.
Menurut Endro, sebagian kelompok rentan itu diungsikan ke Balai Desa Glagaharjo, Cangkringan, gedung SD dan TK yang letaknya di sebelah Balai Desa Glagaharjo.
"Mereka telah difasilitasi dengan dapur umum yang dikelola posko desa didampingi relawan dan Tagana," kata dia.
Selain itu, puluhan warga lereng Gunung Merapi yang masuk dalam kategori rentan, termasuk balita dievakuasi ke tempat penampungan pengungsian sementara (TPPS) di Desa Tlogolele Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, pada Senin (9/11).
Salah satu tokoh masyarakat setempat, Solekan mengatakan, sekitar 50 jiwa, baik lansia, ibu hamil, maupun balita dari Dukuh Stabelan dan Takeran yang dievakuasi ke TPPS Desa Tlogolele.
"Jumlah warga Stabelan dan Takeran Desa Tlogolele yang dievakuasi masih dapat bertambah karena kegiatan masih berlangsung hingga sekarang. Kami berharap Merapi tetap aman," katanya.
Menurut Kepala Desa Tlogolele Sungadi, warga Dukuh Stabelan dan Takeran masuk dalam Kawasan Rawan Bencana (KRB) III atau jaraknya sekitar 3 hingga 3,5 kilometer dari puncak.
Oleh karena itu, Badan Penanggulangan Bencana Daeerah (BPBD) Kabupaten Boyolali menyuruh warga yang rentan dievakuasikan ke bawah atau di TPPS Tlogolele.
"Jumlah data yang dievakuasi masih sekitar 50 orang dan ini masih bisa bertambah karena masih ada warga yang diturunkan ke TPPS hingga sekarang," kata Sungadi.
Relawan Merapi Ikut Tes Covid-19
Dalam melakukan evakuasi itu, puluhan relawan yang ditempatkan di barak pengungsian ikut menjalani tes cepat Covid-19. Badan Penanggulangan Bencana Daerah(BPBD) Kabupaten Sleman, DIY, melakukan tes cepat COVID-19 kepada 44 relawan yang bertugas di barak pengungsian di Kalurahan Glagaharjo, Kapanewon Cangkringan, Senin (9/11).
"Relawan yang bertugas di barak pengungsian ini harus bebas dari COVID-19 supaya tidak membahayakan pengungsi yang merupakan warga kelompok rentan," kata Pelaksana Kepala BPBD Kabupaten Sleman Joko Supriyanto seperti dilansir Antara.
Menurut dia, tidak semua relawan yang mendaftar ke BPBD Sleman akan langsung ditugaskan di barak pengungsian Glagaharjo. "Relawan yang telah mendaftar kami tampung dulu di Posko Induk di Pakem. Kemudian masng-masing relawan yang mendaftar, kami identifikasi keahliannya apa," katanya.
"Jika di Barak Glagaharjo belum dibutuhkan, mereka bersiaga di Posko Pakem. Di sana, ada dapur umum," lanjutnya.
Menurut Joko, tes cepat COVID-19 itu sangat penting karena barak pengungsian menampung kelompok rentan seperti lansia, ibu hamil dan balita serta difabel.
"Kalau ada relawan yang bertugas di sini positif bisa berbahaya. Di wilayah Kalurahan Glagaharjo ini sudah hijau semua, nggak ada satupun yang positif sehingga jangan sampai ada dari relawan," katanya.
Apabila ada relawan yang reaktif, maka langsung dilakukan tes usap dan tidak boleh piket. "Langsung kami minta untuk istirahat di rumah, isolasi mandiri," katanya.
Sementara itu, Juru Bicara Satgas Percepatan Penanganan COVID-19 Kabupaten Sleman Shavitri Nurmaladewi mengatakan ada sebanyak 44 relawan di barak pengungsian Glagaharjo yang mengikuti tes cepat.
"Dari 44 relawan yang mengikuti tes cepat, ada satu orang relawan yang hasilnya reaktif tapi hanya IgG. Besok tetap dilakukan tes usap untuk yang bersangkutan," katanya.
Editor: Agung DH