tirto.id - Dalam 17 tahun terakhir pengelolaan di kawasan Bandung Raya semakin "tercerai berai". Jika dulunya hanya Kota Bandung dan Kabupaten Bandung, kini sudah mengalami pemekaran dengan lahirnya Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat.
Bahkan wacana kemunculan Kabupaten Bandung Timur juga semakin menguat hari-hari terakhir ini. Komite Independen Pengawas Pembangunan dan Percepatan Pemekaran Kabupaten Bandung Timur (KIP4KBT) mengklaim mereka telah sukses mendapatkan surat rekomendasi dari DPD-RI terkait pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB).
Hal ini diungkap Wakil Ketua KIP4KBT, Atep Sumantri kepada Tirto, kemarin. "Surat rekomendasi sudah kami dapatkan, kami sekarang tinggal menunggu proses pengesahan dari Kemendagri, insya Allah setelah lebaran nanti rekomendasi itu akan diberikan," katanya.
Ada 15 kecamatan dengan total 147 desa yang direncanakan bakal dimekarkan dari Kabupaten Bandung dan membentuk kabupaten Bandung Timur. 15 Kecamatan itu di antaranya adalah kecamatan Nagreg, Cicalengka, Cikancung, Majalaya, Ibun, Paseh, Pacet, Cimenyan, Cileunyi, Rancaekek, Kertasari, Bojongsoang, Solokanjeruk, Baleendah, dan Ciparay.
Wacana pembentukan Bandung Timur bukanlah sesuatu hal yang baru. Isu KBT sudah ramai dibicarakan sejak 2005 lalu. Namun kala itu pemerintah Kabupaten Bandung di Soreang lebih memprioritaskan pendirian Kabupaten Bandung Barat yang akhirnya terealisasi pada 2007.
Didesak terus-terusan, pada 2009 DPRD Kabupaten Bandung akhirnya mengeluarkan Surat Rekomendasi No.12 tahun 2009 tentang Kajian Pembentukan KBT yang menekan Pemkab Bandung untuk segera mempersiapkan pembentukan KBT. Namun hal ini diabaikan oleh Bupati Kabupaten Bandung, Dadang Naseer. Alhasil wacana KBT pun terkatung-katung selama bertahun-tahun.
Dalam UU no.23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah menjelaskan salah satu syarat administratif pemekaran adalah rekomendasi dari DPD. Namun di sisi lain pada pasal 37 ayat b disebutkan syarat administratif pembentukan kabupaten baru adalah harus mendapatkan persetujuan bersama dari Bupati dan DPRD. Hal inilah yang kemungkinan besar mempersulit langkah pembentukan KBT.
Ketika coba dikonfirmasi, Bupati Kab. Bandung Dadang M. Naser enggan berkomentar banyak. "Itu, kan, diurus oleh Pemerintah Pusat, bukan urusan daerah. Dan sekarang, kan, sedang moratorium di pusat," katanya.
Ketika dikonfirmasi soal hambatan ini, Atep mengaku tetap optimis pembentukan KBT akan terealisasi pasca lebaran nanti. Namun dia juga paham, pembentukan KBT ini masih amat panjang. Setelah rekomendasi DPD, tahapan selanjutnya dibahas oleh Muspida dan DPRD Bandung, lalu beralih di tahapan Pemerintah dan DPRD Provinsi Jawa Barat di Gedung Sate, dan akhirnya barulah bermuara pada PP yang diketuk Kemendagri.
Jika pemekaran KBT ini betul-betul terjadi, maka dapat dipastikan pos pendapatan APBD Kabupaten Bandung akan berkurang hampir 60-75 persen. Saat ini Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kab. Bandung mencapai 800 miliar. Soal kekurangan pos pendapatan ini dibenarkan oleh seorang staf Sekretariat Daerah Kab. Bandung yang enggan disebutkan namanya.
"Selain dari mayoritas industri yang ada di kawasan Majalaya, Rancaekek dan sekitarnya, kehadiran Chevron di kawasan Drajat pun itu potensi besar bagi APBD kami," katanya.
Tentang pemekaran Bandung, baca uraian sejarah berikut:
Solusi yang Diabaikan
Dalih dimunculkannya wacana pembentukan KBT selalu berhulu pada tidak meratanya pembangunan infrastruktur yang terlalu berpusat di Soreang atau Banjaran dan sekitarnya. Selain itu alasan lain yakni akses pelayanan yang amat minim bagi masyarakat Bandung Timur, segala urusan administrasi mesti dilakukan terpusat di Soreang.
Ini isu penting karena luasnya wilayah Kabupaten Bandung memang menyulitkan. Sebuah kampung miskin yang berada di Desa Mekarmanik, Kecamatan Cimenyan, misalnya. Kampung ini bernama Cadas Gantung, berjarak hanya 7 kilometer dari Jalan A.H. Nasution, Ujungberung, Kota Bandung. Namun dari Soreang, kampung ini berjarak 30 kilometer.
Jarak Rancaekek di ujung timur menuju Soreang bahkan mencapai kisaran 45 kilometeran (tergantung rute yang dilewati). Ini jarak yang cukup jauh, hampir sama dengan jarak antara Monas ke Tambun di Bekasi.
Ketimbang memekarkan, bukankah lebih praktis dan mudah bagi Pemkab Bandung membuat sentra pelayanan tersendiri di daerah Bandung Timur agar mudah diakses warga. Toh, pada era canggih seperti ini pelbagai urusan administrasi bisa dikelola secara online.
Kritik ini sempat dikemukanan pakar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran, Indra Perwira dalam sebuah talkshow di PRFM, kemarin (16/5). Dia mengatakan pemekaran daerah Bandung Timur bukan solusi yang tepat.
"Membangun infrastruktur publik secara proporsional dan konsisten di wilayah timur itu lebih tepat dilakukan ketimbang melakukan pemekaran," katanya.
Menurut Indra, meski pemekaran daerah dilakukan, masyarakat tidak akan bisa langsung merasakan pemerintahan baru. Pada dua tahun pertama, daerah baru ini akan dibiayai pemerintah induk hingga mandiri. Selain itu, lima hingga tujuh tahun ke depan daerah baru akan lebih mengutamakan pembangunan infrastruktur untuk pemerintahannya.
"Infrastruktur publik akan dibangun belakangan. Pasti akan mendahulukan pembangunan infrastruktur pemerintahan (baca: gedung-gedung pemerintah)," ungkapnya.
Ketika hal ini ditanyakan kepada KIP4KBT, mereka menilai pemekaran adalah harga mati. Terkait soal pelayanan, bagi mereka, apa yang dilakukan Dadang Naseer menurutnya amat relatif minim dan hal itu tidak bisa ditoleransi lagi. "Satu-satunya solusi yaitu dengan pemekaran," kata Atep.
Sementara itu di sisi lain, Dadang Naseer sempat menuturkan bahwa kebijakannya yang lebih mentitikberatkan membangun Soreang karena Soreang adalah ibukota dan menurut Undang-Undang harus dikembangkan.
"Semua wilayah di Bandung Timur juga diakses, bahkan desa juga dianggarkan lebih kuat dan pembangunan juga terus dilakukan di sana. Hanya terkait ingin disamakan dengan Soreang ini tidak bisa dijadikan dalih. Kalau masih ada kekurangan dalam pelayanan, ya, kita tingkatkan pelayanannya. Kalau soal jarak yang jauh ke Soreang, kan, ada Jalan Tol Cileunyi,” elak Dadang, dikutip dari situs resmi Pemkab.
Baca juga laporan-laporan menarik terkait: Jawa Barat, sejarah di Priangan dan kebudayaan Sunda,
Pertarungan Para Elite
Tidak dapat dipungkiri wacana pembentukan KBT beririsan dengan kepentingan para elite politik. Potensi pendapatan yang cukup besar menjadikan KBT ini jadi lahan basah.
Hal ini juga disinggung oleh Indra Perwira. "Daerah baru ini bukan semata-mata untuk kesejahteraan rakyat atau manajemen pemerintahan saja. Cukup naif juga, daerah baru jadi ladang kantung suara partai politik (parpol), semakin banyak daerah semakin banyak uang berkiprah karena ada DPRD dan kepala daerah sendiri. Ini jadi investasi parpol untuk memperebutkan posisi dewan dan kepala daerah," katanya.
Salah satu tokoh yang giat mendukung dan digadang-gadang akan bertarung mengisi posisi nomor 1 jika KBT kelak terbentuk adalah Dadang Supriatna. Dia adalah anggota DPRD Kab.Bandung dan berasal dari partai Golkar - partai yang sama dengan Bupati Bandung, Dadang Naser.
"Meskipun saya berasal dari partai yang sama tapi soal KBT ini saya mendukung penuh, karena ini aspirasi dari masyarakat, saya pikir beliau (bupati) pun memahami hal ini," katanya kepada Tirto, kemarin.
Soal friksi antara dia dan Dadang Naser, menurutnya itu hal yang wajar. Dadang bersikukuh tetap mendukung pemekaran KBT karena dia berasal dari Dapil 3 yakni Cilengkrang, Cileunyi, Bojongsoang dan Cimenyan yang masuk dalam pemekaran ini. Ia tak segan mengkritik atasannya di Golkar yang disebutnya gagal mengembangkan Bandung Timur selama ini.
"Sejak wacana ini mencuat, bukti di lapangan Bandung Timur ini memang diabaikan oleh Bupati, dengan pemekaran saya harap bisa lebih optimal penataan dan pembangunan infrastrukturnya," tuturnya.
Ketika ditanya soal apakah totalitasnya mendukung KBT beririsan dengan ambisinya maju jadi Bupati KBT kelak, dia tak menampik hal itu. "
"Tapi prosesnya, kan, masih lama. Setelah disahkan Kemendagri pun biasanya selama 2 tahun awal ada Plt. yang ditunjuk oleh Pemrov," pungkasnya.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Aqwam Fiazmi Hanifan