Menuju konten utama

Jurus Bertahan Bule di Belantara Jakarta

Bagi warga asing, biaya hidup di Jakarta terhitung murah jika dibandingkan dengan kota-kota besar lainnya. Syaratnya, gaya hidup ala Barat harus dipangkas. Hal yang paling disukai dari Jakarta adalah keramah-tamahan orang-orangnya, namun tak jarang atau hampir semua orang yang pernah mampir ke Jakarta, ia mengeluhkan polusi, kemacetan, dan tata kota yang buruk.

Jurus Bertahan Bule di Belantara Jakarta
Ilustrasi FOTO/SHUTTERSTOCK

tirto.id - "Tinder banyak membantu aku belajar bahasa Indonesia," kata bule botak itu. Namanya Jon, atau Joe, atau Matt, atau Nick. Untuk lebih mudahnya, sebut saja dia Jon.

Jon pernah beberapa bulan mengikuti kursus bahasa Indonesia. Ia merasa bosan, dan kemampuan bicara Indonesianya tak kunjung meningkat. Bule berusia 27 tahun itu menemukan cara yang jauh lebih menyenangkan ketika iseng-iseng mencoba Tinder, sebuah aplikasi pencarian teman kencan berbasis lokasi.

Jika kamu di Kemang, misalnya, Tinder akan memilihkan calon pasanganmu yang di sekitar Kemang. Jika kamu suka satu orang, dan yang bersangkutan juga suka kamu, maka Tinder akan menyediakan fasilitas untuk melanjutkan hubungan. Selanjutnya, terserah kemampuan merayumu.

Saat kopi darat dengan gadis yang "match" dengannya di Tinder, Jon menemukan dirinya begitu bersemangat menjadi lucu dan menyenangkan dalam percakapan Indonesia. "Ini ajaib, ini keren. Di depan cewek-cewek bule, biasanya aku berusaha kelihatan pintar. Tapi kalau ketemu cewek Indonesia, aku tidak keberatan terdengar bodoh atau melakukan hal-hal bodoh," katanya.

Pertemuan-pertemuan dengan gadis baru itu dengan cepat menjadi rutinitasnya di luar kegiatan menulis. Ini menjadi semacam petualangan yang hebat. Kemampuan berbahasanya semakin terasah berkat percakapan dengan gadis-gadis yang disukainya. Sudah mengobati kesepian, kalau beruntung bisa dapat pacar, jadi jago bahasa Indonesia pula. Sungguh berkah tiada terkira.

Dari Tinder, Jon pernah kencan kilat dengan tiga puluhan gadis Indonesia. Beberapa berlanjut menjadi kencan serius.

Kehidupan Bule

Ini tahun kedua Jon tinggal di Indonesia. Di tahun pertamanya, ia menetap di Yogyakarta, sekarang di Jakarta.

Di tahun pertama, ia menulis serabutan di banyak media berbahasa Inggris. Kini, ia kontributor tetap untuk The New York Times. Kalau ada kesempatan menulis di tempat lain, ia tetap ambil. Lumayan, bayarannya ratusan dolar Amerika.

Februari adalah bulan yang buruk bagi Jon. Sementara biaya kebutuhan hidupnya di Jakarta tidak menunjukkan tanda-tanda akan menurun, pendapat menulisnya malah nyungsep. Ia hanya bisa mengantongi Rp4 juta dari satu honor tulisan di The New York Times. Sedangkan pengeluaran bulanannya, seperti biasa, Rp11,5 juta: Rp3 juta untuk sewa indekos, uang makan Rp3,5 juta, Rp2 juta ongkos transportasi, dan Rp3 juta untuk keperluan-keperluan lain seperti olahraga dan hiburan.

"Tapi tenang saja, bulan ini aku akan kaya-raya. Kira-kira (dapat) 3.000 dolar," katanya.

Hal yang paling disukai Jon dari Jakarta adalah keramah-tamahan orang-orangnya. Mudah baginya untuk berteman dengan siapa saja dari berbagai golongan. Mulai dari pelayan di restoran Padang di dekat indekosnya karena makan di sana 10 kali dalam seminggu, hingga pejabat eksekutif atau tokoh politik yang pernah jadi narasumbernya.

Di kota asalnya, New York, Jon tidak mendapati ini. Di sana, orang-orang yang tidak punya orang tua kaya, atau tidak punya gaji tinggi, selalu harus khawatir tentang uang. Menurut Jon, New York sangat stressful untuk anak muda. Mereka mau bersosialisasi hanya karena dua alasan: cari jodoh, atau get laid, dan untuk memajukan karier mereka. "Semua orang di sana fokus sama karier mereka, sangat tertutup," katanya.

Ia lalu bercerita, seorang temannya di New York, perempuan, pada satu Jumat mengajak rekan kerjanya yang juga perempuan untuk minum-minum di sebuah bar. Rekan kerja temannya itu menjawab, "Maaf, saya bukan gay."

Tapi ada sekian hal yang Jon benci tentang Jakarta, juga beberapa hal dari yang ia rindukan dari New York. Seperti hampir semua orang yang pernah mampir Jakarta, ia mengeluhkan polusi, kemacetan, dan tata kota yang buruk. Di New York, sistem transportasinya lebih terencana, ada sistem metro sehingga tingkat kemacetan tidak segila Jakarta, dan yang paling disukainya: banyak tontonan seni, musik dan teater yang bagus.

"Jakarta terlalu banyak mal. Nggak banyak bar atau kafe yang unique—oke, ada beberapa kafe bagus. Kalau ada acara yang menarik, aku biasanya malas pergi ke sana kalau terlalu jauh karena aku takut ditangkap macet. Hidupku di sini tidak jauh berbeda dengan seorang pertapa," katanya, tertawa.

Karena hidup hampir seperti pertapa itu, kecuali untuk liputan dan kencan Tinder, biaya hidupnya di Jakarta termasuk murah. Jauh lebih murah dibandingkan New York. Tapi ini juga relatif. Ke mana-mana Jon selalu naik ojek berbasis aplikasi seperti Gojek atau Grab Bike. Ia juga lebih biasa makan makanan padang atau warung tegal, dan jarang mabuk-mabukan. Itulah rahasia hidup murah ala pertapanya.

Hidup di Jakarta juga bisa sangat mahal untuk seorang ekspatriat. Terutama jika tinggal di rumah atau apartemen mewah dan hobi minum alkohol atau pergi klub malam. Menurut data Indosight, rata-rata bule menghabiskan uang USD 1.330 atau sekitar Rp17 juta, yang paling tinggi bisa sampai USD 2.770 atau Rp36,3 juta.

"Aku punya banyak teman bule yang tinggal di pusat kota dan mempertahankan gaya hidup barat mereka. Kalau gitu, biaya hidup di sini nggak akan jauh beda dengan Singapura atau New York," kata Jon.

Baca juga artikel terkait BIAYA HIDUP atau tulisan lainnya

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Arlian Buana