Menuju konten utama

JPU Minta Ahok Dijatuhi Hukuman Penjara Satu Tahun

Jaksa penuntut umum meminta hakim menjatuhkan hukuman penjara satu tahun dengan masa percobaan dua tahun kepada terdakwa penodaan agama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok karena dinilai memenuhi unsur pidana sebagaimana tertuang dalam Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

JPU Minta Ahok Dijatuhi Hukuman Penjara Satu Tahun
Terdakwa kasus dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama (kedua kiri) berjalan memasuki ruang sidang di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (7/3). Sidang ke-13 itu beragenda mendengarkan keterangan saksi-saksi yang meringankan terdakwa. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/aww/17.

tirto.id - Dalam persidangan kasus penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, Jaksa penuntut umum meminta hakim menjatuhkan hukuman penjara satu tahun dengan masa percobaan dua tahun.

Tindakan Ahok beberapa waktu lalu tersebut dinilai memenuhi unsur pidana sebagaimana tertuang dalam Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Menurut ketentuan itu, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Ahok menjadi terdakwa kasus penistaan agama karena menyebut bahwa ada pihak yang menggunakan Al Quran Surat Al Maidah 51 untuk membohongi saat berpidato di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016.

Potongan rekaman video pidato tersebut kemudian menyebar, dan memicu serangkaian aksi protes dari organisasi-organisasi massa Islam.

Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara kemudian menjadwalkan sidang pembacaan putusan perkara penistaan agama tersebut pada Selasa (9/5/2017) di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta.

Jelang pembacaan putusan perkara tersebut, banyak pihak berharap dan berpesan kepada majelis hakim supaya dapat memutus dengan bijak dan adil, serta tanpa intervensi dalam bentuk apapun.

Terkait dengan hal ini, Komisi Yudisial (KY) kemudian berpesan kepada majelis hakim yang menangani perkara dugaan penistaan agama tersebut supaya tetap independen dan imparsial dalam menjatuhkan putusan.

"Kemerdekaan dan independensi hakim diperlukan untuk menjamin imparsialitas dan keadilan dalam memutus perkara," ujar juru bicara KY Farid Wajdi.

KY mengimbau seluruh pihak supaya menghormati prinsip independensi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Hakim wajib menjaga kemandirian peradilan, yakni bebas dari campur tangan pihak luar dan bebas dari segala bentuk tekanan, baik fisik maupun psikis, tegas Farid.

Selain independensi, hakim tetapi juga memiliki akuntabilitas sehingga dapat menjalankan peradilan yang bersih, dipercaya oleh masyarakat dan menjadi kekuasaaan kehakiman yang berwibawa, kata Farid.

"Kami memastikan tugas KY mengawal proses sidang ini dilakukan dengan itikad yang baik dan sesuai dengan peran yang diberikan oleh negara," ujar Farid.

Farid mengatakan dalam mengawal proses persidangan untuk kasus ini, KY menggunakan dua metode.

"Kami melakukan pemantauan tertutup atau pemantauan terbuka, penggunaan metodenya sangat bergantung pada penilaian internal tentang urgensi kasus yang dihadapi," kata Farid.

Sementara itu berkaitan dengan substansi perkara, Farid menegaskan bahwa KY membatasi diri dalam hal ini.

Sebab selain independensi hakim yang wajib dijaga, Farid menjelaskan proses hukum dari perkara ini juga masih berlangsung.

"Fokus KY akan ada pada etika majelis hakim dalam mengelola perkara ini, baik perilaku di dalam sidang maupun perilaku di luar sidang," tutur Farid.

Pada Jumat (5/5/2017), elemen keagamaan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) menggelar Aksi Simpatik 55 dengan jalan kaki usai menjalani Shalat Jumat di Masjid Istiqlal menuju gedung Mahkamah Agung (MA).

Elemen keagamaan itu berencana menemui pimpinan MA dengan tuntutan supaya majelis hakim Pengadilan Negeri Utara menjaga independensi dalam memutus perkara terdakwa dugaan kasus penodaan agama.

Atas tuntutan massa Aksi Simpatik 55 ini, MA bersedia menemui 12 orang perwakilan dan melakukan dialog.

Adapun lima orang pimpinan MA yang menemui dan berdialog dengan 12 orang perwakilan dari Aksi Simpatik 55 adalah Sekretaris MA Pudjo Harsoyo, Kabiro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur, Kabiro Pengawasan MA Sunarto, panitera MA Made Rawa Aryawan, dan panitera muda pidana MA Suharto.

Usai bertemu dengan lima pimpinan MA, perwakilan dari massa Aksi Simpatik 55 Kapitra Ampera menjelaskan bahwa dalam dialog dengan lima pimpinan MA tersebut, pihaknya meminta keadilan atas perkara dugaan penistaan agama.

"Kami meminta supaya keadilan ditegakkan, dan mendukung independensi majelis hakim dalam memutus perkara," kata Kapitra.

Kapitra menambahkan aksi simpatik 55 ini merupakan bentuk dukungan massa kepada MA supaya mengedepankan keadilan dan independensi hakim.

"Tidak boleh ada campur tangan penguasa atau pihak manapun dalam bentuk apapun," lanjut Kapitra.

Dari dialog yang dilakukan oleh perwakilan aksi simpatik 55 dengan MA, Kapitra menyebutkan bahwa MA telah menjamin bahwa majelis hakim bebas dari segala bentuk intervensi.

Apa yang dikatakan oleh Kapitra kemudian dibenarkan oleh pihak MA yang diwakilkan oleh panitera MA Made Rawa Aryawan dalam jumpa pers usai dialog dengan 12 orang perwakilan Aksi Simpatik 55.

"Kami berani menjamin majelis hakim akan berlaku adil dan terbebas dari intervensi apapun bentuknya," kata Aryawan.

Pernyataan ini dikatakan untuk menanggapi tuntutan dari aksi simpatik 55 yang dilakukan oleh GNPF MUI.

Aryawan juga mengatakan bahwa independensi atau kebebasan hakim dalam menangani perkara dijamin oleh undang-undang, sehingga tidak boleh ada pihak manapun campur tangan dalam perkara yang ditangani oleh hakim.

"Intervensi ke hakim bisa dikenakan pidana," tegas Aryawan

Baca juga artikel terkait SIDANG AHOK atau tulisan lainnya dari Yandri Daniel Damaledo

tirto.id - Hukum
Reporter: Yandri Daniel Damaledo
Penulis: Yandri Daniel Damaledo
Editor: Yandri Daniel Damaledo