tirto.id - Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) merasa perlu ada pembenahan tata kelola di sekolah. Hal ini tercetus setelah Komisi Pelayanan Anak Indonesia (KPAI) mencatat adanya peningkatan kasus kekerasan bidang pendidikan di tahun 2018.
Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji menilai selama ini sekolah menjadi wilayah yang dikuasai hanya oleh kepala sekolah. Hal tersebut, menurutnya, perlu juga dibenahi dan membuat peningkatan kualitas sekolah menjadi tidak baik.
"Kasus Baiq Nuril seakan menampar muka pendidikan kita. Betapa kuatnya kepala sekolah dan tidak berdayanya komunitas sekolah. Harusnya semua punya peran yang balance," ujarnya pada Tirto, Jumat (28/12/2018).
Program Sekolah Ramah Anak (SRA) sebagaimana yang diamanatkan pada Intruksi Presiden No.01 Tahun 2017 tentang Gerakan Nasional Hidup Sehat hingga saat ini dinilai belum berjalan maksimal karena implementasi yang loyo sehingga SRA belum bisa menjadi gerakan nasional.
"Yang mau mengadopsi ya silakan. Yang tidak tertarik dengan program itu, ya tidak. Bahkan banyak sekolah yang tidak tahu apa itu program sekolah ramah anak," paparnya.
Sepanjang tahun 2018, KPAI mencatat ada 445 kasus bidang pendidikan, yang meliputi kasus kekerasan sebanyak 228, kasus tawuran pelajar 144 kasus, dan kasus kebijakan mencapai 73 kasus.
Oleh karena itu, KPAI juga berharap Kemdikbud, Kemenag, dan dinas-dinas terkait lebih memaksimalkan kembali program SRA yang selama ini belum maksimal.
"Jumlah SRA baru sekitar 11 ribu sekolah dan pesantren. Diharapkan SRA dapat menurunkan kekerasan di lingkungan sekolah," ujar Komisioner KPAI bidang Pendidikan Retno Listyarti di kantornya, pada Kamis (27/12/2018).
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Nur Hidayah Perwitasari