Menuju konten utama

"Jokowi Undercover", Polisi Ambil Alih Laporan Hendropriyono

Laporan kasus penyebaran fitnah buku “Jokowi Undercover” dengan tersangka Bambang Tri Mulyono oleh mantan kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Hendropriyono diambil alih prosesnya oleh Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, yang sebelumnya ditangani Polda Metro Jaya.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Rikwanto menunjukkan buku 'Jokowi Undercover' usai memberikan keterangan pers di Jakarta, Selasa (3/1). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga.

tirto.id - Laporan kasus penyebaran fitnah buku “Jokowi Undercover” dengan tersangka Bambang Tri Mulyono oleh mantan kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Hendropriyono diambil alih prosesnya oleh Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, yang sebelumnya ditangani Polda Metro Jaya.

"Benar, laporan Hendropriyono terhadap Bambang Tri di Polda Metro Jaya, diambil alih Bareskrim," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Polri Brigjen Pol Rikwanto, di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (6/1/2017) seperti dilansir dari Antara.

Hendropriyono diketahui melaporkan tersangka Bambang ke Polda Metro Jaya pada 21 Desember 2016 karena berkeberatan namanya dicatut dalam buku "Jokowi Undercover" yang ditulis Bambang. Laporan Hendropriyono ini adalah laporan ketiga, sebelumnya sudah ada dua laporan lain yang melaporkan Bambang ke Polda Metro Jaya.

Pertama, laporan hasil penyelidikan Polres Magelang dan Polda Jateng soal kasus buku "Jokowi Undercover" yang melibatkan Bambang. Bareskrim pun telah mengambil alih proses penyelidikan kasus tersebut dan menetapkan Bambang sebagai tersangka kasus fitnah, SARA dan penyebar ujaran kebencian.

Laporan kedua, seorang pelapor bernama Michael Bimo melaporkan Bambang ke Bareskrim atas kasus dugaan pencemaran nama baik dan fitnah. Michael Bimo sendiri telah diperiksa penyidik Bareskrim sebagai saksi pelapor.

Seperti diberitakan sebelumnya, Bambang menjual buku "Jokowi Undercover" secara langsung dengan mempromosikannya melalui akun jejaring sosial Facebook miliknya dan selebaran. "Akun Facebook Bambang Tri selama ini dijadikan sebagai media pemasaran," katanya.

Buku tersebut diduga dibuat tanpa didukung data primer dan sekunder yang dapat dipertanggungjawabkan.

"Tersangka Bambang tidak memiliki dokumen pendukung sama sekali terkait tuduhan pemalsuan data Bapak Jokowi saat pengajuan sebagai calon presiden di KPU. Tersangka diduga menebar kebencian melalui buku tersebut," kata dia.

Brigjen Rikwanto mengatakan tuduhan dan sangkaan yang dimuat pada buku "Jokowi Undercover", semua didasarkan atas sangkaan pribadi tersangka. Sementara analisis fotometrik yang diungkap tidak didasari keahlian apa pun, namun hanya persepsi dan perkiraan tersangka pribadi.

"Motif tersangka sebagai penulis hanya didasarkan atas keinginan untuk membuat buku yang menarik perhatian masyarakat," katanya.

Terkait kasus ini, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai, meminta negara bijak menangani buku "Jokowi Undercover" dengan melakukan klarifikasi resmi terkait proses hukum yang dilakukan terhadap penulis buku tersebut yakni Bambang Tri.

Menurut Pigai di Jakarta, Kamis (6/1/2016), upaya pihak kepolisian untuk melindungi kepala negara memang patut diapresiasi tetapi pelarangan terhadap penilaian masyarakat atas karya cipta perlu menjadi perhatian luas karena terkesan ada kecenderungan penyalahgunaan kewenangan melalui pengekangan kebebasan berpendapat, pikiran dan perasaan serta kebebasan ekspresi rakyat Indonesia yang telah diperjuangkan oleh berbagai elemen saat reformasi 1998 lalu.

Saat ini, negara harus membantu menjernihkan pertanyaan publik, mengapa identitas Jokowi masih dipersoalkan oleh banyak rakyat Indonesia secara terus menerus sejak beliau dicalonkan menjadi Presiden Republik Indonesia sampai saat ini.

"Negara sebaiknya tidak memasuki ruang hak asasi individu yang telah melekat secara alamiah, namun harus melakukan suatu upaya progresif dan profesional untuk menyatakan bahwa buku tersebut adalah salah," kata Pigai.

Upaya ini bisa dilakukan di antaranya dengan membentuk Tim independen yang terdiri dari berbagai ahli seperti universitas, ahli sejarah, pihak kesehatan, kepolisian, kejaksaan, komunitas intelijen untuk melakukan klarifikasi secara resmi untuk mengembalikan citra Joko Widodo dan keluarganya secara resmi.

Tim ini bertugas menelusuri fakta sejarah, mengumpulkan dokumen termasuk data rahasia negara sebagai data sekunder, pengambilan data primer, melakukan penyelidikan ilmiah (scientific investigation) melalui Tes DNA, dan hasilnya bisa dibukukan serta diumumkan ke publik secara resmi.

Di saat proses berlangsung, Presiden Jokowi harus ditempatkan sebagai warga negara Indonesia yang diduga telah difitnah secara tak mendasar oleh Bambang Tri.

"Di negara-negara maju proses penyelidikan semacam ini terhadap seorang Presiden atau pemimpin negara adalah hal yang lazim dan bukan luar biasa. Pemerintah sebaiknya menghindari melakukan tindakan defensif dengan menyatakan isi buku "Jokowi Undercover" tidak benar, fitnah, bohong dan sebagainya. Pemerintah sebaiknya membantu keluarga Presiden Jokowi agar menjaga nama baik, wibawa serta harkat dan martabatnya tetap lestari di masa yang akan datang," ucap dia.

Bambang Tri, penulis buku "Jokowi Undercover" disangkakan atas pelanggaran Undang-undang Informasi Transaksi Elektronik (ITE), Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis, dan Pasal 207 KUHP tentang penghinaan terhadap penguasa sejak beberapa hari lalu. Buku Bambang Tri dinilai menyebarkan isu miring mengenai Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo.

Baca juga artikel terkait BAMBANG TRI atau tulisan lainnya dari Maya Saputri

tirto.id - Hukum
Reporter: Maya Saputri
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri