tirto.id - Bersama beberapa organisasi lain seperti WALHI dan LBH Jakarta, Kesatuan Nelayan Tani Indonesia (KNTI) menggugat pemerintah provinsi DKI Jakarta yang telah memberi izin reklamasi pada pulau G, F, I, dan K. Muhammad Taher, Ketua KNTI Jakarta, berpendapat izin itu tak seharusnya dikeluarkan. Pemerintahan Jokowi pun menurutnya harus membuktikan visi kemaritimannya dengan membatalkan reklamasi. Berikut ini adalah penuturan lengkapnya pada Reja Hidayat dari Tirto.id.
Bagaimana perkembangan gugatan reklamasi Teluk Jakarta?
Saat ini kita sedangkan menjalankan gugatan ke PTUN soal reklamasi Teluk Jakarta. Dalam kesaksian di PTUN, Direktur Tata Ruang Laut dan Pulau-Pulau Kecil KKP menyatakan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan pelanggaran pembangunan reklamasi. Pertama, belum adanya Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Perda RZWP3K). Tanpa perda itu, izin Reklamasi tidak dapat diterbitkan.
Kedua, kewenangan izin pada reklamasi Teluk Jakarta merupakan kewenangan pemerintah pusat yakni Menteri Kelautan dan Perikanan, karena wilayah Jakarta termasuk dalam kawasan strategis nasional (KSN). Hal ini mengacu pada UU 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (WP3K) dan Peraturan Presiden 122/2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Ketiga, kenapa bisa seorang gubernur memberikan izin reklamasi dengan dalih izin itu sudah ada sejak zaman Fauzi Bowo, apalagi dasar hukumnya Kepres No 52/1995. Izin itu sudah dicabut dengan keluarnya PP No 54 tahun 2008. Jadi tidak ada lagi kewenangan Pemprov DKI Jakarta untuk proyek reklamasi, karena sudah kewenangan KKP.
Kamis depan, kita hadirkan tim ahli hukum tata lingkungan, Kamis ini (17/3/2016). Selain itu, dia menilai masalah reklamasi ini mulai meluas dan mendapat partisipasi masyarakat. Bahkan mahasiswa menggaungkan masalah reklamasi. Memang ada beberapa ahli mengatakan bilamana reklamasi itu tetap dilaksanakan, maka dampak banjir Jakarta semakin parah.
Tak hanya itu. Pembangunan tanggul raksasa sepanjang 32 kilometer itu sangat meresahkan masyarakat pesisir. Pasalnya, tanggul dengan tinggi 5 meter dan lebar 20 meter akan menyingkirkan nelayan kecil. Karena jika kita bersandar di pelabuhan yang disediakan pemerintah, maka kapal nelayan di bawah 5 GT akan pecah karena terimpit dengan kapal nelayan di atas 5 GT. Mayoritas nelayan pribumi Teluk Jakarta itu kapalnya di bawah 5 GT.
Jumlah KK masyarakat pesisir yang bergantung pada teluk Jakarta?
Pembangunan itu berdampak terhadap 20 ribu jiwa masyarakat pesisir di Teluk Jakarta. Namun, data Kiara (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) menunjukkan pada 2013, ada 16.855 KK. Sekarang 2016, bisa dibayangkan jumlahnya masyarakat di Teluk Jakarta yang terkena dampak pembangunan itu. Kalau nelayan di Muara Angke ada sekitar 1.500-2.000 perahu.
Kita juga menyangkan statement Pemprov DKI yang meresahkan masyarakat nelayan Muara Angke. Mereka akan direlokasi ke Kepulauan Seribu. Namun, saat kita datangi fraksi-fraksi di DPRD DKI Jakarta, mereka menegaskan tidak ada relokasi. Meski demikian, melihat pembangunan yang ada, kita meyakini ujung-ujungnya relokasi. Pembangunan pulau itu mayoritas untuk perumahan dan apartemen elit. Jadi suatu kemustahilan mereka bisa berdampingan dengan wilayah bau seperti pengolahan ikan dan tempat pelelangan ikan.
Masyarakat sudah capek untuk pindah tempat. Jika ini terjadi, maka untuk keempat kalinya kami dipindahkan dari habitat sendiri. Pertama di Bogasari untuk pembangunan Pertamina, kemudian Ali Sadikin memindahkan kami lagi ke Muara Karang dan Kalibaru. Ketiga, karena Muara Karang dibangun PLTU untuk Jakarta-Bali, kami dipindahkan ke Muara Angke. Kami dibuatkan perumahan nelayan oleh Ali Sadikin. Kini, jika kami dipindahkan lagi, maka untuk keempat kalinya nelayan dipindahkan dari habitat sendiri.
Apakah pendapatan nelayan sebelum dan sesudah reklamasi berubah?
Hasil tangkapaan menurun drastis dan biaya melautnya semakin tinggi. Karena biasanya kapal nelayan dari muara langsung keluar dan tebar jaring, tapi karena pembangunan pulau G oleh pengembang maka harus mengambil alur lain dengan menyusuri bibir pantai, baru arah keluar.
Misalnya nelayan di bawah 5 GT menggunakan mesin Honda etek-etek biasanya cukup dengan bahan bakar maksimal 3 liter untuk pulang-pergi dan masih ada sisa, kini harus harus mengeluarkan 6-7 liter. Bahkan bisa mencapai 10 liter karena kita harus memutar.
Sebelum reklamasi, nelayan dapat penghasilan Rp 200 ribu laba bersih. Sudah termasuk biaya ransum dan bahan bakar. Sekarang, setelah reklamasi Rp 15 ribu sampai Rp 20 ribu. Paling berhasil nelayan dapat 50 ribu bersih. Itu sudah dianggap berhasil sama nelayan.
Teluk Jakarta juga ada musimnya, kalau musim Timur, di atas bulan Maret sampai November, masyarakat nelayan musim panen. Ikan sangat berlimpah di Teluk Jakarta. Makanya dengan adanya reklamasi ini, nelayan sangat dirugikan. Kita hanya bertahan hidup dengan menangkap ikan.
Dulu sebelum dibuat pulau reklamasi, pemprov memberikan solusi. Ini kan sampai sekarang belum ada solusi untuk nelayan pesisir. Karenanya, pemprov DKI Jakarta perlu meninjau ulang. Membangun pulau dulu, baru dibuat raperda. Ini kan aneh.
Berapa banyak nelayan beralih profesi?
Nggak tahu, tapi kami hanya bisa bekerja sebagai nelayan, baik membantu pengolahan ikan (asin) atau pelelangan aja. Kalau nelayan Marunda, mereka bisa menjadi pemulung di bibir pantai. Miris melihat realitas itu. KNTI akan mempertahankan nelayan di Teluk Jakarta. Kalau tidak ada nelayan di Jakarta, untuk apa digaungkan yang namanya poros maritim, kan omong doang. Nelayan Jakarta menjadi barometer nelayan-nelayan nasional.
Apa yang organisasi Anda tuntut dari pemerintah?
Selama ini pemerintah mengedepankan poros maritim. Karenanya Jokowi harus mengambil sikap soal kegaduhan yang dibuat Pemprov DKI terkait Teluk Jakarta. Akar pemasalahannya adalah Keppres No. 52 tahun 1995, jadi Jokowi harus cabut keppres tersebut. []
Berita Terkait:
Editor: Maulida Sri Handayani