Menuju konten utama

Jerman Yakin Negosiasi Brexit Sulitkan Inggris dan Uni Eropa

Perdana Menteri Inggris Theresa May secara resmi menghitung mundur dua tahun menuju ke Brexit. Jerman menilai negosiasi pasti tidak akan mudah bagi kedua belah pihak.

Jerman Yakin Negosiasi Brexit Sulitkan Inggris dan Uni Eropa
Perdana Menteri Inggris Theresa May di kabinet, duduk di bawah sebuah lukisan Perdana Menteri Inggris pertama Robert Walpole, menandatangani surat resmi untuk Presiden Dewan Eropa Donald Tusk meminta Pasal 50 dan minat Inggris untuk keluar dari Uni Eropa, Selasa (28/3), di London, Inggris. Setelah mengadakan referendum pada bulan Juni 2016 Inggris memilih untuk keluar dari Uni Eropa, penandatanganan Pasal 50 sekarang secara resmi memulai proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa. ANTARA FOTO/REUTERS/Christopher Furlong.

tirto.id - Negosiasi keluarnya Inggris dari Uni Eropa menurut Menteri Luar Negeri Jerman Sigmar Gabriel tidak mudah bagi kedua pihak. Dikatakan pula bahwa pihaknya sulit memahami sebuah negara bisa percaya akan lebih baik sendirian di lingkungan global saat ini.

Ketika berbicara di Berlin setelah Perdana Menteri Inggris Theresa May secara resmi menghitung mundur dua tahun menuju ke Brexit, Sigmar Gabriel juga menjelaskan bahwa kesatuan 27 negara anggota Uni Eropa lainnya akan menjadi prioritas tertinggi Jerman dalam pembicaraan tersebut.

"Negosiasi pasti tidak akan mudah bagi kedua belah pihak," kata Gabriel. "Perasaan buruk bisa dimengerti. Bagi banyak orang itu adalah hal yang sulit untuk dipahami, terutama pada masa-masa yang penuh gejolak, bagaimana orang bisa percaya bahwa mereka akan lebih baik. Tapi ini tidak dapat menjadi dasar untuk menentukan hubungan masa depan kita," tambahnya sebagaimana diberitakan Antara.

Seperti diketahui, Perdana Menteri Inggris Theresa May resmi mengajukan surat pengunduran diri negaranya dari Uni Eropa pada pekan ini. Surat itu akan menjadi awal dari dimulainya negosiasi alot mengenai syarat-syarat keluarnya Inggris selama beberapa tahun mendatang yang menjadi ujian bagi ketahanan Uni Eropa.

Sembilan bulan setelah warga Britania Raya memilih untuk keluar, May akhirnya menyerahkan surat kepada Presiden Dewan Uni Eropa Donald Tusk bahwa negaranya akan keluar dari organisasi tempat Inggris menjadi anggota sejak 1973.

Perdana Menteri May kini mempunyai waktu dua tahun untuk merundingkan syarat-syarat perpisahan sebelum benar-benar keluar dari Uni Eropa pada Maret 2019.

Namun selain harus menghadapi perundingan keras dengan negara-negara Uni Eropa lain terkait masalah keuangan, perdagangan, tenaga kerja, dan keamanan, May juga harus mengatasi potensi perpecahan yang kini membayang di kerajaan yang menaungi empat negara tersebut (Inggris, Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara). Skotlandia kini sudah mengajukan permohonan referendum untuk merdeka dari Britania Raya.

Hasil dari perundingan dengan Uni Eropa akan menentukan masa depan negara dengan perekonomian terbesar kelima di dunia tersebut, terutama terkait status London sebagai salah satu dari dua pusat keuangan global.

Sementara itu, bagi Uni Eropa yang juga tengah mengalami masalah krisis utang dan pengungsi, keluarnya Inggris akan menjadi pukulan telak bagi organisasi yang telah berusia 60 tahun tersebut.

Para pemimpin Uni Eropa kini tengah menghadapi dilema. Di satu sisi mereka tidak ingin menghukum Inggris (dengan menerapkan pajak perdagangan sebagai balasan atas pembatasan tenaga kerja asing). Namun di sisi lain, mereka juga harus tidak boleh terlalu banyak memberi keleluasaan bagi Inggris karena akan menjadi senjata bagi kelompok anti-Uni Eropa untuk memperjuangkan hal yang sama.

Dalam waktu 48 jam ke depan, Dewan Uni Eropa akan mengirim rancangan panduan perundingan bagi 27 negara anggota. Tusk akan menanggapi permohonan Inggris di Malta.

May sendiri berjanji kepada warga Inggris bahwa mereka masih akan tetap punya akses terhadap pasar tunggal sekaligus menerapkan pembatasan pekerja asing dari negara-negara Eropa timur. Namun di sisi lain, para pejabat Uni Eropa mengatakan bahwa kedua hal tersebut (perdagangan dan pergerakan bebas) tidak bisa dipisahkan.

Hingga kini, warga Inggris masih bertanya-tanya soal apakah para eksportir masih akan mendapatkan fasilitas tarif bebas dalam pasar tunggal, dan apakah bank-bank dari negara tersebut masih bisa dengan bebas melayani pelanggan dari anggota Uni Eropa.

Baca juga artikel terkait BREXIT atau tulisan lainnya dari Yuliana Ratnasari

tirto.id - Politik
Reporter: Yuliana Ratnasari
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari