tirto.id - Inggris memilih untuk meninggalkan Uni Eropa pada Juni lalu dan kini tengah merayu negara-negara di luar organisasi yang beranggotakan negara-negara di Eropa itu, untuk bekerja sama dalam sektor perdagangan. Namun, Inggris tidak dapat secara resmi melakukan kooperasi hingga telah sah keluar dari Uni Eropa, yakni setidaknya dua tahun mendatang.
“Dengan meninggalkan Uni Eropa kami memiliki kesempatan lebih besar untuk menempatkan Inggris di barisan terdepan dalam perdagangan dunia,” ujar Menteri Perdagangan Inggris Liam Fox setelah pertemuan dengan Menteri Perdagangan Selandia Baru Todd McClay. Fox juga menambahkan, bahwa pertemuan tersebut merefleksikan komitmen politik yang kuat antarnegara demi turut andil dalam mendorong dan membentuk kembali liberasi perdagangan global.
McClay mengatakan Selandia Baru siap untuk melakukan perjanjian perdagangan dengan Inggris. “Inggris merupakan rekan perdagangan yang berpengaruh besar bagi Selandia Baru. Kami pun telah mengisyaratkan minat kami dalam perjanjian perdagangan bebas dengan Inggris ketika mereka berada dalam posisi menegosiasikan kemerdekaannya dari Uni Eropa,” ungkap McClay lebih lanjut.
Selandia Baru, Kanada, dan negara anggota Persemakmuran lainnya, yang mana mayoritas bekas koloni Inggris, telah ditargetkan sebagai potensi pertumbuhan Inggris yang baru.
Sementara itu, Theresa May yang ditunjuk sebagai Perdana Menteri Inggris tidak lama setelah referendum Juni, mengatakan bahwa dirinya akan mempercepat proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa, seperti yang tercantum dalam Pasal 50 dari pakta Lisbon, menjadi akhir Maret 2017.
Merujuk pada The Guardian, pasal 50 sendiri adalah klausul dalam perjanjian Lisbon yang menetapkan proses hukum untuk negara yang berniat mundur dari keanggotaan Uni Eropa. Setelah memberi tahu niatnya untuk mundur, negosiasi akan dilakukan dalam waktu dua tahun. Selama proses negosiasi tersebut, Inggris tetap menjadi anggota Uni Eropa. Namun, jika negosiasi selama dua tahun tidak membuahkan kesimpulan, dan tidak diperpanjang, Inggris beralih ke peraturan dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait tarif yang akan dikenakan padanya.
Menanggapi hal ini, mantan Perdana Menteri Inggris David Cameron mengatakan pasal 50 harus didorong oleh penggantinya. Tetapi untuk negara-negara anggota Uni Eropa lain, penundaan Inggris dalam proses pasal 50 ini sudah memberi tekanan tersendiri bagi negara monarki itu.
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari