tirto.id - Drama penyanderaan terhadap WNI kembali terjadi di Filipina. Pelakunya sudah bisa ditebak: Abu Sayyaf. Penyanderaan terjadi pada 7 dari 13 anak buah kapal (ABK) dari kapal Charles 001 dan tongkang Robby 152 di Laut Sulu, Filipina.
Penyanderaan ini dilakukan dua kelompok yakni pertama membawa tiga ABK dan kelompok kedua membawa empat ABK. Penyanderaan terjadi pada pukul 11.30 dan 12.45 waktu setempat tanggal 20 Juni 2016.
Penyanderaan ini disesalkan oleh Kementerian Luar Negeri (kemenlu). Menlu Retno Marsudi mengatakan, penyanderaan ini sudah tidak bisa dibiarkan.“RI mengecam keras terulangnya penyanderaan oleh kelompok bersenjata di Filipina. Kejadian ke-3 kali tidak bisa ditoleransi," kata Menlu Retno dilansir akun Twitter resmi Kemenlu.
Bukan sekali ini saja kelompok Abu Sayyaf melakukan aksi penculikan. Pada 30 Maret lalu mereka menculik 10 WNI yang merupakan ABK Kapal Brahma 12 di perairan Tawi-tawi. Selang 15 hari kemudian, kelompok ini kembali menculik Empat pelaut Indonesia, membuat total 14 WNI jadi sandera.
Sebulan kemudian, pada 1 Mei kesepuluh sandera yang diculik pada gelombang pertama berhasil dibebaskan. Selang 10 hari kemudian, 4 WNI lain yang belum dibebaskan akhirnya dilepas juga. Banyak cerita dibalik pembebasan ini, ada yang menyebut ini berkat diplomasi tim Surya Paloh dan Kivlan Zein, ada pula yang mengatakan sandera dibebaskan akibat tebusan yang dibayar.
Kasus penculikan yang terjadi baru-baru ini membuat Abu Sayyaf tak kapok menculik WNI. Angka statistik berbicara, mereka memang identik sebagai kelompok penculik.
Rekam jejak kelompok teroris Filipina itu bisa dilihat dari data Global Terrorism Database. Berdasarkan data yang dikumpulkan selama 1970-2014, kelompok Abu Sayyaf tercatat sudah melakukan 108 kali aksi penculikan. Total korban penculikannya mencapai 158 orang (angka ini belum termasuk penculikan pada tahun 2015 dan 2016)
Jika digabungkan dengan kelompok-kelompok pemberontak lain seperti Moro Islamic Liberation Front (MILF), Moro National Liberation Front (MNLF) dan New People's Army (NPA), total kasus penculikan di Filipina selama 40 tahun terakhir mencapai 455.
Dari angka tersebut, Abu Sayyaf mengungguli dua “saudara tuanya” yakni MILF (30 kasus) dan MNLF (38 kasus). MILF dan MNLF sendiri kini sudah tidak menggunakan penculikan sebagai strategi utama. Padahal, dua kelompok ini merupakan pencetus ide penculikan massif di dekade 70-an.
Empat kelompok teroris di Filipina itu memang memiliki cara tersendiri dalam konfliknya. NPA identik menyerang dengan cara membom. MNLF serta MILF melakukan serangan terbuka secara langsung. Sementara kelompok Abu Sayyaf identik sebagai kelompok penculik.
Tren Penculikan
Aksi penculikan mengalami kenaikan tren setelah eskalasi konflik semakin panas pada tahun 2001. Kala itu, pemerintah Filipina menggelar operasi militer jangka panjang Op Enduring Freedom yang belum berakhir sampai sekarang. Sebelum Op Enduring Freedom dimulai, rata-rata angka penculikan kelompok ini hanya tiga kasus per tahun. Setelah 2001, angkanya melonjak tajam jadi tujuh kasus per tahun.
Sejak operasi digelar, Abu Sayyaf kehilangan lebih dari 750-an anggotanya di Kepulauan Sulu dan Pulau Basilan. Abu Sayyaf pun membutuhkan dana yang lebih besar untuk merekrut tenaga-tenaga baru dan pasokan logistik agar bisa bertahan. Dari sanalah muncul strategi menculik untuk mendapatkan uang.
Sebuah tren menarik didapat dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, terutama setelah pimpinan Abu Sayyaf, Isnilon Hanilon dekat dengan pemimpin ISIS, Abu Bakar Al-Baghdady pada 2013. Pada 2012 kasus penculikan hanya 6 kasus, naik jadi 16 kasus pada 2013, naik lagi jadi 22 kasus pada 2014. Jika merujuk dari arsip pemberitaan media-media lokal Filipina, angka penculikan Abu Sayyaf pada 2015 bisa lebih dari 30 kasus.
Intensnya kasus penculikan secara tidak langsung meningkatkan citra Abu Sayyaf sebagai wakil Khilafah di Asia Tenggara. Ekspos secara gratis pun bisa mereka dapatkan. Di sisi lain dengan mendompleng nama ISIS, maka harga per kepala sandera bisa naik berkali lipat
Dibandingkan dengan Abu Sayyaf, kelompok sayap militer Partai Komunis Filipina-NPA sebenarnya lebih sering melakukan aksi penculikan dengan catatan angka 150 kasus. Namun, penculikan sudah tidak dilakukan NPA dalam dua dekade terakhir.
Penculikan NPA pun lebih bermotifkan politis: menargetkan politisi lokal, aparat keamanan atau pejabat pemerintahan. Berbeda dengan Abu Sayyaf, yang menculik karena uang. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya persentase jumlah orang asing yang diculik Abu Sayyaf lebih tinggi ketimbang NPA. Dari 108 kasus, sebanyak 25 persen atau 27 kasus penculikan oleh Abu Sayyaf menargetkan orang asing. Angka ini sangat jauh dengan penculikan NPA yang hanya 4,3 persen - menyasar 7 dari 143 kasus total.
Jika dirinci lagi, target penculikan yang mereka sasar adalah orang-orang penting, entah itu pebisnis, wartawan ataupun karyawan perusahaan multinasional. Sepanjang operasi penculikan dimulai tahun 1994, sasaran target yang pernah mereka culik terdiri dari 21 pebisnis, 8 tenaga pengajar, 12 pegawai pemerintah, 7 wartawan, 4 aktivis, 3 aparat keamanan, 4 wisatawan, dan 48 warga sipil yang didominasi karyawan.
Baru-baru ini polisi berhasil membongkar sindikat kriminal yang bekerja di Bandara Internasional Manila. Informasi dan penyaringan siapa-siapa saja yang meski diculik berawal dari bandara. Target yang disasar adalah orang asing kaya terutama dari India, Cina, dan negara-negara Barat.
Pada akhir 2014, Militer Filipina menemukan adanya tiga kamp baru di Patikul Town, Buhanginan dan Kabuntakas di Pulau Sulu. Kamp ini ditengarai untuk menempatkan turis asing yang banyak terdapat di sekitar provinsi Basilan, Jolo, Zmboannga Sibbugay, dan Palawan. Ini adalah ancaman nyata bahwa Abu Sayyaf serius untuk menjalankan bisnis penculikan. Dari sana mereka dapat banyak pundi-pundi uang.
Berdasarkan informasi lembaga risiko dan manajemen konflik, NYA International, rata-rata uang tebusan pada 2014 mencapai 17 juta peso atau USD 371.000 per orang. Rataan orang yang diculik per-tahun bisa mencapai 7,8 orang. Jika ditotal, maka pendapatan per tahun bisa mencapai USD 2,9 juta. Angka ini sudah cukup besar bagi kelompok yang anggotanya tinggal 300-orang.
Laporan Congressional Research Service menyebutkan, pada dekade awal 2000, saat anggota Abu Sayyaf masih berkisar 1.000 orang, uang yang didapat bisa mencapai USD 10 – 25 juta.
Sementara Manila Institute for Peace, Violence and Terrorism Research menaksir hampir 90 persen pendapatan kelompok ini berasal dari penculikan dan pemerasan. Pembenaran spekulasi ini bisa dilihat dari penyelesaian kasus.
Menariknya, dari banyak kasus penculikan yang dilakukan Abu Sayyaf hampir 60 persen atau 65 kasus berakhir dengan pembebasan sandera secara damai. Proses pembebasan dilakukan lewat dibayarnya uang tebusan yang nilainya besar. Dasar ini yang membuat kita bisa berkesimpulan mereka hidup dari penculikan.
Sandera Indonesia
Meski begitu, kelompok ini pun tak segan menunjukan kebengisannya jika tebusan itu tak dibayar. Ancaman membunuh sandera, benar-benar terlaksana. Terdapat 14 kasus yang berakhir dengan kematian. Baru-baru ini mereka tak segan memenggal dua sandera warga negara Kanada, John Ridsdel dan Robert Hall yang telah diculik pada 2014 lalu
Bagi Indonesia, kasus yang mengenaskan adalah tewasnya J.E Walter Sampel. Pada awal tahun 2004, kelompok ini menyergap kapal East Ocean 2, di lepas pantai Pulau Taganak. Dua warga Malaysia, Chiu Tiong dan Wong Siu Ung serta satu warga Indonesia, Walter Sampel disekap. Kelompok ini meminta tebusan kepada pemerintah Indonesia senilai 10 juta peso (sekitar 178.000 dolar). Namun, pemerintah Indonesia tidak menanggapi.
Setelah setahun hilang kabar, tanggal 6 Januari 2005, Panglima Angkatan Darat Filipina mengkonfirmasi kematian tiga orang tersebut. Diperkirakan kematian mereka disebabkan sakit atau dibunuh para penyandera.
Pada 31 Maret 2005, insiden penculikan menimpa tiga pelaut Ahmad Rumiyati, Yamin Labusu dan Erekson Hutagul. Kali ini pelaku bukan dari kelompok Abu Sayyaf, melainkan Jami Al-Islami Southern Mindanao. Berkaca dari kasus Walter Sampel, pendekatan diplomasi dan uang kini lebih didahulukan. Ketiganya pun bebas beberapa bulan kemudian. Soal uang tebusan ini diakui Wakil Presiden Jusuf Kalla saat jadi saksi dalam kasus korupsi Sekjen Kementerian Luar Negeri, Sudjanan Parnohadiningrat pada 2014 lalu.
"Saya tahu bahwa ada dana untuk bayar biaya pembebasan sandera. Ada green light (lampu hijau) dari pemerintah demi menyelamatkan jiwa Warga Negeri Indonesia (WNI),” ungkapnya kepada hakim. Pengakuan JK ini diakui pejabat Kemlu, Triyono Wibowo. Ada arahan untuk mentransfer uang senilai 75 ribu dolar ke sebuah rekening di Kuala Lumpur.
Santer kabar tersiar proses pembebasan 14 WNI pada kasus sebelumnya pun terjadi karena faktor uang. Banyak cerita dibalik pembebasan ini. Ada yang menyebut berkat diplomasi tim Surya Paloh dan Kivlan Zein. Ada pula mengatakan sandera dibebaskan akibat tebusan yang dibayar.
Setidaknya itulah yang dikatakan Megawati Soekarnoputri, Presiden ke-5 Republik Indonesia (RI). Dia sempat berseloroh. "Jelas saja sandera dilepas, wong dibayar kok," kata Megawati, awal Mei lalu.
Dikutip dari sumber Rappler, proses pembebasan itu terealisasi akibat adanya keterlibatan pemimpin politik Front Pembebasan Nasional Bangsa Moro (MNLF), Samsula Adju. Pembebasan tersebut juga melibatkan uang tebusan yang dibayarkan oleh keluarga korban sebesar 50 juta Peso atau Rp14,3 miliar.
Kepala Polisi Provinsi Ulu, Inspektur Wilfredo Cayat mengatakan yang sama pada Philipphine Daily Inquirer. Tapi nominalnya beda. Uang tebusan, kata Cayat, dibayar oleh perusahaan para pelaut bekerja dengan biaya mencapai US$1 juta atau setara Rp13,1 miliar.
Membayar tebusan memang nalar logis ketimbang berharap penuh pada militer Filipina. Terhitung sejak Abu Sayyaf memulai penculikan pada 1994, dari puluhan usaha tentara Flipina membebaskan sandera, hanya lima kasus operasi penyelamatan yang berhasil.
Berharap sandera itu bisa kabur? Tentu sukar. Sepanjang 20 tahun penculikan, hanya tiga kasus yang sanderanya berhasil kabur. Untuk menjaga para sandera tak tanggung pengawalan ketat secara langsung oleh dua pemimpin senior Abu Sayyaf, Alhabsy Misaya dan Uddon Hassim.
Berkaca dari hal ini, terlalu mengandalkan militer Filipina adalah sebuah keniscayaan. Tindakan mendahulukan diplomasi adalah hal benar. Ketimbang menggebu-gebu memaksa militer Filipina memberi ruang bagi TNI untuk beroperasi di sana.
"Dalam konstitusi, kami tidak diizinkan kekuatan militer (negara lain) di sini tanpa perjanjian,” ucap juru bicara Angkatan Bersenjata Filipina, Kolonel Restituto Padilla, dikutip dari inquirer. Ucapan Restituto ini seolah membungkam ucapan para jenderal dari berbagai angkatan yang mengaku siap mengirimkan pasukan terbaiknya ke Filipina.
Jika memprioritaskan keselamatan sandera, dalam proses pembebasan pemerintah lagi-lagi harus mendahulukan diplomasi – atau pilihan pahit yakni memberikan uang tebusan. Toh soal nominal ini bisa dinegosiasikan dan turun hingga puluhan persen dari tebusan awal.
Beruntung Kemenlu sadar akan hal ini. Retno menegaskan keselamatan ketujuh WNI adalah prioritas. "Kejadian ketiga kalinya ini sangat tidak dapat ditoleransi. Pemerintah akan melakukan semua cara yang memungkinkan untuk membebaskan para sandera," kata Retno.
Namun ya, namanya juga kelompok bebal. Dikasih hati pasti akan minta jantung. Ujungnya Indonesia akan diperas terus menerus. Inti masalah ini bukan terletak pada proses pembebasan namun pencegahan. Mengingat jika terus dibiarkan maka akan terus berulang.
Indonesia perlu bertindak tegas terhadap Filipina terkait keamanan perairan Filipina Selatan. Pemerintah memang sudah menginisiasi pertemuan dengan Filipina, dan Malaysia di Yogyakarta, pada 5 Mei 2016. Poin kesepakatan yakni intens melakukan patroli bersama di perairan Sulu. Termasuk koordinasi bantuan reaksi cepat saat ada indikasi pembajakan terjadi.
Sayang, pertemuan ini hanya baru sebatas nota kesepahaman. Fakta di lapangan patroli bersama belum dilakukan. Dalihnya, pemerintah Filipina disibukkan pemilu yang baru saja digelar. Setelah kasus ketiga terjadi maka tidak ada lagi kompromi. Jokowi harus bertindak tegas kepada presiden Filipina yang baru Rodrigo Duterte untuk serius menyelesaikan masalah ini.
Ketegasan itu bisa diaplikasikan lewat ancaman memboikot pasokan batu bara ke Filipina. Sebagian besar pembangkit listrik di Filipina adalah PLTU yang 96 persen bahan bakar utamanya berasal dari Indonesia. Jika jalur perdagangan masih tidak aman pemerintah dan pengusaha Indonesia bisa memboikotnya. Masalahnya berani kah pemerintah melakukan ini?
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti