Menuju konten utama

Jejak Sengketa Pilkada di Bumi Jawara

Semenjak jadi daerah otonom dan berpisah dari Jawa Barat, Banten telah beberapa kali menggelar pemilihan kepala daerah di provinsi, kota, dan kabupaten. Semenjak itu pula, pilkada Banten jadi langganan perselisihan hasil pemilu hingga berakhir ke MK.

Jejak Sengketa Pilkada di Bumi Jawara
Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Banten nomor urut satu Wahidin Halim (kiri) dan Andika Hazrumy (kedua kiri) bersama cagub nomor urut dua Rano Karno (kedua kanan) dan Embay Mulya Syarief mengangkat tangan usai mengakhiri sesi debat publik Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Banten di Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta, Minggu (29/1). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/pd/17

tirto.id - Hotel The Royale Krakatau, Cilegon, Banten jadi saksi bisu ikrar empat pria berpeci. Mereka adalah Rano Karno, Embay, Wahidin Halim, dan Andika yang secara gamblang menyatakan ikrar siap menang siap kalah jelang sepekan dari hari pencoblosan Pilkada Banten 2017 Rabu (15/2/2017).

"Kami siap menerima kekalahan dengan berjiwa besar dan lapang dada."

Ikrar tinggal ikrar, janji hanya janji, komitmen cuma komitmen. Berselang dua pekan, ikrar itu hanya jadi cerita usang. Tim Hukum pasangan calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur Banten Rano Karno dan Embay Mulya resmi mendaftarkan gugatan pelanggaran pilkada Banten ke Mahkamah Konstitusi, pada Selasa (28/1/2017).

Gugatan ini dilayangkan merespons hasil rekapitulasi manual perolehan suara Pilkada Banten 2017 yang diumumkan Minggu (26/2/2017) Wahidin Halim dan Andika Hazrumy unggul dengan 50,93% atau 2.405.804 suara, sedangkan Rano Karno dan Embay Mulya Syarief hanya meraih 49,07% atau 2.318.081 suara. Ada selisih tipis 1,86% yang membawa Wahidin-Andika unggul.

“Kami memohon doa restu kepada masyarakat Banten untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan untuk menyelamatkan aspirasi rakyat Banten, di mana 6 dari 8 kabupaten/Kota di Provinsi Banten sudah menghendaki Rano-Embay sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Banten periode 2017-2022," kata Ketua Tim Kampanye Rano-Embay, Ahmad Basarah dikutip dari Antara.

Keputusan kubu Rano-Embay ini sejatinya sudah digadang-gadang dari jauh-jauh hari, kala hasil hitung cepat lembaga survei memenangkan kubu Wahidin-Andika. Namun, realisasinya baru dilakukan setelah ada keputusan resmi dari KPU. Sayangnya, langkah Rano-Embay menggugat ke MK bakal terhadang undang-undang. Dari jumlah penduduk Banten hasil sensus BPS 2010 saja yang mencapai 10,6 juta jiwa, maka bakal sulit bagi pasangan ini untuk memenuhi syarat permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara Pilkada.

Pasal 158 ayat 1 c, UU No 8 tahun 2015 tentang perubahan UU No 1 2015 tentang penetapan Perpu No 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota jadi UU, mengatur jelas bahwa provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6-12 juta jiwa, maka pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1% dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi. Masalahnya hasil resmi KPUD Banten selisih perolehan suara sudah di atas 1%.

Namun, pasangan Rano-Embay menilai pertimbangannya memutuskan untuk melanjutkannya gugatan ke MK karena pelanggaran dan kecurangan yang terjadi secara terstruktur, sistematis dan masif di Kabupaten Serang dan Kota Tangerang. Mereka tetap mencari cara hukum agar ada pembatalan pasangan calon yang unggul dalam Pilkada Banten.

Infografik Sengketa Pilkada banten revisi

Drama Ulangan Pilkada Banten

Selama beberapa tahun terakhir, setidaknya ada 6 pilkada di Banten yang harus berakhir dengan sengketa di tingkat MK. Misalnya sengketa Pilkada Kabupaten Lebak 2013 yang menyeret gubernur Banten waktu itu Ratu Atut Chosiyah dan adiknya, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan. Kakak beradik ini harus berurusan dengan KPK dan masuk bui terkait kasus suap sengketa Pilkada Lebak. Kasus tersebut juga menyeret Ketua MK pada waktu itu Akil Mochtar dalam kubangan kasus suap.

Kini, sang petahana Banten, Rano Karno menghadapi drama ulangan bersengketa hasil pilkada. Hal serupa pernah dirasakan oleh Rano pada 2011 lalu, saat mendampingi Atut sebagai wakil gubernur Banten. Pasangan ini juga digugat pesaingnya.

Waktu itu, Wahidin Halim dan Irna Narulita, Jazuli Juwaeni dan Makmun Muzaki, dan pasangan calon yang terdiskualifikasi Dwi Jatmiko dan Cecep Mulyadinata mengeroyok Atut dan Rano di MK. Hasilnya, Ketua MK yang waktu itu dipimpin oleh Mahfud MD menolak permohonan para penggugat. Secara otomatis pasangan calaon gubernur dan wakil gubernur Atut-Rano dinyatakan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Banten periode 2011-2016.

Keputusan MK saat itu sangat jelas, bila melihat dari hasil persolehan suara masing-masing pasangan calon terpaut jauh. Atut-Rano mengantongi suara 49,65%, Wahidin Halim-Irna Narulita meraih 38,93%, dan Jazuli Juwaini-Makmun Muzakki R hanya 11,42%.

Dalam dokumen putusan MK, pihak penggugat Jazuli Juwaini-Makmun Muzakki R misalnya, keberatan dengan adanya pelanggaran sistematis, terstruktur dan masif selama pelaksanaan Pilkada Banten 2011 sehingga memengaruhi perolehan suara pasangan calon nomor tiga ini. Tudingan politik uang pun sempat dialamatkan ke Rano dan Atut pada waktu itu.

Tudingan yang sama pun dialamatkan Rano kepada rivalnya. Kini Rano sedang mencoba mengulang sejarah kembali. Bedanya, kali ini ia jadi penggugat. Kubunya pun harus bersiap menerima kekalahan, seperti yang dirasakan oleh rivalnya, enam tahun silam.

Baca juga artikel terkait PILKADA BANTEN atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Politik
Reporter: Suhendra
Penulis: Suhendra
Editor: Suhendra