Menuju konten utama

Jejak Pertautan Keluarga Sukarno dan Hindu Bali

Sukarno punya darah Bali dari ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai. Tradisi Hindu juga turut mewarnai pribadinya.

Jejak Pertautan Keluarga Sukarno dan Hindu Bali
Sukarno. FOTO/ Istimewa

tirto.id - Bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-70, Diah Mutiara Sukmawati Sukarnoputri memilih untuk memeluk agama Hindu. Seturut pemberitaan Kompas.com, putri Bung Karno itu bakal melaksanakan upacara adat Sudhiwadani di Buleleng, Bali. Kuputusan Sukmawati beralih agama dari Islam ke Hindu disebut dilatari keinginannya mengikuti agama neneknya, Ida Ayu Nyoman Rai Srimben (1881-1958).

Sukarno memang terlahir dari keluarga yang berbeda agama. Raden Soekemi Sosrodihardjo (1869-1945), ayahnya, adalah penganut Islam yang terpengaruh Teosofi. Sementara sang ibu tumbuh besar dalam tradisi Hindu di Buleleng.

Ida Nyoman Rai Srimben adalah anak dari Nyoman Pasek dan Ni Made Liran. Nurinwa Ki S. Hendrowinoto dalam Ibu Indonesia dalam Kenangan (2004, hlm. 18) menyebut Ida Nyoman Rai Srimben sebagai penganut Hindu yang taat sejak belia. Hal itu terlihat, misalnya, dari kerajinannya membersihkan pura setiap hari.

Semasa mudanya Ibu adalah gadis di pura Hindu Budha yang bertugas membersihkan rumah ibadat itu setiap pagi dan petang,” aku Sukarno dalam autobiografinya Bung Karno Penyambung Lidah Rakjat Indonesia (2014, hlm. 27).

Sukarno berkisah bapak dan ibunya bertemu pertama kali di pura itu. Semasa masih jadi guru sekolah rendah di Singaraja (sekarang ibu kota Kabupaten Buleleng), Soekemi kerap mendatangi air mancur di depan pura itu untuk melepas lelah. Soekemi kemudian jatuh hati pada Nyoman Rai dan melamarnya. Pada kesempatan pertama, lamaran Soekemi itu ditolak oleh keluarga Nyoman Rai.

Kedua pasangan itu lantas memilih kawin lari sekira 1897. Perkawinan itu pada akhirnya dapat izin, meski Nyoman Rai diharuskan membayar denda sebesar 25 ringgit.

Sukarno menyebut perkawinan kedua orang tuanya merupakan suatu ketidaklaziman di zaman itu. Menurutnya, sampai setidaknya Perang Dunia II, perempuan Bali sangat jarang menikah dengan lelaki luar. Kalaupun ada, pasangan itu biasanya akan diasingkan oleh keluarganya.

Karena merasa tidak disenangi di Bali, Bapak kemudian mengajukan permohonan kepada Departemen Pengajaran untuk pindah ke Jawa. Bapak dipindah ke Surabaya dan di sanalah aku dilahirkan,” tulis Sukarno.

Di masa kecilnya, Sukarno tak selalu tinggal dengan ibunya. Ada masa ketika Sukarno dititipkan ke keluarga ayahnya lalu kos di Surabaya.

“Nyoman Rai Srimben mendidik kedua anaknya dengan bekal spiritual Hindu seperti yang pernah dipelajarinya,” tulis Nurinwa Ki S. Hendrowinoto.

Sukarno sendiri tidak menjadi penganut Hindu seperti ibunya. Dalam hal agama, Sukarno ikut ayahnya. Sukarno mengaku dirinya seorang Islam pengikut Nabi Muhammad S.A.W. Saat bersekolah di HBS Surabaya, Sukarno tinggal dan menimba ilmu di rumah pemimpin Sarekat Islam H.O.S. Tjokroaminoto.

Meski begitu, Bali dan tradisinya tetap jadi warna tersendiri dalam dirinya. Contoh yang bisa ditengarai adalah kebiasaan Bung Besar merujuk kitab Mahabarata. Sebagai kalangan Brahmana, Nyoman Rai tentu akrab dengan epos yang berakar dari India itu.

Infografik Ida Ayu Nyoman Rai Srimben

Infografik Ida Ayu Nyoman Rai Srimben. tirto.id/Fuad

Sewaktu jadi penulis di koran Oetoesan Hindia, misalnya, memilih nama Bima sebagai nama penanya. Nama itu jelas diambil dari salah satu tokoh Pandawa dari epos Mahabarata.

Saat itu, Soekemi dan Nyoman Rai sama sekali tak tahu tulisan-tulisan anaknya kerap bikin gusar pemerintah kolonial. Nyoman Rai baru tahu anaknya jadi musuh pemerintah kolonial ketika Sukarno akhirnya ditahan di penjara Sukamiskin pada 1930.

Selain itu, Bung Besar pun merasa sangat disayangi orang-orang Bali. Bahkan, seturut pengakuannya, orang-orang Bali menganggapnya manusia yang punya pembawaan seperti Dewa Wisnu.

Setiap aku datang ke Tampaksiring, tempat peristirahatan yang tidak jauh dari Denpasar, selalu turun hujan, bahkan juga ditengah musim kemarau. Orang Bali, yakin, bahwa aku membawa berkah kepada mereka,” tulis Sukarno (hlm. 5).

Sukarno tak sekedar punya separuh darah Bali dari Ida Ayu Nyoman Rai. Menurut sejarawan Geoffrey Robinson, Sukarno mampu meluruhkan rasa antipati orang Bali terhadap Jawa. Di pulau ini, Sukarno bahkan punya banyak pendukung politik.

“Entah dia diterima orang Bali atau tidak, gaya oratoris Sukarno, khususnya kemampuannya mengunggah simbol-simbol kultural yang ampuh, menancapkan kesan ke dalam orang-orang Bali sepertinya di kalangan orang Jawa,” tulis Geoffrey Robinson dalam Sisi Gelap Pulau Dewata: Sejarah Kekerasan Politik (2005, hlm. 284).

Bali adalah basis kuat Partai Nasional Indonesia (PNI) yang dekat dengan Sukarno. Puluhan tahun setelah Sukarno tiada pun, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang dikomandani anaknya juga sangat kuat di Bali.

Baca juga artikel terkait SUKARNO atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fadrik Aziz Firdausi