tirto.id - Sejumlah perusahaan tengah berlomba-lomba memproduksi smartphone yang dapat menjangkau jaring 5G. Dalam gelaran Mobile Word Congress yang berlangsung di Barcelona, 24 Februari, misalnya, Huawei memperkenalkan smartphone Mate X yang bakal dibandrol seharga 2.000 dolar AS.
Perusahaan asal Cina itu diperkirakan bakal menjadi salah satu pesaing Samsung, yang pada Februari 2019 telah merilis Galaxy Fold seharga 1.980 dolar AS, dalam pasar smartphone jaringan 5G.
Bedanya, Huawei Mate X hanya bisa mengakses satu jaringan, yakni: 5G, dan mengklaim sebagai satu-satunya ponsel layar lipat tercepat yang bisa mengakses data hingga 4,3 Gbps. Sementara Galaxy Fold bisa mengkonfigurasi dua jaringan, baik 4G maupun 5G.
Lantas, bagaimana perusahaan-perusahaan tersebut itu bakal memasarkan produknya jika masih banyak negara yang belum bisa menyediakan jaringan 5G? Di Indonesia, misalnya, uji coba infastruktur jaringan 5G sudah ditargetkan pada 2020.
Namun, kata Rudiantara, uji coba itu untuk sementara dibatasi pada sektor industri, dan belum bisa menyasar konsumen secara luas.
Salah satu kendala penyediaan jaringan 5G adalah mahalnya harga yang diperkirakan bakal membebani konsumen dan tak sesuai dengan daya beli masyarakat.
“5G lebih feasible untuk segmen pasar enterprise atau bisnis seperti kawasan industri. Perhitungan mereka, walaupun cost naik, namun selama produktivitas dan revenue naik lebih cepat, masih tetap feasible,” kata Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara saat ditemui di Kementerian Keuangan, Selasa (26/2/2019).
Rudintara mengatakan dirinya telah berkoordinasi dengan Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto agar uji coba tersebut dapat dilakukan beriringan dengan pengembangan kawasan industri khusus.
“Beberapa industri yang pengoperasiannya mengandalkan pemanfaatan teknologi seperti cloud computing hingga robotika,” kata Rudiantara.
Kendati demikian, kata Rudintara, saat ini Indonesia telah masuk ke dalam tahap penyusunan dan sosialisasi draf kebijakan 5G yang menyangkut spektrum, model bisnis, Biaya Hak Pakai dan lain-lain. Pemerintah juga mulai kebut dengan mempercepat finalisasi kebijakan yang sebelumnya ditargetkan rampung pada 2020 atau 2021.
Sebab, kata Rudiantara, jika regulasi baru akan dikeluarkan dua tahun mendatang, maka penerapan 5G akan kembali molor lantaran operator butuh waktu sekitar satu tahun untuk bersiap menggelar jaringan 5G ini.
“Indonesia sedang menyiapkan kebijakan spektrum/frekuensi yang akan dialokasikan untuk 5G. Insyaallah kebijakannya dikeluarkan semester ke-2 tahun 2019 ini. Kebijakan alokasi frekuensi yang disiapkan akan mengikuti kebijakan standar dunia (World Radio Council)," imbuh Rudiantara.
Jika melihat laporan Open Signal bertajuk "The State of LTE", maka tampaknya jaringan 5G memang masih membutuhkan waktu cukup lama untuk sampai ke Indonesia. Sebab, untuk 4G saja, keterjangkauan jaringannya masih di angka 72,39 persen pada 2018.
Indonesia bahkan masih berada di bawah Brunei Darussalam dengan keterjangkauan hingga 73,66 persen, serta Malaysia yang berada di angka 74,88 persen.
4G Indonesia Masih Tertinggal di ASEAN
Dari sisi kecepatan, internet 4G Indonesia juga masih tertinggal jauh dan menjadi yang paling lambat di Asia Tenggara. Laporan yang sama menunjukkan, internet 4G tercepat di ASEAN--juga di dunia--masih dipegang oleh Singapura dengan kecepatan rata-rata hingga 44,31 Mbps.
Selanjutnya, berturut-turut ada Vietnam dengan kecepatan 21,49 Mbps; Brunei 17,48 Mbps; Myanmar 15,56 Mbps; Malaysia 14,83 Mbps, Kamboja 13,9 Mbps; Thailand 9,60 Mbps, Filipina 9,49 Mbps; dan terakhir Indonesia 8,92 Mbps.
Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institut Heru Sutadi menilai, kestabilan koneksi 4G sangat tergantung dari keberadaan jaringan akses seperti, base transceiver station (BTS).
Lantaran itu, kata Heru, jika ingin sinyal 4G lancar, maka menara BTS harus stabil dan menjangkau wilayah yang luas. Selain itu, dibutuhkan pula kabel sambungan yang berkualitas, suplai listrik yang tidak bermasalah, dan perangkat 4G yang bekerja maksimal.
“Jadi tidak bisa hanya manfaatkan menara, semua ada perannya, dan ini bukan cuma tugas operator tapi pemerintah," tutur Heru.
Jika melihat kondisi yang telah disebutkan di atas, maka tampaknya kehadiran 5G memang masih jauh dari angan. Sebab, selama ini kajian yang dilakukan Kemenkominfo menunjukkan bahwa penggunaan frekuensi yang tepat untuk jaringan 5G adalah 28Ghz.
Artinya, dibutuhkan banyak menara BTS sehingga jangkauan antara pemancar semakin dekat dan menghasilkan kecepatan maksimal. Masalahnya, akan begitu banyak menara dan gedung yang dipakai untuk menaruh BTS 5G.
Sebenarnya, pemerintah bisa menggunakan kabel fiber optic yang bisa diletakkan di bawah tanah. Namun, hal ini juga tidak cukup feasible mengingat pembangunan ducting di Jakarta masih sangat minim.
Sebab, tanpa ducting, maka penanaman kabel fiber optic masih akan memakan ongkos besar lantaran trotoar yang baru saja direvitalisasi harus dibongkar ulang dan kembali diperbaiki nila fiber optic selesai dipasang.
Saat dikonfirmasi ulang, Rudiantara menyampaikan bahwa penambahan tower serta pemakaian kabel fiber optic sebenarnya bukan satu-satunya jalan keluar. Ada kemungkinan pemerintah akan melakukan field test jaringan 5G dengan frekuensi 3,5Ghz.
“Walau harus diperkuat [BTS-nya], issue tower bukan yang utama. Frekuensi 5G berbeda dengan 4G/LTE,” kata Rudiantara.
Namun demikian, spektrum 3,5Ghz di Indonesia sudah ditempati lebih dulu pada layanan satelit C-Band dan jadi wadah lalu lintas data satelit. Sehingga dibutuhkan waktu cukup lama untuk pemindahan dan pembersihan.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz