Menuju konten utama

Janji Kabinet Profesional Prabowo Akan Mengulang Kegagalan Jokowi

Komposisi representasi partai di kabinet yang tidak dominan berpotensi membuat kebijakan pemerintah gampang digoyang legislatif.

Janji Kabinet Profesional Prabowo Akan Mengulang Kegagalan Jokowi
Capres Prabowo Subianto menyapa pendukungnya seusai mendaftarkan dirinya dalam Pilpres 2019 di depan Kantor KPU Pusat, Jakarta, Jumat (10/8/2018). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

tirto.id - Bakal calon presiden Prabowo Subianto berjanji akan memprioritaskan orang-orang profesional untuk mengisi kabinetnya jika berhasil memenangi Pilpres 2019. Ia mengklaim janji ini sudah disepakati oleh partai politik pengusungnya: Gerindra, PKS, PAN, dan Demokrat.

"Kalau kami memberi jatah kepada Parpol, jatah itu adalah nominasi," kata Prabowo di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta Pusat pada Sabtu 1 September 2018 lalu.

Prabowo kasih contoh. Seumpama PKS dapat jatah menteri maka tidak serta merta kader PKS yang harus mengisi posisi menteri. Namun PKS bisa cari sendiri orang profesional yang mereka anggap tepat untuk mendapatkan jabatan menteri tertentu. "Tidak serta merta kalau jatah itu dari PKS, maka itu kader PKS. Dia akan mencari siapa orang yang tepat di posisi itu," ujar Prabowo.

Soalnya janji semacam ini juga pernah diucapkan Jokowi saat ia maju menjadi calon presiden (capres) pada 2014. Jokowi bilang ia ingin kabinetnya diisi orang-orang profesional. Bahkan Jokowi dan pasangannya Jusuf Kalla juga sempat melarang menterinya merangkap jabatan sebagai pengurus partai. Namun dalam perjalanannya janji tinggallah janji. Menteri-menteri dari kalangan profesional atau nonpartai mulai menyusut terdepak dalam reshuffle (perombakan) kabinet jilid I dan II. Jokowi juga membiarkan para pengurus partai menduduki posisi menteri di kabinetnya. Contoh paling gampang ialah Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto yang juga ketua umum Golkar.

Sulit Diwujudkan

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia (UI), Aditya Perdana menilai janji Prabowo akan sama seperti janji Jokowi: sulit diwujudkan. Pasalnya partai politik memiliki kepentingan untuk menempatkan kadernya di posisi menteri. "Karena Parpol saat bergabung itu kan inginnya memang mendapatkan kursi menteri. Itu jelas logikanya dan pasti akan terjadi demikian," kata Aditya kepada reporter Tirto, Selasa 4 September 2018.

Aditya menuturkan, komposisi representasi partai yang tidak dominan di kabinet berpotensi membuat kebijakan pemerintah gampang digoyang legislatif. Sehingga menyerap sebanyak-banyaknya representasi partai di kabinet menurut Aditya merupakan hal logis demi stabilitas pemerintahan.

"Bahkan bukan tidak mungkin justru mengajak parpol dari luar pendukungnya," tuturnya.

Pendapat Aditya ini selaras dengan riset Dan Slater yang tertuang dalam Journal of East Asian Studies dengan tajuk “Party Cartelization, Indonesian-Style: Presidential Power-Sharing and The Contingency of Democratic Opposition” yang terbit pada Maret 2018.

Slater menjelaskan selama dua dekade terakhir pemerintahan di Indonesia, partai oposisi gagal memainkan peran sebagai kritikus kekuasaan yang serius lagi konsisten. Mereka bisa dengan gampang direkrut ke dalam barisan pemerintahan. Tujuannya membangun patronase dan menghindari pertikaian. Upaya melanggengkan kekuasaan sekaligus masuk ke dalam kekuasaan menurut Slater merupakan salah satu bentuk politik kartel.

Koalisi Merah-Putih (KMP) sebagai istilah menyebut partai-partai oposisi di awal pemerintahan Jokowi misalnya, mudah sekali dilemahkan dengan iming-iming kursi menteri. Hasilnya Golkar, PPP, dan PAN tergoda untuk menanggalkan baju oposisi.

Partai Pengusung Belum Sepakat

Selain pijakan teori itu, partai koalisi pendukung Prabowo nyatanya juga belum sepakat dengan janji ketua umum Partai Gerindra itu. Sekretaris Jenderal PAN Eddy Soeparno menilai tidak perlu ada dikotomi antara kader partai dengan profesional. Sebab menurutnya, di dalam partai juga juga ada orang-orang profesional.

"Saya profesional tapi kemudian ada di parpol. Mungkin lebih banyak begitu juga. Banyak yang berkecimpung di parpol kemudian profesional juga. Kami lihat di Gerindra ada Pak Burhanudin Abdullah. Beliau itu kan sangat kompeten di bidang keuangan," kata Eddy, di Restoran Batik Kuring, Jakarta Selatan, Senin 3 September 2018.

Eddy pun menilai soal pembentukan kabinet dan bagi-bagi kekuasaan tidak tepat dibicarakan saat ini. Ia ingin tetap fokus kepada pembahasan visi misi dan pemenangan pasangan Prabowo-Sandiaga terlebih dulu. "Saya yakin di tahap ketua umum Parpol akan dibicarakan dalam waktu dekat [perkara kabinet]," kata Eddy.

Sekretaris Jenderal DPP PKS Mustafa Kamal juga berpandangan sama dengan Eddy. Menurut Mustafa, parpol juga banyak menciptakan kader-kader profesional. Sehingga tidak tepat jika mengkerdilkan posisi parpol di hadapan profesional. "Jadi yang terpenting adalah proporsionalitasnya itu bahwa dia memang mampu menjalankan tugas. Punya integritas dalam menjalankan tugasnya," kata Mustafa di Restoran Batik Kuring, Jakarta Selatan, Senin 3 September 2018.

Saat disinggung kemungkinan kader Gerindra menguasai pemerintahan jika menang, Mustafa mengaku tak khawatir. Dia yakin Prabowo dan Sandiaga itu tau bagaimana membagi kekuasaan secara proporsional.

"Sekarang Prabowo-Sandi itu sudah milik bangsa dan negara ini melalui empat partai yang berkoalisi mengusungnya. Sudah bukan persoalan PKS, PAN, atau Demokrat," tuturnya.

Sekretaris Jenderal Demokrat Hinca Panjaitan menyatakan tidak ingin membahas perkara kabinet saat ini. "Masih jauh sekali itu pembicaraan. Tidak elok kalau dibicarakan sekarang," kata Hinca.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Politik
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana