tirto.id - Pada pengujung periode pertama masa kepemimpinan sebagai Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan sebuah instruksi presiden (inpres) yang secara khusus ditujukan sebagai landasan "percepatan sepak bola nasional".
Dalam Inpres Nomor 3 Tahun 2019 itu, Jokowi meminta kementerian dan lembaga terkait—mulai dari Kementerian Pemuda dan Olahraga sampai Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat—untuk menindaklanjuti peningkatan prestasi sepak bola Indonesia.
Inpres yang diterbitkan Jokowi tersebut kerapkali disebut ketika terjadi dialog, diskusi, atau debat mengenai sepak bola nasional. Pesannya jelas: Presiden Republik Indonesia benar-benar menginginkan negara yang dipimpinnya bisa memiliki prestasi sepak bola yang membanggakan.
Namun, yang kemudian terjadi masih jauh dari harapan Jokowi. Gelar Piala AFF tak kunjung didapat, kualitas kepemimpinan wasit kerap jadi sorotan netizen di media sosial, dan yang paling parah, tentu saja, adalah terjadinya Tragedi Kanjuruhan di mana lebih dari 135 suporter Arema kehilangan nyawa selepas Derbi Jawa Timur kontra Persebaya Surabaya.
Sampai akhirnya, tibalah Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI, 16 Februari 2023 lalu.
Dari situ, dua menteri kabinet Jokowi terpilih masing-masing menjadi Ketua Umum dan Wakil Ketua Umum PSSI. Erick Thohir yang juga menjabat sebagai Menteri BUMN terpilih menjadi Ketua Umum, Zainudin Amali yang punya jabatan Menteri Pemuda dan Olahraga didapuk jadi Wakil Ketua Umum. Sedangkan, satu pos Wakil Ketua Umum lainnya diduduki Ratu Tisha Destria yang, pada masa kepemimpinan Eddy Rahmayadi di PSSI, menjabat sebagai Sekretaris Jenderal.
Terpilihnya Erick dan Zainudin sebagai pemimpin PSSI ini sebelumnya sudah pernah "diramalkan" oleh pandit ternama Justinus Lhaksana. Dalam perbincangan bersama Mamat Alkatiri tahun lalu, Justin secara gamblang berkata bahwa "yang bisa menyelamatkan sepak bola Indonesia adalah RI 1". RI 1 tentunya mengacu pada sosok Presiden Jokowi.
Secara legal formal, Presiden RI tidak diperkenankan untuk melakukan intervensi dalam bentuk apa pun terhadap PSSI. Aturan ini ada di dalam statuta, baik milik PSSI maupun FIFA. Jika intervensi sampai terjadi, kejadian tahun 2015 bakal terulang, di mana waktu itu PSSI dibekukan oleh FIFA, kompetisi tak berjalan, dan Timnas Indonesia tidak diperkenankan mengikuti kompetisi internasional.
Namun, cara "intervensi" memang bisa dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan mengikuti prosedur yang ada. KLB PSSI, yang merupakan salah satu tindak lanjut investigasi Tragedi Kanjuruhan, pun menjadi momentum. Di situ, masuklah nama Erick sebagai calon ketua dan Zainudin sebagai calon wakil ketua. Terlepas dari drama yang sempat terjadi dalam pemilihan wakil ketua, kedua menteri kabinet Jokowi itu pun terpilih secara sah untuk memimpin PSSI.
Pertanyaannya, seberapa besar, sih, kita bisa berharap pada mereka, khususnya pada Erick yang memang punya rekam jejak cemerlang di dunia olahraga?
Tentu, Erick punya pekerjaan rumah segudang. Akan tetapi, pria kelahiran Jakarta itu sebelumnya sudah pernah menghadapi situasi seperti yang dihadapinya saat ini. Ketika mengambil alih Internazionale dari tangan Massimo Moratti, Erick mendapati klub berada dalam situasi amburadul. Utang menumpuk, pemain medioker, dan imbasnya pun terlihat pada prestasi yang mengenaskan.
Di bawah kepemimpinan Erick yang waktu itu menguasai 70% saham klub, Inter memang tidak meraih trofi apa pun. Akan tetapi, dia berhasil membereskan persoalan administrasi yang menjangkiti klub asal kota Milano itu. Akhirnya, ketika semua sudah kelar, Inter pun dilepasnya ke tangan Suning Group.
Seperti halnya Inter di awal 2010-an itu, PSSI pun sedang sakit keras. Bayangkan semua masalah yang ada di sepak bola dan semua itu bisa Anda temukan di persepakbolaan Indonesia. Jadwal kompetisi tidak jelas, timnas nihil prestasi, kualitas wasit buruk, pembinaan pemain muda jalan di tempat, dan masih banyak lagi.
Erick sendiri, sebelum terpilih menjadi Ketua Umum PSSI, sudah menjanjikan lima hal. Yakni, meneruskan Liga 2 dan Liga 3, membenahi kualitas wasit, menerapkan Video Assistant Referee (VAR), membangun kamp latihan Timnas Indonesia, serta mengejar ketertinggalan Indonesia dalam prestasi sepak bola dunia.
Janji nomor satu sampai empat sebenarnya sudah cukup jelas. Dia langsung membahas inti permasalahan dan menawarkan solusi. Namun, yang masih sedikit samar adalah janjinya yang kelima. Bagaimana cara dia mengejar ketertinggalan prestasi sepak bola Indonesia? Inilah yang masih perlu dia elaborasi dan jabarkan secara utuh rencananya.
Jika kita bicara soal prestasi sepak bola, berarti kita berbicara soal ekosistem sepak bola secara holistik. Pembinaan pemain muda, tentunya, harus dibenahi sampai ke akar. Artinya, semua asprov dan askot harus menjalankan pembinaan serta kompetisi di semua kelompok umur, mulai dari 6 hingga 17 tahun.
Dari sana, semua pemain yang terlibat dalam sistem pembinaan dan kompetisi usia muda, mesti dimasukkan ke dalam sebuah database besar untuk dipantau dari pusat. Dengan demikian, para pelatih tim nasional level junior nantinya tak perlu melakukan apa yang dulu pernah dilakukan Indra Sjafri, yaitu blusukan ke wilayah-wilayah terpencil untuk mencari pemain.
Usulan pembinaan dan pembuatan database itu sendiri, lagi-lagi, sudah pernah diutarakan oleh Justin dalam sebuah siniar yang dibesut oleh Kemal Palevi. Di sini, saya tidak sedang membeo. Saya hanya menuliskan apa yang saya pikir masuk akal untuk perkembangan sepak bola Indonesia.
Kemudian, untuk menciptakan ekosistem sepak bola yang baik, kompetisi pun harus digelar dengan cara yang benar pula. Jadwal, terutama, harus jelas. Belakangan, sepak bola Indonesia sedang menyaksikan perseteruan antara pelatih Persija Jakarta, Thomas Doll, dan pelatih Timnas Indonesia, Shin Tae-yong, soal pelepasan pemain ke pelatnas jangka panjang.
Akar dari permasalahan tersebut adalah soal kualitas serta jadwal kompetisi dan pembinaan pemain muda. Artinya, jika pemain Indonesia sedari awal sudah memiliki kemampuan dasar yang apik dan terbiasa bermain di kompetisi berkualitas, Shin tidak perlu lagi memoles banyak hal di pelatnas jangka panjang. Jika tidak ada pelatnas jangka panjang, kompetisi pun tidak akan terganggu.
Satu hal yang jadi bagian dari ekosistem lainnya adalah soal wasit. Erick secara khusus sudah menyoroti persoalan ini dan itu patut diapresiasi. Akan tetapi, langkah konkretnya tetap harus terus dipantau. Apalagi, kualitas wasit tidak cuma ditentukan oleh besaran uang yang mereka terima, melainkan kemampuan memimpin pertandingan.
Ketika masih menjadi bagian dari Fandom ID di Yogyakarta, saya pernah mengadakan diskusi dengan seorang asisten wasit yang kala itu kerap bertugas di kompetisi level kedua nasional. Di situ, asisten wasit tersebut bertutur mengenai permasalahan seleksi wasit yang rentan akan suap. Jadi, yang perlu dibenahi Erick bukan cuma wasitnya tetapi orang-orang yang memilih mereka jadi wasit.
Nah, apakah Erick mampu menyelesaikan semua permasalahan tersebut?
Rasanya, Erick punya kompetensi untuk itu. Namun, Erick jelas tidak bisa bergerak sendirian. Dia butuh bantuan semua orang di PSSI, mulai dari level pusat sampai level askot, untuk mereformasi persepakbolaan Tanah Air.
Yang jadi persoalan, kalau kita lihat daftar nama anggota Komite Eksekutif (Exco), masih ada nama-nama lama yang banyak dicurigai karakternya oleh para pengamat. Seorang mantan wartawan yang juga pernah menjadi pengurus Deltras Sidoarjo, Miftakhul Fahamsyah (Fim), menulis seperti ini di akun Twitter-nya tak lama setelah KLB PSSI selesai dihelat:
Suatu sore dia marah pada saya krn skor pertandingan tak sesuai skenarionya
"Mas tdk komitmen. Bos sangat marah," katanya pada saya.
Saya tak mengenalnya sebelumnya dan tak membuat komitmen apa-apa dgn dia dan timnya. Kini, dia terpilih sbg exco
Sepak bola Indonesia memang aneh.
Dari sana, bisa ditarik hipotesis kecil bahwa tugas Erick bakal sangat, sangat berat karena, kemungkinan besar, ganjalan justru bakal datang dari orang-orang yang mestinya membantu dirinya. Akan tetapi, untuk saat ini, marilah kita berbaik sangka kepada Erick dan segenap jajarannya. Sebab, biar bagaimana pun, mereka belum mulai bekerja.
Namun, di sini juga perlu ditekankan bahwa, boleh jadi, hasil kerja Erick dan jajarannya ini tidak akan langsung terlihat. Di Inter, seperti itulah yang terjadi. Ada kemungkinan, saat ini yang dilakukan Erick adalah membenahi fondasi dari PSSI dan persepakbolaan itu sendiri. Ibarat gedung, persepakbolaan Indonesia sebetulnya sudah nyaris roboh tetapi ornamen-ornamen yang menempel di sekelilingnya membuat fokus kita selalu teralihkan.
Akhir kata, Erick Thohir lebih dari kompeten untuk mengurus PSSI. Akan tetapi, jangan berharap prestasi bakal datang secara instan. Kalau memang perubahan yang dilakukan Erick ini adalah perubahan yang benar, bisa jadi hasil nyatanya baru akan terlihat jauh setelah masa jabatan sang taipan habis nanti.
Editor: Nuran Wibisono