tirto.id - Jumlah tes spesimen polymerase chain reaction (PCR) di Sumatra Barat (Sumbar) telah melampaui 1.000 per 1 juta penduduk per pekan, target yang disyaratkan Badan Kesehatan Dunia (WHO). Peningkatan kapasitas tes merupakan salah satu kemampuan yang terus didorong otoritas kesehatan dunia dalam rangka memerangi pandemi COVID-19.
Jumlah pemeriksaan di Sumbar sejak 26 Mei sampai 27 Agustus mencapai 32.081, menurut data Kementerian Kesehatan yang diunggah Direktur Pengembangan Strategi Penanggulangan Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo di Twitter, 29 Agustus lalu.
Jika yang dilihat hanya jumlah tes, Sumbar menempati urutan ke-11 dari 33 provinsi, jauh lebih sedikit dibanding, misalnya, DKI Jakarta (244.009 tes), Jawa Timur (142.047), Jawa Tengah (114.784), dan Jawa Barat (113.088). Namun, jika menghitung berdasarkan standar WHO--1.000 tes per 1 juta penduduk per pekan--peringkat di atas berubah drastis.
Data per 27 Agustus mencatat dalam sepekan terakhir Sumbar mampu melakukan 2.226 tes PCR per 1 juta penduduk. Provinsi ini hanya kalah dari Jakarta, ibu kota, pusat penyebaran virus pertama di Indonesia, yang melakukan 2.415 tes. Sebagai pembanding, Jatim hanya melakukan 294 tes PCR per satu juta penduduk; Jateng 289; dan Jabar bahkan hanya 186.
Tingginya rasio tes memang berbanding lurus dengan peningkatan jumlah kasus. Pada 25 Agustus, tercatat akumulasi kasus di Sumbar mencapai 1.736 dan 50 meninggal. Dalam sepekan atau pada 31 Agustus, kasus bertambah menjadi 2.157 (1,2 persen dari total kasus nasional) dan meninggal menjadi 56 orang. Dari jumlah tersebut, ada 191 yang membutuhkan perawat di rumah sakit.
Angka tersebut terbilang kecil. Sebagai pembanding, kasus positif di Bali, yang jumlah penduduknya sekitar 4 juta (lebih sedikit satu juta ketimbang Sumbar) dan melakukan 839 tes PCR per 1 juta penduduk dalam sepekan, mencapai 5.207 atau setara 3 persen total kasus nasional.
Kunci: Fasilitas dan Metode Tes
Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Sumbar Jasman Rizal mengatakan tingginya rasio tes ini tak terlepas dari kemampuan laboratorium, khususnya Laboratorium Diagnostik dan Riset Terpadu Penyakit Infeksi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas (FK Unand) Padang. Saat ini maksimal tes per hari mencapai 3.450, meningkat dari pekan lalu sebanyak 3.000. Sampel spesimen dari kabupaten/kota didorong untuk dikirim sebanyak-banyaknya ke lab ini.
Selain itu, terdapat pula Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Wilayah II Baso, yang kapasitasnya lebih sedikit.
Komitmen pimpinan daerah juga penting, kata Jasman. “[Penanganan COVID-19] semuanya ditanggung Pemprov Sumbar, mulai [dari] kebutuhan alat pelindung diri (APD) dan reagen untuk tes PCR. Karena penanganan dinilai baik kemudian dibantu juga oleh BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana),” kata Jasman saat dihubungi reporter Tirto, Senin (31/8/2020).
Dalam rapat paripurna penyampaian Kebijakan Umum Perubahan Anggaran, Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (KUPA-PPAS APBD) di DPRD Sumbar pekan lalu, disebutkan sebanyak Rp420,4 miliar dari total Rp541,2 miliar telah direalisasikan untuk penanganan COVID-19.
Penanganan COVID-19 di provinsi ini tak banyak disorot oleh pemerintah pusat, dibanding, misalnya, Jateng dan Jatim. Peningkatan kasus dua provinsi itu sampai membuat Presiden Joko Widodo turun langsung memantau.
Namun, sejak Jokowi melakukan kunjungan kerja di Jatim pada 26 Juni dan di Jateng 30 Juni, kedua daerah tersebut juga belum dapat dibilang mampu mengendalikan pandemi. Kasus positif per 31 Agustus 2020 di Jateng telah mencapai 13.964, sedangkan Jatim 33.543.
Selain perkara fasilitas, Kepala Laboratorium Diagnostik dan Riset Terpadu Penyakit Infeksi FK Unand Andani Eka Putra juga mengatakan tingginya kapasitas tes disebabkan karena Sumbar menerapkan pool test (pengetesan berkelompok). Metode itu sederhananya begini: alih-alih menguji sampel satu per satu, tes dilakukan terhadap sampel yang digabungkan.
Satu pool ditetapkan melibatkan 60-100 orang, kata Andani. Mukus (cairan dari pangkal hidung atau dekat tenggorokan) mereka dimasukkan ke tabung secara terpisah (sebut saja T1). Cairan di T1 diambil sebagian lantas digabungkan ke dalam lima tabung baru (T2). Sampel dari T2 lantas digabungkan lagi ke dalam satu tabung baru (T3). T3 inilah yang kemudian dites.
Jika hasil T3 negatif, maka semua orang yang terlibat dalam tes tersebut dinyatakan negatif. Sementara jika T3 hasilnya positif, masing-masing sampel akan diuji ulang, dimulai dari T2.
Namun, Andani mengatakan sistem pool tidak dapat diterapkan dalam segala situasi. “Kalau daerah itu positivity rate-nya lebih dari 15 persen, tidak boleh pakai poll test. Pasien yang tes berikutnya tidak boleh pakai pol tes, termasuk pasien yang kondisinya berat,” katanya kepada reporter Tirto, Senin (31/8/2020).
Andani bilang menangani COVID-19 bisa tanpa banyak bicara. Ia mengkritik beberapa daerah yang pemimpinnya koar-koar soal meningkatkan kapasitas tes tapi tanpa kemajuan. Semua laboratorium melaporkan hasil tes ke Litbang Kementerian Kesehatan setiap hari. Dari situ dapat diketahui daerah mana yang memiliki kapasitas tes terendah hingga tertinggi.
“Saya pikir budaya masyarakat kita banyak bicara. Ada daerah koar-koar beli macam-macam, bilang kapasitas [laboratorium] besar, tapi testing enggak pernah 1.000,” kata Andani.
Sementara Sumbar, katanya, “enggak perlu banyak cerita tapi bekerja.”
Banyak Tes Belum Tentu Terkendali
Epidemiolog dari Unand Defriman Djafri mengatakan jumlah orang yang diperiksa atau tingginya rasio tes di Sumbar tak serta merta “menggambarkan pengendalian secara menyeluruh.” “Jangan-jangan yang kita 'tangkap' orang positif yang sudah di ujung dan hampir sembuh, sedangkan dia sudah menularkan,” kata Defriman saat dihubungi reporter Tirto, Senin (31/8/2020).
Ia juga mengatakan positivity rate (persentase hasil tes positif dibanding jumlah pengetesan) yang rendah tidak selalu menggambarkan kondisi sesungguhnya di lapangan. Positivity rate di Sumbar 2,16 persen, jauh di bawah angka nasional 13,41 persen, sementara WHO menetapkan standar aman 5 persen.
“Positivity rate rendah itu tidak ada maknanya ketika jumlah kasus yang dirawat di rumah sakit membeludak. Itu terjadi sekarang, rumah sakit sudah mulai kolaps. Meskipun angka positivity rate tidak tinggi, tetapi kasus-kasus berat menumpuk,” ujarnya.
Hal ini kata dia membuat tenaga dan fasilitas kesehatan kewalahan dan akhirnya tumbang. RSUD Kabupaten Pasaman Barat misalnya, memutuskan menutup sementara Instalasi Gawat Darurat (IGD) dan poliklinik karena sejumlah dokter terinfeksi COVID-19, Sabtu (29/8/2020) lalu, seperti dilansir Antara. RSUD Kota Pariaman empat hari sebelumnya juga sempat menutup layanan IGD karena seorang petugas kesehatan di bagian pelayanan positif.
“Jangan-jangan positivity rate yang dihitung ini salah, bias karena menggunakan metode pool test. Sumbar bangga dengan positivity rate yang kecil tapi kondisi di rumah sakit crowded menuju bahaya,” kata Defriman.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino