tirto.id - Pagi itu, di sekitar Benteng Vredeburg, Yogyakarta, orang-orang yang tak jelas seragamnya datang menyerang. Mereka adalah pejuang dan tentara Republik Indonesia. Mereka membawa berbagai macam senjata dan saling menembak. Suara letusan dan asap mengepul. Kemudian keluarlah segerombolan serdadu berseragam hijau. Mereka adalah serdadu Belanda (KNIL) yang berusaha mempertahankan benteng itu.
Adegan di atas tidak terjadi pada 1949. Bukan Serangan Umum 1 Maret 1949 yang sebenarnya. Itu hanya rekonstruksi yang dilakukan reenactor. Apa yang mereka lakukan ini mereka sebut sebagai: reenactment. Aktivitas reenactment, bisa diartikan sebagai kegiatan reka ulang dari sebuah peristiwa sejarah. Semacam rekonstruksi sejarah. Reenactor adalah para pelakunya. Tak semua pelaku memakai istilah reenactment. Ada juga yang menyebut dengan nama impresi.
Kota-kota yang dulunya pernah menjadi pertempuran sengit sering menjadi ajang reenactment. Sebut saja Yogyakarta yang punya momen Serangan Umum 1 Maret, atau Surabaya yang punya momen Hari Pahlawan 10 November. Di momen itulah biasanya reenactor berkumpul. Reenactment di Indonesia lebih ramai dengan tema-tema sekitar sejarah revolusi Indonesia, dengan kisaran masa tahun 1942 hingga 1949. Belum banyak ke era-era zaman Majapahit atau lainnya.
“Kalau ada acara besar, antara 150 sampai 200 orang reenactor dari seluruh Indonesia berkumpul,” hitung Wawan Kurniawan, dari komunitas Djokjakarta 1945. Sehari-harinya, Wawan adalah pemilik usaha pakaian Aredoen Inv di Yogyakarta dan sudah terjun sebagai reenactor sejak 2013.
Andrian Dektisa, pengajar Komunikasi Visual Universitas Kristen Petra Surabaya dan peneliti reenactor sekaligus reenactor yang cukup total. Ia memperkirakan ada sekitar 50 komunitas reenactor di Indonesia. Dalam 50 komunitas itu terdapat 300 hingga 500 reenactor bergabung. Namun tak semuanya aktif dan selalu hadir di setiap acara yang diadakan. Menurut Andrian, fenomena reenactment ini baru muncul sejak lima tahun terakhir. Mereka berusia antara 10 hingga 80 tahun. Hobi ini digemari berbagai lapisan umur. Juga dari berbagai macam profesi.
“Hobi ini pernah menarik perhatian Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) pusat dan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) dan Agustus tahun lalu kita sempat (reenactment) 'perang' di Parkir Timur disaksikan juga oleh wakil presiden,” kata Wawan. Ada beberapa reenactor pernah mencoba membuat film pendek tentang Perang Kemerdekaan dan membuat ulang film Darah dan Doa.
Cara Lain Menikmati Sejarah
Mereka sering berdandan seperti orang-orang di masa lalu. Paling sering terlihat memakai seragam militer lengkap dengan sepatu dan topinya. Seragam itu dilengkapi aksesoris seperti pin, emblem, kadang peluit. Aksesoris biasanya tergantung sosok yang mereka perankan. Tak lupa mereka lengkapi dengan sandangan senjata, seperti pistol atau senapan.
Hal ini nampaknya tak sepenuhnya baru. Sejak puluhan tahun silam, dalam karnaval perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus, remaja-remaja suka sekali memerankan pejuang kemerdekaan dengan pakaian apa adanya. Dengan kreatif, baskom kecil bisa jadikan topi tentara. Jika tak ada dasi merah putih, hasduk pramuka mereka jadikan ikat kepala ala pejuang. Untuk senjata, bambu, kayu juga kedebong pisang mereka sulap jadi Sten Gun atau Owen Gun gadungan. Pakaian pejuang, celana monyet dan kaos putih polos pun jadi. Jika perlu ditambah lilitan sarung.
Memerankan pejuang Indonesia memang jauh lebih mudah dan murah. Karena, di masa lalu para pejuang Indonesia berpakaian apa adanya. Tidak seperti memerankan serdadu Jepang, Belanda atau Inggris. Karena di masa lalu pun serdadu-serdadu itu memang berseragam. Memerankan semirip mungkin adalah kepuasan tersendiri. Jadi butuh modal banyak untuk jadi serdadu.
“Kalau (jadi) pejuang nggak terlalu bingung dengan perlengkapan, tapi kalau (jadi serdadu) Belanda atau Jepang harus agak spesifik,” jelas Iwan Hermawan, yang jadi seorang reenactor dari Komunitas Historia van Bandoeng. Iwan sudah ikut reenactment sejak 2010. Pria yang sehari-harinya bekerja sebagai manajer logistik di sebuah perusahaan surveyor di Bandung ini pernah memerankan serdadu Belanda, Inggris, juga pejuang kemerdekaan.
Beberapa yang minat dengan hobi ini, jelas adalah orang-orang yang suka sejarah. Walaupun tidak semuanya paham dan suka sejarah. “Ada sebagian yang minat ke sejarah, ada juga yang minat ke kostumnya, ada juga yang minatnya sepeda onthel, airsoftgun, dan lainnya,” ujar Totok Sudiyanto, seorang reenactor dari Paguyuban Pengumpul Gombal Amoh (PPGA).
“Awal ketertarikan dasarnya saya suka sejarah, reenactor ini merefleksikan apa yang tertuang dalam data dan arsip ke sebuah bentuk dan ruang. Dalam reenactor, untuk merekonstruksi suatu peristiwa kita perlu melakukan riset terlebih dulu. Itu lah yang menarik," jelas Iwan yang sering ikut serta dalam membuat skenario reenactment.
Sejarah adalah kajian yang bisa dipelajari dan dinikmati dengan beberapa cara. Mulai dari mendengar dongeng, nonton film, membaca, diskusi, bahkan sosiodrama. Dalam dunia pendidikan ada tiga tipe pembelajar: mendengar dan diskusi (Auditory), melihat seperti menonton dan membaca (Visual), menirukan gerak (Kinestetis). Tipe terakhir ini seringkali berupa drama.
Reenactor barangkali pembelajar kinestetis dalam pembelajaran sejarah. Jelas mereka dulunya pernah mendengar ceramah guru sejarah atau membaca buku sejarah ketika sekolah. Namun, reenactment adalah cara seru menghayati sejarah bagi mereka.
“Belajar sejarah nggak harus duduk di balik meja, baca buku, tapi langsung kegiatan outdoor pakai seragamnya langsung agar lebih menarik,” kata Ari Widasmoro alias Ari Kotok, yang beberapa kali memerankan diri sebagai serdadu Jerman, pasukan lintas udara Amerika, juga tentara Pembela Tanah Air (PETA).
Di antara reenactor, tak ada yang ragu untuk berperan sebagai serdadu Belanda atau Inggris yang di masa Revolusi adalah musuh Republik Indonesia. Wawan termasuk yang doyan memerankan diri sebagai serdadu KNIL Belanda. Dia tak sendirian. Ada kawan lain yang dia lihat konsistensinya. Menurutnya, Muhamad Febri Afnan, reenactor asal Trenggalek, adalah yang konsisten tampil sebagai Polisi Militer Belanda dalam kegiatan reenactment. Mereka nampaknya berusaha membayangkan bagaimana rasanya tentara Belanda yang berperang di Indonesia waktu zaman revolusi.
Menurut Andrian, pemilihan kostum dan peran sosok antagonis dalam sejarah Indonesia ini tak ada kaitannya dengan tendensi politik maupun ideologi. “Pemilihan itu hanya sebagai bentuk euforia kontemporer. Merayakan konstruk-konstruk visual dan karakter antagonis,” jelas Andrian.
Lumayan Merogoh Kocek
Menghayati sejarah cara ini tidaklah murah. Para pelaku reenactor ini rela rogoh kocek dalam-dalam untuk melengkapi diri dengan senapan tiruan, yang biasa disebut dummy. Tapi tak jarang pula para reenactor mengakali kebutuhan ini. Beberapa dari mereka malah membuat sendiri seragam dan aksesorisnya.
“Kalau seragam bisa buat baru atau memanfaatkan barang bekas dari pasar awul-awul (barang bekas),” kata Wawan. Menurut Muhamad Febri Afnan, reenactor asal Trenggalek yang doyan bersolek ala Polisi Militer Belanda, “Untuk memenuhi seragam tentara Belanda, biasanya, reenactor mau blusukan ke pasar barang bekas.”
Mereka kadang membeli seragam hijau bekas tentara. Lalu menyesuaikan model seragam tentara Belanda. Untuk sepatu, bisa dibeli di toko yang menjual seragam TNI.
“Beberapa kawan reenactor juga ada yang menyediakan produk replika jahitan sendiri yang sengaja dibikin semirip mungkin dengan potongan zaman dulu, kita tinggal beli apa yang diinginkan. Pernah sekali nyoba menjahit baju ke penjahit deket rumah, walaupun udah diberikan gambaran dan foto baju yang diinginkan, ternyata sulit juga dalam prakteknya. Karena tidak semua penjahit paham dengan mode zaman dulu,” kata Afnan.
Kisaran harga untuk kostum ini beragam. Untuk pakaian repro, sekarang harga berkisar antara Rp500 ribu hingga Rp1 juta. Seragam Belanda agak mirip polanya dengan Inggris atau Amerika. Sedangkan seragam pejuang seringkali juga mirip Belanda dan Jepang.
“Aksesoris Jepang paling cocok dipakai pejuang,” kata Afnan. Karena sebagian pejuang Indonesia sebelumnya bekas tentara sukarela Jepang seperti PETA. Aksesoris seringkali bisa menghabiskan lebih banyak uang. Apalagi kalau ada aksesoris yang orisinal.
Beres masalah seragam, senjata tiruan alias dummy pun harus disandang pula. Harga dummy senapan tiruan bervarisi, tergantung model dan kualitas. Ada yang seharga Rp100 ribu, ada yang Rp80 ribu. Dummy airsoftgun atau senapan angin berpeluru kecil, adalah yang tergolong mahal. Model Thompson harganya sekitar Rp7,2 juta.
Dummy Airsoftgun itu bukan syarat wajib. Kembali ke kantong dan niat masing-masing. Pakai senapan kayu non airsoftgun pun tak mengurangi makna. Harganya jauh lebih miring. Toh dalam reenactment, airsoftgun tak perlu peluru.
“Pas dipakai reenactment ya nggak diisi gas, apalagi peluru. Cuma kaya dummy guns gitu. Suara dor dari mulut,” jelas Andrian. Itu kenapa dummy senapan kayu pun tak masalah. Harganya tak mahal dan cukup variatif.
Di antara para reenactor, ada orang yang bisa membuat senapan replika. Totok adalah salah satu orang yang bisa membuat dummy senapan kayu model M1 Garand, M1 Carbine, dan Thompson. Tak asal buat, Totok melakukan riset kecil untuk meniru bentuk dan ukurannya.
“Dulu ngeblat (menjiplak) polanya dari museum,” kata Totok. Sehingga dummy senjata yang dibuat perbandingannya satu banding satu (1:1) alias mirip dengan aslinya. Hanya tak bisa meletuskan peluru saja.
Siap-Siap Rogoh Dompet
Komunitas Historia van Bandoeng, tempat Iwan bergabung berusaha mempermudah reenactor baru yang ingin bergabung. “Untuk perlengkapan kita upayakan inventaris, supaya yang baru ikut nggak terlalu bingung atau berat untuk pengadaan (perlengkapan reenachment),” jelas Iwan.
Komunitas akan meminjamkan dummy dan lainnya untuk mengikuti sebuah acara bagi anggota yang belum punya kostum. Soal melengkapi diri sebagai reenactor, ya harus belajar rela berburu dan merogoh kocek. Mereka bisa beli online atau ke luar negeri jika perlu.
“Orang-orang reenactor memang pada gila-gila. Kadang untuk mendekati keotentikan sampai rela berburu di E-bay atau ke Belanda sana,” kata Wawan. Itu bagi reenactor yang suka sejarah Indonesia. Untuk para para reenactor tentara NAZI Jerman, mungkin akan berburu ke Jerman.
Jika ditanya satu persatu, tentu akan ada angka pengeluaran yang berbeda dari tiap reenactor. Ari Kotok mengaku sudah habis sekitar Rp5 juta untuk beli seragam, aksesoris, dan dummy senapan ala serdadu.
“Seragam (tentara) Jerman sekitar Rp1,5 juta, buat gesper Rp500 ribu. Begitupun dengan seragam tentara Amerika, Rp1 juta berikut printilan-pritilannya. Itu sudah sama dummy senapan kayu,” kata Ari.
“Yang mahal biasanya di gear. Ya kurang lebih Rp5 juta habislah untuk impresi. Tapi karena belinya nyicil jadi tidak terasa,” ujar Wawan yang sering ikut reenactor sebagai serdadu KNIL.
Sekitar Rp10 juta hingga Rp15 juta pernah dihabiskan Totok Sudiyanto untuk memiliki beberapa kostum yang mirip anggota militer dari beberapa negara hingga agar mirip dengan personel New York Police Department (NYPD). Itu belum termasuk biaya mengecat mobil VW-nya agar mirip milik NYPD.
“Sampai hari ini sudah habis sekitar Rp35 jutaan,” aku Andrian. Uang itu sudah berubah menjadi lima stel seragam serdadu Belanda, warna hijau polos maupun loreng beserta aksesorisnya, ditambah beberapa jenis dummy senapan dan klewang. Mulai dari Sten Gun, Thompson, Pistol Webley, Pistol M1911, Andrian punya tiruannya.
“Klewang yang saya punya orisinal, merk Milsco. Bisa buat bacokan,”canda Andrian
Tak hanya itu, Andrian pernah membayar lima orang narasumbernya untuk membantu reenactment Serangan Umum 1 Maret. Dia tak merasa rugi, karena narasumbernya itu sangat penting dalam penelitiannya tentang reenactment serdadu NICA.
Selain untuk seragam mereka, kocek harus dirogoh lagi untuk menghadiri acara reenactment ke luar kota. Transportasi dan akomodasi lebih sering ditanggung sendiri. Sangat jarang mereka dapat uang ganti untuk transportasi dan akomodasi. Terkadang, penginapan ala kadarnya disediakan panitia acara. Jika acaranya terkait dengan museum, maka mess atau ruang kosong museum disediakan untuk mereka.
“Sekali kami diundang secara resmi, ke Jakarta. Saat acara Peringatan Hari Veteran Agustus tahun lalu, dapat penggantian biaya transportasi, disediakan transportasi (dalam kota), makan dan penginapan. Pulangnya masih ditambah uang saku,” kenang Afnan.
Tak hanya untuk acara resmi, kadang mereka diundang untuk memeriahkan acara pernikahan. “Kawan-kawan Jogja, beberapa kali juga diundang memeriahkan acara kawinan. Pemilik hajat memberikan 'dana revolusi' (dana operasional) untuk pengadaan perlengkapan pendukung kebetulan pengantinnya juga salah satu anggota komunitas.” ujar Afnan.
Kostum reenactor adalah sebuah keunikan yang memiliki daya tarik. Lumrah kalau mereka sering diajak foto. Atraksi budaya romantis ini tak hanya jadi salah satu magnet pariwisata. Rasa penasaran, kadang bercampur kekaguman, akan kostum yang dipakai reenactor bisa memancing anak usia sekolah untuk sedikit belajar sejarah. Seringkali cara seperti ini lebih berkesan. Salah satunya dengan ikut reenactment sebagai Serdadu Tempo Doeloe, meski hanya sehari.