Menuju konten utama

Issey Miyake: Modern, namun Tak Lupa Budaya Asal

Desain Issey Miyake merupakan perpaduan antara kekriyaan, penerapan teknologi, dan teknik daur ulang.

Issey Miyake: Modern, namun Tak Lupa Budaya Asal
Header Diajeng Issey Miyake. tirto.id/Quita

tirto.id - Issey Miyake mungkin tidak menduga tas Bao Bao akan jadi ikonis. Produk yang dirilis 23 tahun silam itu terbuat dari jaring poliester berlapis susunan segitiga polivinil kecil yang fleksibel.

Ketika tas ini diisi barang dan bersisian dengan tubuh si pemakai, potongan geometrisnya akan mengubah bentuk permukaan tas yang datar menjadi tiga dimensi sehingga tercipta beragam bentuk baru.

Bao Bao memang sejalan dengan filosofi fesyen Miyake yang mengusung desain inovatif. Ia dihidupkan oleh teknologi dengan tujuan menciptakan bentuk dan gerakan yang unik.

Tak heran jika The Guardian memujinya sebagai “an amazing piece of engineering”. Berkat tas Bao Bao pula, pendapatan label mode milik Miyake meroket.

Mulanya, tas ini akan diperkenalkan dengan nama Bilbao sebagai penghormatan untuk Museum Guggenheim di New York.

Dalam waktu singkat, ia masuk ke dalam jajaran penjualan terbaik dari perusahaan mode Miyake yang eksis sejak 1970. Akhirnya, Bao Bao diluncurkan sebagai lini terpisah pada 2010.

Meski sudah melalui berbagai penyesuaian bentuk, ukuran, dan warna, desain Bao Bao mampu bertahan di skena it bag—tas tangan bermerek rancangan desainer kondang. Bahkan, desainnya termasuk yang banyak ditiru.

Header Diajeng Issey Miyake

Header Diajeng Issey Miyake. foto/https://www.seekpng.com/ima/u2e6r5e6w7u2w7u2/

Sepanjang kariernya, Miyake banyak menyumbang terobosan baru bagi industri mode global. Tak hanya bereksperimen dengan material dan desain baru, ia juga tak pernah takut mendobrak batasan-batasan normatif dalam industri fesyen.

Karya-karyanya merupakan perpaduan antara kekriyaan (craftmanship), penerapan teknologi, dan teknik daur ulang. Selain kain, Miyake pernah mengeksplorasi kertas hingga tutup botol bekas sebagai material dasar produknya. Tak lupa, dia menyisipkan elemen budaya tradisional Jepang di dalamnya.

Buah karya Miyake, yang dipuji adiluhung dan egaliter, mampu bertahan selama lima dekade. Dari tangan dinginnya, lahirlah turtleneck hitam sebagai kekhasan busana Steve Jobs dan model pakaian berkain kerutan yang digemari oleh arsitek kenamaan Zaha Hadid.

Bagaimana awal mula karirnya?

Ketertarikan Miyake akan fesyen datang secara kebetulan. Miyake menekuni studi desain grafis di Tama Art University, Tokyo. Setelah lulus kuliah pada 1964, dia terbang ke Paris untuk bekerja di label busana premium Guy Laroche.

Setelah dua tahun bekerja di sana, dia pindah ke lini Hubert de Givenchy. Setelahnya, seturut The Guardian, Miyake menyambangi New York untuk bekerja dengan desainer Amerika Geoffrey Beene, sebelum kembali ke Jepang pada 1970.

Masih pada tahun yang sama, berbekal keterampilan yang dipelajarinya di Paris dan New York, Miyake mendirikan Miyake Design Studio di Tokyo.

Semula Miyake fokus pada produksi busana perempuan. Senarai koleksi pertamanya dipamerkan di New York pada 1971. Dua tahun kemudian, Miyake memamerkan koleksinya di Paris sebelum butik internasional pertamanya resmi berdiri di sana pada 1975.

“Sejak 1976, Miyake mulai memproduksi busana pria sambil tetap mengembangkan koleksi busana perempuan. Usai memperkenalkan koleksinya secara bertahap, Miyake meluncurkan koleksi lengkapnya pada 1978,” tulis penulis fesyen Saxony Dudbridge di laman Catwalk Yourself.

Sejak awal, Miyake terinspirasi menciptakan ragam desain baru yang memadukan bentuk pakaian tradisional Jepang dan busana Barat.

Miyake juga bereksperimen dengan berbagai bahan mentah seperti kapas dan wol untuk pakaian oversized.

Bentuk pakaian tradisional Jepang yang cenderung longgar menjadi ide awal desain siluet Miyake. Produk ciptaannya luwes dan terbuka untuk digunakan oleh siapa pun. Desainnya juga membebaskan pemakainya untuk menentukan sendiri bagaimana busana itu akan dipakai.

Karya-karya Miyake disorot oleh industri mode Barat karena dianggap tidak lazim pada dekade 1980-an. Kala itu, bentuk tubuh masih menjadi pertimbangan utama fesyen di daratan Eropa dan Amerika Utara. Busana di pasaran lazimnya menonjolkan dan mengekspos kontur tubuh perempuan.

Menurut Yuniya Kawamura dari Fashion Institute of Technology, New York dalam artikelnya di "Love to Know", Miyake sudah berani melawan arus dengan mengenalkan pakaian berukuran besar dan longgar.

Gaun ciptaannya seringkali hanya berbentuk lurus dan sederhana. Mantel dan jaket yang diproduksinya juga berukuran cukup besar sehingga dapat dikenakan oleh perempuan maupun laki-laki.

Berkat karyanya yang melampaui norma-norma fesyen zaman itu, Miyake dihormati sebagai Bapak Avant-garde Jepang.

Header Diajeng Issey Miyake

Header Diajeng Issey Miyake. foto/istockphoto

Karakter desain Miyake dibentuk oleh inovasi teknologi dan kesadaran akan modernitas. Namanya memang identik dengan eksperimen penggunaan teknologi dan hal-hal yang tidak biasa. Salah satu terobosan besar Miyake adalah adalah produk asli Pleats Please yang diluncurkan pada 1993.

Miyake berkolaborasi dengan Makiko Minagawa, direktur kain perusahaannya, untuk membuat lipatan yang tak biasa pada kain. Secara tradisional, lipatan dibuat dengan cara melipat dan menekan kain secara permanen sebelum kain itu dipotong. Miyake dan Minagawa mencoba sebaliknya.

Masih dipetik dari artikel Kawamura, mulanya mereka memperbesar ukuran pola di kain sampai dua setengah atau tiga kali. Potongan pola itu lalu dilipat dan disetrika—sebagaimana proses membuat lipatan biasa, baru kemudian dijahit untuk mempertahankan garis tetap lurus pada tempatnya. Setelah itu, bahan pakaian itu dipres lagi di antara dua lembar kertas yang dipanaskan—dari proses itulah muncul lipatan permanen.

Sebelum itu, Miyake telah membuat sebuah terobosan pada 1976 lewat konsep yang disebut A Piece of Cloth—konsep tentang pakaian dari selembar kain yang menutupi seluruh tubuh. Label A-POC ini diluncurkan pada 1999.

“Aku bereksperimen dengan membuat perubahan mendasar pada sistem produksi pakaian. Coba pikirkan, seuntai benang masuk ke mesin berteknologi komputer mutakhir yang akan merajutnya menjadi pakaian lengkap. Jadi, kita tak perlu memotong dan menjahit kain,” tutur Miyake kepada Metropolis.

Tujuan A-POC adalah mengurangi limbah kain. Teknik ini juga memungkinkan pembeli untuk mengukur dan memotong kain rajutan itu menjadi busana sesuai keinginan mereka—bahkan memproduksi topi kecil, sarung tangan, kaos kaki, rok, sampai gaun.

Meski begitu, kesuksesan Miyake tidak sepenuhnya ditopang oleh inovasi dan teknologi.

The Guardian menulis, kunci kesuksesan Miyake sebenarnya terletak pada caranya memadukan teknologi dengan elemen-elemen kriya tradisional.

*Artikel ini pernah tayang di tirto.iddan kini telah diubah sesuai dengan kebutuhan redaksional diajeng.

Baca juga artikel terkait FASHION atau tulisan lainnya dari Hasya Nindita

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Hasya Nindita
Editor: Fadrik Aziz Firdausi & Sekar Kinasih