tirto.id - Lungsuran dan rantang adalah dua hal yang melanggengkan rasa sayang—juga persaudaraan.
Bagi Opi Ardiani, melihat onggokan pakaian bak memutar film masa lalu. “Setumpuk pakaian yang biasa dikenakan semasa masih bertugas sebagai jurnalis cetak, nyaris 20 tahun yang lalu, menyisipkan beberapa jilid pilu,” tulis-nya dalam blog pribadi. Pertama, bentuk tubuhnya berubah seiring usia. Kedua, lungsurannya sudah muat dipakai si bungsu, seolah menegaskan lagi bahwa ia semakin berumur.
Lungsuran, dari Bahasa Jawa, bisa diartikan sebagai ‘pakaian bekas’, ‘barang lama dan sebagainya’. Kebiasaan melungsurkan maupun menerima lungsuran dari saudara dan kerabat sudah menjadi tradisi dari masa ke masa.
Opi percaya jika lungsuran merupakan wujud penghematan sekaligus ungkapan sayang, apalagi pakaian yang ia lungsurkan tak sembarangan.
“Walau dulu gaji tak terlalu tinggi, saya suka membeli pakaian berkualitas. Puas. Jahitannya harus yang kuat, bahannya yang bagus bukan kaleng-kaleng. Bukan pula jenis kain yang mudah pudar warnanya,” kenang Opi. “[…] saya juga diajari ibu cara merawat pakaian yang benar. Yang putih harus dipisah dengan yang berwarna. Pakai sabun dan pemutih dengan saksama. Membilas dengan bersih. Tidak diperas sembarangan. Derajat kepanasan setrika harus disesuaikan dengan jenis bahannya.”
Budaya memberi agaknya tak cuma berlaku untuk barang bekas, tetapi juga makanan. Di beberapa daerah di Pulau Jawa, isian rantang memiliki filosofi mendalam, yaitu tentang berbagi sekaligus mempererat tali silaturahmi.
Tradisi yang dikenal dengan beragam sebutan, seperti ater-ater, munjung, dan tenongan ini biasanya dilakukan satu atau dua hari menjelang Lebaran. Menunya pun khas Hari Raya, atau bisa juga kudapan tradisional. Penerima hantaran kemudian akan mengembalikan rantang yang sudah diisi dengan penganan lain (tukar-menukar).
Kebiasaan melungsurkan barang nyatanya bukan sekadar penghematan, ungkapan sayang, maupun berkah bagi sang penerima. Secara tak langsung, ini merupakan tindakan nyata merawat bumi karena turut menekan jumlah sampah. Sayang tradisi ini mesti beradu dengan industri fesyen yang bergerak begitu cepat. Murah dan mudah didapat.
Begitu pula dengan tradisi berbagi di Hari Raya yang bergeser dari bertukar wadah menjadi saling kirim bingkisan dalam bermacam kemasan. Alhasil sampah yang didominasi oleh kemasan barang konsumen yang bergerak cepat, dari makanan-minuman, produk rumah tangga, sampai produk perawatan pribadi, pun tumpah ruah.
Ironi Sampah Plastik
Pada 2018, negara kita menghasilkan sekitar 6,8 juta ton sampah plastik, dan pengelolaan yang tidak tepat di darat membuat tak sedikit sampah plastik berakhir di lingkungan laut.
Head of Community Engagement and Impact GPAP Christian Kaufholz mengungkap, “Jumlah ini bakal meningkat hampir tiga kali lipat pada 2040 jika kita tidak mengambil tindakan kolektif yang mendesak.”
Tujuh tahun silam, World Economic Forum (WEF) pun sempat memperkirakan, tanpa adanya strategi maupun intervensi kebijakan yang efektif, bakal ada lebih banyak sampah plastik di lautan ketimbang populasi ikan pada tahun 2050.
National Plastic Action Partnership (NPAP) Indonesia—turunan dari Global Plastic Action Partnership (GPAP) yang diinisiasi oleh WEF—turut menunjukkan data bahwa sekitar 49 persen sampah kota dibuang di tempat pembuangan akhir (TPA). Sementara, 51 persennya dikelola dengan buruk, kebanyakan dengan sistem open dumping (dibuang begitu saja di TPA tanpa perlakuan apa pun), dibakar, atau bocor ke saluran air, menambah masalah polusi plastik dan sampah.
Sebuah ironi, polusi plastik merugikan ekonomi Indonesia, kesehatan manusia, dan lingkungan, sementara kita susah lepas dari plastik terutama kemasan sekali pakai.
Polusi plastik menjadi tantangan serius sehingga perlu tindakan untuk mengelolanya dengan lebih baik. Itulah mengapa NPAP Indonesia diinisiasi, tak lain untuk memberikan koneksi dan peluang potensial antara anggota dan mitra dalam komunitas, kemudian diluncurkan pada 2019 guna mengimplementasikan komitmen nasional menjadi rencana aksi bersama dengan berbagai aktor kunci di seluruh rantai plastik.
Dengan sekretariat yang berkedudukan di World Resources Institute (WRI) Indonesia, NPAP berikhtiar mendorong berbagai kebijakan yang dapat membantu pencapaian target pengurangan sampah plastik di Iautan, termasuk mengatasi hambatan lintas sektoral yang mencegah individu maupun bisnis mengubah perilaku.
Sampai saat ini, NPAP telah memiliki lebih dari 150 anggota dan rekan dari sektor pemerintah, swasta, komunitas, riset, maupun lembaga internasional.
NPAP memiliki lima task force, yaitu: Financing yang diketuai oleh Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, dan Asian Development Bank; Innovation diketuai oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan SecondMuse; Metrics diketuai oleh BRIN dan Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (CSIRO) Australia; Policy diketuai oleh Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi dan World Bank; serta Behaviour Change diketuai oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, LPBI Nahdlatul Ulama, dan Aliansi Zero Waste Indonesia.
Mengulik Solusi
Pemerintah sendiri telah menargetkan pengurangan sampah plastik hingga 70 persen pada 2025 dan bebas sampah plastik pada 2040. Demi mewujudkannya, ditetapkanlah sejumlah kebijakan, salah satunya, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen.
Pada 2022, mengacu pada Permen LHK yang mengatur soal pengurangan sampah oleh produsen dari 2020–2029 itu, NPAP kemudian menginisiasi Policy Roadmap berisi langkah-langkah prioritas yang bisa segera diimplementasikan untuk mengatasi sampah plastik mulai dari hulu.
Langkah-langkah prioritas ini untuk mendorong produsen, utamanya yang masuk dalam kategori fast moving consumer goods (FMCG), menekan penggunaan plastik sekali pakai dengan, salah satunya, menerapkan metode reuse (guna ulang) dan refill (isi ulang).
Anggota NPAP, seperti Zero Waste Living Lab (ZWLL) by Enviu Indonesia dan Alner, sudah melakukannya. Namun dibutuhkan lebih banyak lagi kontribusi, baik dari sisi kapasitas produsen, standar kemasan, maupun penerimaan masyarakat.
ZWLL merupakan program pengembangan bisnis guna ulang untuk menciptakan alternatif berkelanjutan bagi plastik sekali pakai dengan membangun berbagai venture bisnis guna ulang. Sedangkan perusahaan rintisan Alner (semula bernama Koinpack) menjadi penyedia kemasan yang bisa dikembalikan ataupun dipakai kembali dengan mengadopsi sistem deposit dan cashback. Langkah ini guna menggantikan penggunaan kemasan saset maupun kantong.
“Karena isu plastik ini adalah isu kompleks yang sistematis, kami sebagai solution provider atau operator tidak dapat bergerak sendiri,” kata Darina Maulana, Program Lead ZWLL.
Idealnya, para pelaku di seluruh rantai nilai plastik—individu, keluarga, komunitas, bisnis, inovator, dan sektor publik—bekerja sama untuk mengurangi jumlah plastik yang diproduksi-dibeli-dikonsumsi dan mulai mengubah perilaku atau kebiasaan pengelolaan/pembuangan sampah.
“Ini tidak mudah, dan pergeseran ini saling bergantung,” tambah Christian.
“Tidak ada 'peluru perak' untuk memecahkan masalah; tindakan kolektif diperlukan. Kombinasi pra-konsumen, tindakan hulu seperti desain ulang bahan dan produk, pengurangan plastik, dan substitusi; mid-stream actions seperti penggunaan kembali dan perubahan perilaku; serta pasca-konsumen, solusi hilir seperti daur ulang dan pembuangan yang tepat, sangat dibutuhkan untuk memecahkan kebocoran plastik.”
Isi Ulang, Pakai Lagi
Seperti yang sudah disinggung, salah satu solusi pengurangan kemasan sekali pakai adalah sistem guna ulang sekaligus isi ulang. Metode ini bisa membantu mengurangi polusi plastik dan menghasilkan lebih sedikit emisi gas rumah kaca ketimbang penggunaan kemasan sekali pakai. Keduanya berpotensi menjadi sangat efektif untuk mengurangi sampah plastik dan berperan penting dalam mencapai kehidupan berkelanjutan.
“Coba kita buat analogi isu sampah plastik ini adalah air di bak mandi kita yang sudah overloaded sampai TPA seperti Bantar Gebang saja sudah mau ditutup. Kalau bak mandi luber, our immediate reaction adalah menutup kerannya, baru kemudian mengepel air yang tumpah, kan?” terang Darina.
“Sama halnya dengan sampah plastik. Dengan reuse dan refill, kita menangani masalah sampah plastiknya dari hulu. Jadi, tidak terjadi dari awal, karena kemasan produknya sudah guna ulang in the first place. Pencegahan lebih baik dari pengobatan, inilah alasan mengapa kami ingin mencegah plastik sekali pakai dengan guna ulang dan refill, yang menjadi core business kami.”
Peringatan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) pada 21 Februari lalu sekaligus menjadi alarm atau pengingat bagi seluruh pihak terkait dalam rantai nilai plastik untuk mulai lebih giat lagi menerapkan metode reuse dan refill.
Sebenarnya, Indonesia cukup karib dengan sistem guna ulang ini. “Dalam banyak hal, negara-negara berkembang adalah pemimpin dalam hal penggunaan kembali, perbaikan, dan pembuatan ulang—sering kali didorong oleh kelangkaan, tetapi juga tradisi untuk berbagi dan menggunakan kembali aset dalam keluarga maupun komunitas. Negara-negara seperti Indonesia memiliki peran untuk mengangkat kembali model sirkular ini dan nilai-nilai yang diwakilinya,” kata Christian.
“Untuk mendesain ulang ekonomi global, kita bisa mulai dengan melihat model lokal dan belajar darinya.”
Reuse Portal, sebuah platform yang dibangun oleh GPAP, World Wide Fund for Nature (WWF), dan The United Nations Environment Programme (UNEP), mendefinisikan reuse sebagai penggunaan berulang barang-barang kemasan, seperti cangkir kopi, wadah makanan untuk dibawa pulang, botol sampo, atau tempat sabun. Dengan catatan, kemasan perlu dirancang agar tahan lama atau awet dipakai berkali-kali laiknya celana panjang Opi yang bahan dan jahitannya berkualitas sehingga “layak” dilungsurkan.
Solusi guna ulang bisa dipraktikkan pada berbagai jenis produk plastik dan lewat beragam sistem, seperti pengembalian kemasan oleh pengguna ke produsen, pengguna mengisi ulang kemasan secara mandiri, ataupun produk didesain ulang guna menekan atau menghilangkan kebutuhan terhadap kemasan sekali pakai.
Semakin tinggi jumlah penggunaan berulang suatu produk, semakin rendah dampaknya terhadap lingkungan. Dari sisi ekonomi, penggunaan kembali pun jelas mengurangi anggaran pengelolaan limbah sekaligus memberi peluang bisnis baru. Tak cuma itu, sistem ini mendukung perubahan perilaku masyarakat ke arah yang lebih baik.
Walau begitu, upaya untuk mengurangi sampah plastik sekali pakai dengan sistem reuse dan refill dihadapkan pada sejumlah tantangan.
Pada awal ZWLL berdiri (2019), misalnya, Darina mengisahkan bahwa infrastruktur secara general belum ada. Produsen belum mengenal sistemnya, sisi pemerintah pun belum teregulasi karena masih dalam tatanan konsep. Masyarakat bahkan kerap keliru menyamakannya dengan sistem recycle atau daur ulang.
Senada dengan Darina, pendiri sekaligus CEO Alner Bintang Ekananda juga mengungkap soal kendala dari sisi pemerintah. “Regulasi untuk model bisnis refill dan reuse belum ada yang spesifik, sehingga para pelaku bisnis ini dalam wilayah abu-abu,” kata Bintang. Menurutnya, pemerintah perlu segera mengeluarkan peraturan yang menaungi bisnis ini.
Sementara itu, dari sisi masyarakat sebagai konsumen, agar model bisnis ini berhasil, poin utamanya adalah kemudahan. “[...] khususnya dalam hal pengembalian kemasan oleh konsumen ke Alner. Cara yang kami lakukan adalah memperbanyak mitra supaya masyarakat semakin mudah untuk mengakses produk-produk Alner dan mengembalikan kemasan kosongnya,” terang Bintang.
“Mitra Alner berjumlah sekitar 100 titik di Jabodetabek. Kami ingin memperluas ke 500 titik di Jabodetabek untuk tahun 2023.”
Ungkapan “upaya tak akan mengkhianati hasil” berlaku pula dalam hal ini. “Over time, kami sangat bersyukur bisa berkolaborasi dengan produsen-produsen yang juga berani mengambil langkah untuk bersama unlock what's needed for reuse dan refill. Sekarang, kami juga bisa lebih banyak berdiskusi dengan pemerintah untuk lebih memahami dan membuat standar guna ulang—masih butuh waktu, tetapi dalam proses. Khususnya soal standar, ini yang urgent,” kata Darina.
“Dari sisi masyarakat atau konsumen, kami juga sangat bersyukur atas tanggapan baiknya, di mana return rate consumer dari 3 start-up kami—Alner, Allas, dan QYOS—di atas 50 persen. Kami harap ke depan bisa lebih banyak lagi yang bisa bergabung bersama kami dan membuat reuse dan refill jadi common practice.”
Sebagai naungan, diakui Darina, NPAP selama ini mendukung penuh gerakan ZWLL, salah satunya, dengan memberi kemudahan akses untuk bertemu pihak-pihak terkait. “Benefit-nya tentu dari network yang terjalin, pembelajaran, bahkan diskusi relevan yang dapat terlaksana sehingga kami bisa berkolaborasi untuk enable reuse and refill ecosystem, to significantly reduce plastic waste, together,” tutupnya.
“NPAP merupakan salah satu stakeholder terpenting dalam upaya pengurangan dan pengelolaan sampah plastik di Indonesia,” tambah Bintang, “[...] Alner bisa berjejaring dengan anggota NPAP lainnya. Salah satu contohnya adalah Bank Sampah NUSANTARA yang kini bekerja sama menjadi Mitra Alner.”
Jika menilik tradisi nenek moyang, guna ulang sesungguhnya merupakan perilaku bawaan kita. Model linier—ambil-pakai-lempar—yang dicontohkan secara ekstrem oleh budaya plastik sekali pakai justru fenomena baru.
Kata Christian, “Kita harus ‘menemukan kembali’ reuse, dan pada saat yang sama—dengan kemampuan data dan teknologi saat ini—memikirkan kembali seperti apa sistem guna ulang hari ini dan di masa depan.”
Dengan begitu, sistem guna ulang dan isi ulang laiknya lungsuran dan rantangan bukan hanya melanggengkan rasa sayang maupun persaudaraan, melainkan juga melanggengkan kehidupan.[]
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis