tirto.id - Pasal 212 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berisi tentang hukuman untuk pelaku kekerasan bagi pejabat yang sedang melaksanakan tugas dan unsur-unsur apa saja yang dianggap sebagai kekerasan terhadap pejabat.
Sebagai negara berdasar hukum, Indonesia memiliki induk peraturan yang menjadi pedoman bagi segala tindah pidana. Pedoman tersebut tertuang dalam KUHP. Induk peraturan tersebut berfungsi untuk mengadili berbagai perkara pidana yang meliputi berbagai kepentingan umum seperti keamanan, ketentraman, kesejahteraan, dan ketertiban.
KUHP dibentuk berdasarkan pedoman hukum pada masa kolonial Belanda yaitu Wetboek van Strafrecht Voor Nederlandsch Indie (WvSNI) pada 15 Oktober 1915. WvSNI mulai diberlakukan di Hindia Belanda pada 1 Januari 1918.
Pada WvSNI, unsur-unsur kolonial seperti aturan kerja rodi serta denda menggunakan mata uang gulden masih diberlakukan. Kemudian pada pasca kemerdekaan, WvSNI diubah menjadi KUHP dan dihilangkan unsur-unsur kolonialisme di dalamnya.
KUHP terdiri dari 3 Buku yang mengatur segala tindak pidana. Buku 1 mengatur tentang Aturan Umum (Pasal 1-103), Buku 2 mengatur tentang kejahatan (Pasal 104-448), dan Buku 3 mengatur tentang pelanggaran (Pasal 489-569).
Isi Bunyi dan Unsur Pasal 212 KUHP Tentang Kekerasan Terhadap Pejabat yang Sedang Bertugas
Pasal 212 KUHP mengatur tentang kekerasan terhadap pejabat yang sedang bertugas, berikut ini adalah bunyi lengkap pasal tersebut:
“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan kepada seseorang pegawai negeri yang melakukan pekerjaannya yang sah, atau melawan kepada orang yang waktu membatnu pegawai negeri karena itu kewajibannya menurut undang-undang atau karena permintaan pegawai negeri itu, dihukum, karena perlawanan, dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp4.500.”
Pasal 212 ini merujuk pada perlawanan yang ditujukan secara langsung kepada petugas sehingga menimbulkan akibat tertentu seperti luka atau kematian.
Pasal 212 KUHP ini termasuk dalam kategori tindak pidana materiil, karena ada akibat yang timbul terhadap pegawai/pejabat yang dilawan tersebut. Untuk menentukan perbuatan yang dianggap melanggar itu, perlu menggunakan ajaran kausalitas.
Contoh kasusnya adalah dalam sebuah demonstrasi, para demonstran dilarang untuk memasuki komplek kantor yang dituju. Satpol PP selaku satuan yang bertugas untuk mengamankan situasi perlu menahan para demonstran untuk tidak merangsek masuk.
Ketika terjadi saling dorong antara petugas Satpol PP dengan para demonstran, ada beberapa petugas Satpol PP yang terluka parah karena diserang oleh para demonstran.
Kasus seperti itulah yang dapat menjadi delik dari Pasal 212, yaitu adanya kekerasan berupa timbulnya luka atau kematian yang dilakukan secara sengaja kepada petugas yang sedang bertugas.
Penulis: Muhammad Iqbal Iskandar
Editor: Nur Hidayah Perwitasari