tirto.id - Dalam bahasa latin ada istilah "per fume" yang artinya "melalui asap". Istilah ini merujuk pada benda yang akrab dengan kehidupan manusia, yakni parfum. Parfum jadi salah satu kebutuhan perawatan tubuh yang penting bagi seseorang. Namun, bila ditanya apa itu minyak atsiri, barangkali tak semua orang mengenalnya.
Padahal parfum dan minyak atsiri punya keterkaitan yang kuat. Minyak atsiri seperti minyak nilam dapat berfungsi sebagai zat pengikat yang penting sebagai bahan pembuatan parfum. Minyak atsiri atau essential oil atau juga sering disebut aromatic oil memang tak sepopuler produk jadinya.
"Bibit minyak wangi" ini diekstrak dari bagian-bagian tanaman seperti daun, buah, biji, bunga, akar, rimpang, kulit kayu, bahkan seluruh bagian tanaman. Selain parfum, minyak atsiri juga bahan baku kosmetika, farmasi/obat-obatan, dan industri makanan dan minuman. Minyak atsiri dihasilkan oleh 160-200 aneka ragam tanaman aromatik, sebagian tersedia di Indonesia.
Diperkirakan terdapat 12 jenis minyak atsiri Indonesia yang diekspor ke pasar internasional dari 80 minyak atsiri di dunia. Jenis-jenis minyak atsiri yang diekspor antaralain minyak nilam, serai wangi, akar wangi, kenanga, jahe, dan pala.
Minyak nilam (Patchouli oil) jadi bintang bagi ekspor ekspor minyak atsiri Indonesia. Indonesia memasok sekitar 85 hingga 90 persen pangsa pasar minyak nilam global 2.000 ton per tahun. Produksi minyak nilam didominasi di Pulau Jawa dan Sumatera, tetapi dalam beberapa tahun terakhir ini telah mulai bergeser ke Sulawesi. Sulawesi memproduksi sekitar 80 persen minyak nilam Indonesia. Sebagian diekspor masih dalam bentuk minyak yang belum diolah jadi produk hilir.
Ironi Minyak Atsiri
Nilai ekspor minyak atsiri menjadi salah satu sumber devisa utama bagi Indonesia. Dalam daftar 10 komoditas potensial dari Kementerian Perdagangan, nilai ekspor minyak atsiri dan kosmetik wewangian berada di sekitar $580 juta hingga $637 juta selama periode 2011 hingga 2015. Negara tujuan ekspor utama antaralain Amerika Serikat dan Eropa.
Sayangnya, industri hilir di dalam negeri belum mampu memaksimalkan potensi yang besar ini. Buktinya, nilai impor minyak atsiri dan kosmetik wewangian selalu lebih besar dari nilai ekspor minyak atsiri, dengan nilai impor di kisaran $750 juta hingga $1,1 miliar dari periode 2011 hingga 2015. Pada 2015, Indonesia harus mengimpor $962 juta, tapi nilai ekspor komoditas ini hanya $637 juta.
Fakta ini semakin ditegaskan dengan tidak adanya daftar produsen kosmetik wewangian Indonesia yang masuk dalam 10 besar daftar perusahaan dunia yang bergerak di bidang perasa dan wewangian. Sebagai catatan, menurut data yang diolah oleh Statista, yang menduduki posisi puncak dalam daftar tersebut adalah Givaudan yang berbasis di Swiss.
Pada 2014, Givaudan mampu mencatatkan penjualan $4,82 miliar. Di posisi kedua terdapat Firmenich yang juga berbasis di Swiss dengan catatan penjualan sebesar $3,38 miliar. Perusahaan ini bekerja sama dengan merek-merek parfum terkenal untuk memproduksi parfum seperti Boss Bottled oleh Hugo Boss dan Romance oleh Ralph Raulen. Di peringkat tiga terdapat International Flavors & Fragrances Inc. (IFF) yang berbasis di AS dengan penjualan $3 miliar.
Angka-angka yang menggiurkan dari para produsen parfum dunia, ini membuktikan bahwa industri hilir yang mengolah bahan baku wewangian minyak atsiri tak bisa ditawar lagi. Sayangnya industri domestik masih sebatas mengekspor minyak atsiri yang belum diolah sebagai produk jadi.
Di Indonesia memang ada beberapa produsen besar yang menggeluti industri wewangian, antara lain Kinocare Era Kosmetindo dan Mandom Indonesia. Kinocare memproduksi produk produk seperti Eskulin, sementara Mandom terkenal dengan produknya seperti Gatsby, Spalding, dan Pucelle.
Pada 2015, Mandom mencatatkan penjualan sebesar Rp2,3 triliun. Sementara Kinocare mencatatkan penjualan Rp 3,6 triliun. Nilai tersebut sangat jauh bila dibandingkan dengan Givaudan ataupun Firmenich yang fokus di produk parfum. Produsen global ini mampu meraup pundi-pundi uang pasar wewangian global. Menurut sebuah survei yang dilakukan oleh Leffingwell & Associates, pasar perasa dan wewangian global bernilai $24,1 miliar pada 2015, dan Asia Tenggara menyumbang 10 persen.
Melihat kenyataan pasar wewangian dan parfum, sangat disayangkan bila Indonesia hanya menjadi pengekspor barang mentah minyak atsiri. Hilirisasi industri termasuk di minyak atsiri jadi pekerjaan rumah yang belum selesai. Bila dibiarkan, Indonesia hanya jadi negara konsumen produk hilir wewangian. Sebuah ironi yang menahun.
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti