tirto.id - Partai semifinal Piala Asia U-23 2024 di Stadion Abdullah bin Khalifa, Doha, Qatar, Senin (29/4/2024) malam WIB berlangsung amat berat bagi Timnas Indonesia U-23. Skuad Garuda Muda kalah dari Uzbekistan U-23 dengan skor 0-2 pada laga tersebut. Khusayin Norachev membuka keunggulan Uzbekistan U-23 pada menit ke-68, sebelum Pratama Arhan menyarangkan gol bunuh diri pada menit ke-86.
Kekalahan Indonesia U-23 sebenarnya tidak dimulai dari gol Norachev, tapi sejak tujuh menit sebelum itu, ketika Muhammad Ferarri justru berhasil melesakkan bola ke gawang kiper Uzbekistan U-23, Abduvohid Nematov.
Pada mulanya, adalah Nematov yang gagal menghalau sebuah umpan silang. Bola kemudian jatuh ke kaki Ramadhan Sananta, disodorkan ke Ferarri yang menggoceknya sedikit lalu menyarangkannya dengan telak ke sudut kiri atas gawang Uzbekistan U-23.
Di tengah gempuran Uzbekistan U-23 yang bertubi-tubi, gol Ferarri itu jadi angin segar. Orang boleh bilang gol itu jatuh dari langit, tapi, percayalah, tak ada yang peduli dari mana asalnya. Yang penting gol, titik.
Namun, momen gol Ferarri itu segera kehilangan dampaknya begitu wasit utama asal Tiongkok, Shen Yinhao, mendapat panggilan dari studio Video Assistant Referee (VAR) yang diisi para petugas dari pertandingan kontra Qatar di fase grup.
Para petugas VAR itu meminta Shen Yinhao mengecek tayangan ulang gol Ferarri karena ada indikasi Sananta lebih dulu offside. Dan benar saja. Dalam tayangan ulang terlihat sebagian kaki Sananta sudah melewati bagian tubuh pemain belakang terakhir Uzbekistan U-23 saat umpan silang dilepaskan.
Shen Yinhao pun, setelah beberapa saat, memutuskan untuk menganulir gol Ferarri. Keputusan itu serupa pukulan telak yang membikin sempoyongan. Skuad Indonesia U-23 yang sedari awal sudah kewalahan menghadapi pressing ketat Uzbekistan U-23 pun dibikinnya semakin amburadul.
Sampai akhirnya, Uzbekistan U-23 pun mengganjar kelemahan Indonesia U-23 tersebut dengan dua gol.
Indonesia U-23 Kalah karena VAR?
Usai pertandingan, terang saja Shen Yinhao menjadi public enemy warganet Indonesia. Dia dianggap tak adil dan lebih menguntungkan Uzbekistan U-23. Selain itu, publik Indonesia juga menyorot penggunaan VAR dalam partai semifinal tersebut.
Selain keputusan anulir gol Ferarri, ada dua momen lain yang menerbitkan anggapan bahwa Indonesia U-23 dirugikan oleh VAR. Pertama, di babak pertama, ketika Witan Sulaeman diganjal di (dekat) kotak penalti. Momen lainnya terjadi pada menit ke-84 ketika Rizky Ridho dianggap wasit Shen Yinhao melakukan pelanggaran keras terhadap pemain Uzbekistan U-23, Jasurbek Jaloliddinov.
Sebagian besar warganet Indonesia menuding wasit dan VAR sebagai biang kekalahan Timnas U-23. Namun, jika ditilik secara objektif, Timnas Indonesia U-23 sebenarnya terlihat jelas kewalahan menghadapi skuad Uzbekistan U-23 yang lebih mumpuni. Dari segi permainan, skuad Garuda Muda masih kalah kelas dari Uzbekistan U-23.
Nyaris tak ada ancaman berarti yang diberikan Indonesia U-23 sepanjang laga. Statistik pun akhirnya menegaskan itu. Dua puluh delapan tembakan dilepaskan Uzbekistan, sementara Garuda Muda hanya mampu menembak empat kali.
Salah umpan berulang kali terjadi, bola begitu mudah direbut, pun celah di lini tengah dan belakang menganga begitu lebar.
Poros ganda Garuda Muda, Ivar Jenner dan Nathan Tjoe A On, dikunci habis. Mereka tak diberi ruang sedikit pun untuk mendistribusikan bola. Ketiadaan Rafael Struick di lini depan juga membuat kombinasi mereka dengan Marselino Ferdinan dan Witan tak secair biasanya.
Ketidakmampuan Ernando Ari mendistribusikan bola pun turut berkontribusi atas permainan buruk Indonesia. Ya, Indonesia U-23 memang layak untuk kalah. Apalagi, Uzbekistan U-23 memang merupakan salah satu tim terbaik di Asia saat ini.
Menakar VAR
Harus diakui bahwa Uzbekistan U-23 memang layak menang. Namun, kekesalan suporter dan publik Indonesia terhadap pengambilan keputusan wasit dan VAR sebenarnya manusiawi belaka. Siapa pun pasti ingin keputusan yang menguntungkan tim yang mereka dukung. Siapa pun pasti ingin keberuntungan berpihak kepada mereka.
VAR sendiri diciptakan justru untuk meminimalisasi faktor nonteknis seperti keberuntungan. Lebih tepatnya, VAR dibuat supaya keputusan wasit dan hasil pertandingan secara keseluruhan bisa (lebih) dipertanggungjawabkan. Ia diharapkan dapat membantu wasit membuat keputusan yang akurat.
Sepak bola terbilang terlambat mengadopsi teknologi (seperti) VAR. Football amerika, rugbi, dan tenis sudah lebih dulu familier dengan teknologi asistensi video macam itu. Bukan berarti karena tidak ada usulan atau sepak bola tidak membutuhkan. Namun, penggunaan VAR mulanya memang mendapat resistensi.
Ifsani Ehsan Fachrezi dalam esainya yang terbit di Pandit Footballmenyebutbahwa ide penggunaan VAR di sepak bola pertama kali muncul di Belanda pada 2010. Kala itu, Persatuan Sepak Bola Kerajaan Belanda (KNVB) tengah merancang proyek Refereeing 2.0. Salah satu hal yang diusung proyek tersebut adalah pengintegrasian teknologi demi meminimalisasi kesalahan dalam pengambilan keputusan.
Sebenarnya, sepak bola tidak melulu alergi pada teknologi. Goal line technology (GLT) atau teknologi garis gawang, misalnya, dengan segera diadopsi FIFA setelah melewati sejumlah uji coba. "Gol" Frank Lampard ke gawang Jerman di Piala Dunia 2010 yang tidak disahkan menjadi salah satu katalisator penggunaan GLT kemudian.
Namun, ada perbedaan fundamental antara VAR dan GLT. Para pelaku sepak bola tidak resisten pada GLT lantaran ia tidak merusak aliran permainan. GLT menghasilkan keputusan yang mutlak dan cepat. Bila bola sudah sepenuhnya melewati garis gawang, sensor akan mengirim sinyal ke gawai yang dikenakan wasit.
Ada sinyal berarti gol, tidak ada sinyal berarti tidak gol. Sesimpel itu.
Sementara itu, penggunaan VAR menghadirkan interupsi dan itu mengganggu sifat dari permainan sepak bola yang “mengalir”. Dalam olahraga yang lebih dulu mengadopsi VAR, seperti football amerika, rugbi, atau tenis, interupsi menjadi bagian natural dari permainan. Karenanya, tak ada kendala berarti ketika VAR diberlakukan dalam cabang-cabang tersebut.
Namun, sepak bola berbeda. Ia hampir tak mengenal interupsi selama tidak ada pelanggaran atau hal-hal lain seperti cedera. Permainan dan momentum dalam sepak bola terbangun lewat jual-beli serangan tanpa henti. Karena itulah, sekalangan insan sepak bola menganggap kehadiran VAR justru akan merusak aliran permainan tersebut.
Selain itu, ada sisi romantis para pelaku sepak bola yang mencintai ketidaksempurnaan dari permainan ini. Bayangkan saja, bila sudah ada VAR, mustahil ada gol “ajaib” seperti Gol Tangan Tuhan oleh Diego Armando Maradona. Padahal, cerita-cerita sinting macam itulah yang membuat sepak bola jadi lain dari yang lain.
Berkat ketidaksempurnaannya itu, sepak bola justru jadi sempurna di mata para penikmatnya.
VAR Hanyalah Alat Bantu, Wasitlah Sang Penentu
Namun, FIFA bergeming. Setelah diuji coba (salah satunya) pada Piala Konfederasi 2017, FIFA secara resmi memperkenalkan penggunaan VAR pada Piala Dunia 2018. Sejak saat itu, sepak bola tak lagi sama.
Yang paling dikeluhkan orang adalah hilangnya kemutlakan sebuah gol. Sekarang, ada rasa waswas yang menghinggapi tiap pemain ketika melakukan selebrasi. Tak jarang, pemain mesti celingak-celinguk terlebih dulu untuk memastikan bahwa golnya memang sah dan tidak akan dianulir.
Dari sisi penonton, VAR dianggap mengurangi kenikmatan menonton sepak bola di stadion. Di stadion-stadion yang tak punya layar besar, penonton cuma bisa berharap-harap cemas saat wasit meninjau kejadian lewat bantuan VAR.
Apa yang ditinjau wasit lewat VAR justru bisa disaksikan oleh mereka yang menonton lewat layar kaca. Dengan kata lain, fokus sepak bola pun bergeser dari tontonan langsung menjadi tontonan siaran.
Meski demikian, sebenarnya tidak ada yang salah dengan VAR karena ia hanyalah alat bantu. Semua keputusan akhir tetap ada di tangan wasit utama. Karenanya, selain asistensi VAR, akurasi keputusan pada dasarnya tetap berhulu pada kualitas wasit sebagai pengadil di lapangan.
Kadang kala, justru di sinilah terletak masalah. Pasalnya, setiap wasit bisa memiliki subjektivitas interpretasi atas suatu insiden di lapangan sekali pun dipandu dengan Laws of the Game dari International Football Association Board (IFAB). Hal itu tentu akan berpengaruh pada pengambilan keputusannya.
Jadi, VAR memang dapat membantu wasit, tapi ia tak lantassepenuhnyabisa menghilangkan kontroversi yang mungkin timbul.
Alih-alih puas dan mafhum, banyak penonton justru makin tidak puas dengan keputusan kontroversial yang diambil wasit usai meninjau VAR. “Sudah pakai VAR, kok, masih salah?” Kira-kira seperti itulah kesan yang terbit di benak banyak penggemar sepak bola.
Terlebih, teknologi VAR pun tak selalu beroperasi optimal. Di ajang Premier League musim 2023/2024, misalnya, VAR ternyata tak sepenuhnya menghindarkan wasit dari kesalahan pengambilan keputusan.
Seturut pemberitaan Bola.net, per Februari 2024—ketika musim berjalan separuhnya, terhitung sudah ada 20 keputusan VAR yang dinilai keliru oleh Key Match Incidents Panel (KMI Panel). Sebagai perbandingan, KMI Panel juga menemukan 57 keputusan tepat yang dibantu oleh VAR.
Catatan kesalahan itu masih bisa bertambah mengingat musim kompetisi masih berjalan. Kita tentu mesti membandingkannya lagi dengan jumlah keputusan tepat, tapi itu tak menutup fakta bahwa VAR juga punya cela.
Maka tak mengherankan seruan penghapusan VAR masih berembus kencang hingga kini. Salah satu seruan itu datang dari manajer Tottenham Hotspur, Ange Postecoglou.
"Saya tak punya masalah dengan GLT yang simpel dan bekerja dengan baik. Namun, semakin sering VAR digunakan, kok, rasanya makin banyak masalah. Kalau untuk mengevaluasi insiden yang jelas, sih, masih oke. Namun, kesannya semua hal jadi harus kena evaluasi. Kupikir, saya tidak akan menyukai sepak bola 20 tahun lagi kalau begini terus," kata Postecoglou, dikutip dari Daily Sports.
Akan tetapi, VAR tentu bukan tidak berguna sama sekali. Seturut laporan Bola.net,pihak Premier League juga membeber data bahwa, “Sebelum penggunaan VAR, ada sekitar 86 persen keputusan tepat yang dibuat wasit di setiap musimnya. Sekarang, dengan adanya VAR, angka tersebut meningkat jadi 96 persen.”
Dalam konteks semifinal Piala Asia U-23 2024, publik agaknya perlu menyimak pula perspektif dari wasit untuk memahami pengambilan keputusan Shen Yinhao melalui VAR.
Mantan wasit FIFA asal Indonesia, Jimmy Napitupulu, sebagaimana dikutip Bolasport.com, menilai keputusan Shen Yinhao menganulir gol Ferarri sudah tepat. Dalam perspektif Jimmy, Sananta memang sudah terlebih dahulu terperangkap offside sebelum gol Ferarri terjadi.
Artinya, keadilan telah tercipta, meski keadilan itu menyakitkan bagi Timnas U-23 dan publik Indonesia. Momen dianulirnya gol Ferrari tersebut memang sangat krusial. Mental para pemain Timnas Indonesia U-23 yang sempat naik sesaat langsung drop dan kondisi itu benar-benar dieksploitasi lawan.
Lantas, usai menimbang segala aspeknya, haruskah VAR dihapuskan? Menurut saya, tidak. Penggunaan VAR memang membawa perubahan dalam permainan sepak bola. Namun, maslahat yang dihasilkannya sejauh ini terbukti lebih banyak dibanding mudaratnya.
Dengan persentase keberhasilan yang tinggi, mustahil FIFA menghapuskan VAR begitu saja. Terlebih, investasi yang mereka kucurkan untuk mengadopsi teknologi ini sudah sangat besar.
Kini, yang bisa dilakukan penikmat sepak bola adalah menerima VAR sesuai kodratnya, yakni sebagai sebuah alat bantu. Memang, ia masih perlu melalui banyak perbaikan dalam berbagai aspek, tapi ini bukan sesuatu yang mustahil untuk dicapai.
Seiring berjalannya waktu, VAR pun akan jadi bagian yang alami dari sepak bola.
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadrik Aziz Firdausi