Menuju konten utama

Video Assistant Referee (VAR) dan Cerita Comeback Barcelona

Penggunaan video assistant referee (VAR) bisa menggagalkan drama Barcelona vs PSG pada babak 16 Liga Champions.

Video Assistant Referee (VAR) dan Cerita Comeback Barcelona
Ruang VAR (Video Assistant Referee) selama Lokakarya IFAB pada uji coba VAR di Red Bulls Arena. Foto/USA Today/Andy Marlin

tirto.id - “Tidak ada yang mustahil bagi mereka yang percaya,” tulis Sid Lowe untuk The Guardian saat mengomentari kemenangan dramatis 6-1 Barcelona atas Paris Saint-Germain (8/3). Kemenangan yang menjadi salah satu comeback terbaik tahun ini, mungkin salah satu yang terbaik dalam sejarah sepakbola.

“Selama ada 1% kesempatan, kita masih punya 99% keyakinan,” komentar yang keluar dari Neymar setelah kekalahan memalukan Barcelona di Stade de France 0-4. Pertandingan yang menjadi salah satu sebab mundurnya Luis Enrique di akhir musim.

Nyaris mustahil memang untuk percaya bahwa Barcelona akan mampu membalikkan keadaan, terutama setelah Edinson Cavani mencetak salah satu gol spektakuler malam itu pada menit ke-62. Satu gol tandang. Satu gol bencana.

Masalahnya 1% kemungkinan ini tetap membuat Barcelona bergerak seperti binatang buas memburu gol demi gol. “Tidak ada yang akan pernah melupakan (pertandingan) ini,” sergah Enrique yang sampai lupa diri merayakan gol menentukan Sergio Roberto sampai berlari ke tengah lapangan.

Ini memang kemenangan hebat. Tidak ada keraguan. Perayaan gol Lionel Messi dengan berdiri di atas papan iklan di belakang gawang Kevin Trapp, yang tampak seperti sedang merayakan gelar Piala Dunia untuk Argentina, benar-benar menggambarkan itu. Semua hilang kontrol. Suasana jadi gila.

Baiklah, mari berhenti sejenak untuk pembahasan kehebatan Barcelona. Sekarang, mari kita bahas kenapa kemenangan ini tidak layak dirayakan sebegitu liar. Pertandingan babak 16 besar Liga Champions 2016/2017 ini mungkin memang masuk menjadi salah satu pertandingan terbaik. Belum ada dalam sejarah ada tim yang bisa membalikkan keadaan 0-4 dan lolos ke putaran berikutnya dalam sejarah Liga Champions. Baru Barcelona yang mampu melakukannya.

Akan tetapi, jangan lupakan bahwa pertandingan ini juga memunculkan insiden-insiden yang memalukan dalam sejarah sepak bola. Kepemimpinan wasit Deniz Aytekin cukup banyak dikomentari. Barcelona memang bermain luar biasa, tapi tanpa beberapa keputusan kontroversialnya, akan jauh lebih sulit Messi dkk., bisa mengejar defisit gol yang dibutuhkan.

Ada beberapa. Seperti handsball Javier Mascherano atau terjatuhnya Neymar karena mengenai tubuh Thomas Meunier. Keduanya memang penuh perdebatan. Keputusan wasit asal Jerman keturunan Turki ini bisa benar, bisa salah. Jadi daripada berdebat, mari kita fokus pada dua insiden yang paling kontroversial dan menentukan pada pertandingan tersebut.

Pertama, pelanggaran Marquinhos untuk Luis Suarez. Sulit percaya bahwa gangguan minimal yang dilakukan bek asal Brasil ini bisa menjatuhkan sosok setangguh dan sekuat Suarez. Penyerang yang tidak hanya tajam, tapi juga ulet ketika berduel satu lawan satu dengan pemain bertahan lawan. Menjadi aneh ketika melihat Suarez terjatuh setelah hanya “tersentuh” bek lawan, lalu terjerembab seolah baru saja dihantam terjangan kereta Shinaken.

Ketika wasit berusia 38 tahun ini menunjuk titik putih, harapan Barcelona jadi hidup kembali. Terlebih pelanggaran ini terjadi pada menit ke-90. Dan papan skor masih menunjuk 4-1 untuk Barcelona. Artinya, harapan Barcelona kembali menguat karena untuk lolos mereka harus bisa mencetak satu gol lagi jika penalti ini sukses dimanfaatkan. Apalagi dalam pertandingan tersebut, aksi diving Suarez ini adalah yang kedua kali. Yang pertama pada menit ke-67, Suarez juga melakukan diving tapi gagal karena keburu “ketahuan” wasit. Baru pada aksinya yang kedua, Suarez “berhasil”.

Insiden krusial berikutnya adalah pelanggaran Javier Mascherano terhadap Angel Di Maria di dalam kotak penalti. Dalam kondisi berhadapan satu lawan satu dengan Marc-Andre ter Stegen, Mascherano melakukan terjangan berbahaya. Tidak hanya mencegah PSG menciptakan gol tandang kedua, mantan pemain Liverpool ini juga nyaris menghabisi karier Di Maria.

Anehnya, terjangan Mascherano yang sangat berbahaya ini dibiarkan begitu saja. Di Maria dibiarkan terkapar karena kakinya dihantam dalam keadaan siap menendang bola. Protes pemain PSG pun tidak digubris oleh Aytekin.

Kemenangan Barcelona malam itu segera mengingatkan kita akan laga semifinal Liga Champions 2008/2009, saat Josep Guardiola bersua dengan Guus Hiddink di Stamford Bridge. Saat itu, berkali-kali pemain-pemain Chelsea ibuat frustasi wasit Tom Henning Ovrebo. Hal yang kemudian membuat Didier Drogba lepas kendali sampai memaki-maki ke arah kamera dan ofisial pertandingan setelah pertandingan.

Beberapa insiden ini seharusnya menyadarkan UEFA bahwa penggunaan Video Assistant Referee (VAR) memang diperlukan dalam sepak bola modern. Teknologi yang sudah digunakan dan disetujui FIFA ini sudah lolos uji coba secara resmi ketika digunakan pertama kali saat Kashima Antlers melawan Auckland City pada kejuaran Piala Dunia Klub 2016, Desember lalu.

VAR sebenarnya sudah mengemuka sejak 2010 lalu oleh Sepp Blatter, Presiden FIFA waktu itu. Teknologi ini digunakan untuk membantu wasit dalam menentukan beberapa keputusan krusial seperti keputusan gol, pelanggaran, sampai insiden pemain yang tidak melibatkan bola. Secara sederhana, seorang wasit, selain dibantu oleh asisten di pinggir lapangan, akan dibantu administrator yang menyaksikan rekaman ulang lalu meneruskannya pada monitor di beberapa sudut lapangan agar dilihat wasit.

Meskipun membantu untuk memberi keputusan yang akurat, penggunaan teknologi ini bukan tanpa kekurangan. Adalah Cristiano Ronaldo yang mengeluhkannya karena dengan begitu, wasit berpotensi menghabiskan cukup banyak waktu ketika mengambil keputusan.

“Televisi tidak bisa bekerja dalam sepakbola,” ujar Ronaldo setelah pertandingan Real Madrid melawan Club Amerika di babak semifinal Piala Dunia Antarklub 15 Desember 2016.

Sekalipun ada beberapa kekurangan, Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA) berencana akan tetap menggunakan teknologi ini untuk Piala FA tahun depan. Keputusan ini diambil setelah Dewan Asosiasi Sepak Bola Internasional (IFAB), lembaga yang menentukan aturan dalam sepak bola, meloloskan uji coba VAR.

Akan tetapi, FA tidak akan menggunakannya sesering mungkin dalam setiap pertandingan. FA percaya bahwa pertandingan bisa “rusak” jika setiap keputusan wasit harus ditentukan oleh VAR. “Ini tidak dirancang untuk digunakan dalam 15-20 keputusan setiap pertandingan,” ujar David Elleray, Direktur Teknik IFAB. Penggunaan VAR hanya akan digunakan pada beberapa situasi genting yang menentukan saja. Sama seperti penggunaan teknologi garis gawang yang juga sudah digunakan FA.

Selain FA Inggris, Bundesliga Jerman dan MLS Amerika Serikat juga berencana akan menggunakan teknologi VAR di musim depan. Bahkan, Serie A Italia lebih dulu melakukannya di paruh musim kedua 2016/2017. Meskipun belum memberi dampak signifikan, akan tetapi teknologi ini dianggap mampu membantu wasit dengan kekurangan yang minimal.

Salah satu aspek yang dirasa akan jadi kekurangan adalah risiko hilangnya atmosfer pertandingan yang menegangkan karena wasit harus menunggu beberapa menit untuk menentukan keputusan. Ini bisa saja merusak suasana pertandingan.

Untuk mengatasinya, FIFA mungkin bisa belajar dari cabang olahraga lain seperti bulu tangkis atau American Football. Dua cabang olahraga yang menggunakan teknologi mirip dengan VAR. Tentu saja dengan beberapa aturan teknis untuk menjaga tensi dan atmosfer pertandingan. Salah satunya adalah permintaan “challenge” atau meminta tayangan ulang.

Infografik Var

Dalam bulu tangkis, penggunaan aturan ini sudah diberlakukan sejak Desember 2013. Secara sederhana setiap pemain akan mendapatkan jatah “challenge” sebanyak dua kali dalam satu pertandingan. Ketika pemain mengajukan “challenge” wasit baru akan memutar tayangan ulang. Jika kemudian keputusan wasit sebelumnya salah, jatah “challenge” pemain tersebut tidak akan berkurang. Akan tetapi, jika ternyata keputusan awal wasit sudah benar, pemain kehilangan satu jatahnya.

Hal ini juga berlaku dalam American Football. Setiap tim mendapat jatah dua kali “challenge” dengan melemparkan bendera merah. Sama seperti bulu tangkis, jatah “challenge” tidak akan berkurang jika memang dalam tayangan ulang wasit melakukan kesalahan dalam mengambil keputusan.

Masalahnya, dibandingakan federasi sepak bola yang lain, UEFA adalah salah satu federasi yang paling kolot dengan perkembangan teknologi dalam membantu wasit. Jangankan teknologi VAR, untuk teknologi garis gawang saja, UEFA baru menggunakannya untuk Piala Eropa 2016. Artinya, teknologi ini baru digunakan pada Liga Champions musim ini.

Dibandingkan FIFA yang sudah melakukan kajian dan memberlakukan aturan untuk pengadaan ini sejak kasus “gol hantu” Frank Lampard pada Piala Dunia 2010, UEFA memang ketinggalan langkah. Toh, pada kenyataanya, gol pertama Barcelona ke gawang PSG yang dicetak Suarez pada pertandingan babak 16 besar Liga Champions kemarin disahkan juga karena adanya teknologi ini.

Artinya penggunaan teknologi sudah tidak lagi menjadi tabu bagi perkembangan sepak bola yang semakin cepat, intens, dan menguras energi—baik bagi pemain maupun bagi pengandil lapangan hijau. Jika para pemain sudah terbantu dengan perkembangan teknologi dengan perangkat seperti sepatu sampai kaos yang mampu meningkatkan peforma, lalu kenapa teknologi untuk meningkatkan peforma wasit masih harus dihalang-halangi atas dasar kekhawatiran yang tidak masuk akal?

Baca juga artikel terkait BARCELONA atau tulisan lainnya dari Ahmad Khadafi

tirto.id - Olahraga
Reporter: Ahmad Khadafi
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Ahmad Khadafi