tirto.id - Hari-hari ini Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sedang diterpa gonjang-ganjing reorganisasi. Masalah ini mencuat sebagai buntut dari terbitnya Perka LIPI nomor 1 tahun 2019. Peneliti politik LIPI Syamsudin Haris menilai Perka itu tak dilandasi visi dan misi yang jelas, cenderung sewenang-wenang, eksklusif, mengabaikan aspirasi, dan tidak peka terhadap kondisi karyawan.
Gara-gara itu para peneliti LIPI berdemonstrasi di gedung parlemen untuk meminta Komisi VII DPR RI bersikap terkait kinerja Kepala LIPI Laksana Tri Handoko. Syamsuddin yang menjadi wakil demonstran meminta agar Kepala LIPI dievaluasi oleh DPR RI, karena program reorganisasi berdampak buruk bagi peneliti dan pekerja.
"Bahwa ada masalah di dalam kebijakan reorganisasi dan redistribusi di LIPI yang dilakukan oleh Kepala LIPI. Masalah-masalah itu di antaranya, adalah pembabatan sejumlah satuan kerja, pemecatan beberapa karyawan, penghapusan sejumlah eselon 3, kemudian rencana dirumahkannya ratusan staf pendukung jumlahnya 1.500 [orang]," kata Syamsudin kepada Tirto.
Laksana Tri Handoko kemudian membantah bahwa tidak benar ada pemecatan PNS dalam proses reorganisasi. Yang ada adalah redistribusi PNS administrasi pendukung. Lebih lanjut menjelaskan bahwa reorganisasi itu bertujuan melakukan pembenahan internal untuk menguatkan fungsi penelitian daripada administrasi.
Namun, Laksana mengakui telah terjadi miskomunikasi di internal lembaganya berkaitan dengan sosialisasi reorganisasi yang belum optimal.
"Memang kami akui ada miskomunikasi di internal dan harus segera kami selesaikan," ujarnya kepada wartawan di kantor Kementerian PANRB, Jakarta Selatan, Senin (18/2/2019).
Belum selesai masalah itu, Senin lalu (11/3/2019), LIPI kembali diterpa berita miring. Syamsuddin menyebut tesis dan disertasi di Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah (PDII) LIPI telah dimusnahkan. Hal itu ia kaitkan sebagai bagian dari kebijakan reorganisasi.
Hal itu diamini pula oleh peneliti politik senior LIPI Asvi Warman Adam. Seturut informasi yang didapatnya, ada sekitar 30 ribu tesis dan disertasi telah hilang dari ruang penyimpanan koleksi PDII. Namun, Asvi belum bisa memastikan karya-karya itu dimusnahkan seperti dikatakan Syamsuddin.
"Jumlahnya 30 ribu. Berdasarkan informasi yang saya terima, penghilangan itu terjadi pada 9 dan 10 Februari atau akhir pekan. Jadi pas enggak ada orang," ucap Asvi sebagaimana dikutip laman CNN Indonesia.
Asvi menduga nantinya ruangan yang kosong itu hendak dijadikan ruang kantor baru dalam proses reorganisasi.
Tuduhan itu dibantah langsung oleh pelaksana tugas Kelapa PDII Hendro Subagyo. Ia membenarkan bahwa PDII memang ikut mengalami reorganisasi, tetap itu terkait perubahan fungsi lembaga dan perombakan personel. Dan lagi yang terjadi sebenarnya adalah weeding koleksi, bukan semata-mata pemusnahan.
“Terkait dengan weeding yang kemarin sempat ramai di media, itu berbeda. Itu proses lama yang sudah terjadi sejak awal 2018, sekitar Februari atau Maret. Itu sebelum ada reorganisasi dan bahkan sebelum kepala LIPI yang baru dilantik,” tutur Hendro kala dihubungi Tirto melalui sambungan telepon, Selasa (12/3/2019).
Perpustakaan Manapun Lakukan Weeding
Proses weeding alis penyiangan koleksi sebenarnya adalah proses lumrah yang dilakukan perpustakaan mana pun. Menilik Dictionary of Library and Information Science pengertian weeding adalah proses pemeriksaan koleksi untuk mengidentifikasi koleksi yang rusak atau sudah tidak relevan dengan kebutuhan.
Perpustakaan perlu melakukan weeding secara berkala karena keterbatasan ruang penyimpanan. Koleksi-koleksi baru yang datang pun perlu diberi ruang. Karenanya, perpustakaan umum biasanya melakukan weeding secara periodik. Sementara itu di perpustakaan lembaga akademik weeding sangat jarang dilakukan kecuali ruangan penyimpanan telah benar-benar penuh.
Hal ini diamini oleh Kepala Perpustakaan Universitas Indonesia Fuad Gani. Ia juga menjelaskan dalam proses weeding koleksi ada beberapa hal lain pula yang jadi pertimbangan seleksi selain keterbatasan ruang.
Koleksi yang terlalu lama disimpan dalam perpustakaan seiring waktu akan mengalami penurunan kualitas fisik. Ini juga menjadi pertimbangan dilakukannya weeding. Koleksi tersebut bisa jadi bahaya bagi buku-buku lain karena semakin asam dan dihinggapi hama atau jamur.
“Konsepnya, saat weeding itu pustakawan mengidentifikasi value koleksi lalu berdasarkan tahunnya. Kalau tahunnya sudah lama sekali mestinya dialihmediakan,” tuturnya kepada Tirto, Selasa (12/3/2019).
Selama proses weeding pustakawan mestinya hati-hati dalam proses seleksi. Menurut Fuad, dalam khazanah ilmu perpustakaan pustakawan harus memperhatikan standar informasi berkualitas untuk menentukan suatu koleksi dipertahankan atau tidak. Syarat itu meliputi akurasi, relevansi, dan kemutakhiran.
Ia mencontohkan kasus bagaimana pustakawan mempertimbangkan koleksi statistik penduduk tahun 1990 yang diterbitkan BPS.
“Karena dikeluarkan lembaga resmi negara bisa dipastikan informasinya akurat. Tapi, karena tahunnya sudah lama, koleksi itu pasti tidak mutakhir. Hanya saja orang masih akan menggunakannya sebagai data pembanding perkembangan penduduk dari tahun sekian sampai sekian. Ini yang dimaksud relevan,” terang Fuad.
Jenis koleksi juga menentukan perlakuan saat weeding. Koleksi bertema teknologi umumnya menjadi koleksi yang sering tak dipertahankan saat seleksi. Karena perkembangan teknologi berlangsung cepat, pemutakhirannya pun lebih cepat untuk mengejar perkembangan itu.
Perlakuan berbeda diterapkan untuk koleksi ilmu sosial dan langka seperti naskah-naskah kuno Nusantara. Ini lantaran kandungan informasinya yang bersifat timeless. Koleksi ini pun umumnya termasuk koleksi langka, unik, dan bernilai tinggi.
“Kalau buku-buku ilmu sosial, seperti sejarah dan arkeologi, kadang ada yang merupakan satu-satunya studi untuk suatu tema spesifik dan itu belum ada yang menulis lagi. Jadi, nilainya besar. Kalau punya buku terkenal dan edisi asli itu juga kebanggaan bagi lembaga,” tutur Fuad yang juga dosen Program Studi Ilmu Perpustakaan UI.
Koleksi lain yang perlu mendapat perhatian khusus adalah grey literature alias literatur kelabu. Dictionary of Library and Information menyebut kelompok ini mencakup laporan, dokumen internal, disertasi, tesis, dan makalah konferensi yang dihasilkan lembaga negara atau perusahaan.
Eka Meifrina Suminarsih dalam artikel “Pengembangan Perpustakaan Dijital Untuk Meningkatkan Pemanfaatan Grey Literature Di Indonesia” yang terbit di Media Pustakawan edisi Juni 2010 menyebut, “Salah satu jenis bahan pustaka yang seharusnya diperhatikan dan diolah dengan baik adalah Grey Literature. Bahan pustaka ini memiliki isi dan manfaat yang penting dalam tahap-tahap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.”
Literatur kelabu adalah koleksi penting karena sifat khususnya sebagai kekayaan intelektual suatu lembaga. Berbeda dari buku, literatur kelabu umumnya tidak tersedia secara komersial atau tidak dimaksudkan untuk dipublikasikan. Karena itu, menurut Eka, perawatan dan pengolahan literatur kelabu perlu diprioritaskan karena lembaga-lembaga penghasilnya umumnya tidak memiliki sistem informasi penyimpanan dan pengelolaan yang memadai.
Bukan Cuma Fisik, tapi Substansi Koleksi
Jadi, jelaslah bahwa weeding adalah suatu proses yang cukup rumit. Weeding bukan sekadar penyingkiran koleksi kala ruang penyimpanan perpustakaan penuh.
“Kalau proses seleksi sudah berjalan, setelah itu baru koleksi fisiknya bisa dibuang, didaur ulang, atau dihibahkan,” kata Fuad.
Fuad menambahkan bahwa pembuangan atau penghancuran koleksi yang tak lolos weeding adalah hal biasa yang dilakukan perpustakaan mana pun. Apalagi jika koleksi sudah terjangkit hama atau jamur, pemusnahan itu jadi pilihan justru untuk menyelamatkan koleksi lain yang masih baik.
Orang tidak perlu khawatir dengan mekanisme itu karena kini perpustakaan sudah lazim melakukan digitalisasi koleksi. Yang perlu dipahami publik adalah secara prinsip perpustakaan itu wajib menyelamatkan substansi koleksi, bukan hanya soal menyimpan fisik.
“Digitalisasi itu fungsinya juga untuk memperluas dan mempermudah akses oleh publik,” kata Fuad.
Ketika dikonfirmasi, Hendro menyebut bahwa pengelola PDII telah melakukan semua prosedur seleksi sesuai standar yang berlaku di kalangan pustakawan. Koleksi-koleksi penting yang bernilai sejarah dan unik tidak dimasukkan daftar weeding.
“Proses seleksi itu selesai sekitar Agustus atau September. Oleh karena itu, mulai bulan itu semua koleksi yang di-weeding sudah kami turunkan. Ada buku-buku hibah, jurnal, tesis dan disertasi yang sudah ada arsip digitalnya, itu masuk weeding,” tutur Hendro.
Ia menjelaskan bahwa seja awal 2000-an PDII sudah berlangganan jurnal internasional secara online. Karena itulah, sejatinya para peneliti dan publik tak perlu risau karena jurnal-jurnal itu tetap bisa diakses. Hendro juga mengatakan bahwa PDII masih mempertahankan koleksi fisik majalah dan jurnal terbitan Indonesia.
Sementara itu untuk koleksi tesis dan disertasi, Hendro menjelaskan bahwa sebenarnya PDII tidak punya kewajiban untuk mempertahankannya. Merujuk pada Keputusan Menristek No. 44/M/Kp/VII/2000, Hendro mengatakan bahwa PDII hanya bertugas mendokumentasikan, bukan mendigitalisasi. Untuk itu PDII merekam metadata literatur itu dalam repositorinya. Publik pun masih bisa melakukan penelusuran melalui PDII dan lalu mencari literatur itu di universitas asalnya.
“Informasi terkait tesis dan disertasi itu masih ada di PDII dalam bentuk metadata yang merekam universitas asal karya itu. Itu cukup. Yang penting secara nasional kami punya pusat repositori yang mendokumentasikan itu,” ujar Hendro.
Karena itu Hendro menampik bahwa PDII sekadar memusnahkan koleksi tanpa melakukan digitalisasi. Lebih lanjut, penyimpanan dan proses digitalisasi tesis dan disertasi umumnya sudah dilakukan sendiri oleh masing-masing universitas sejak 2000-an. Dan lagi, seiring masifnya digitalisasi koleksi, sebagian besar perpustakaan universitas kini juga telah memiliki repositori karya ilmiah yang bebas diakses dan dimanfaatkan publik.
Editor: Ivan Aulia Ahsan