tirto.id - Pemerintah Indonesia bakal berhadapan dengan Australia dalam sengketa dagang terkait ekspor kertas fotokopi (A4) yang dikenakan Bea Masuk Anti Dumping sebesar 12,6-30 persen (DS529: Australia Anti-Dumping Measures on A4 Copy Paper).
Untuk menyelesaikan sengketa itu, Indonesia mengirimkan delegasi dari Kementerian Perdagangan dan Kementerian Luar Negeri beserta tim kuasa hukum Pemerintah Indonesia di kantor World Trade Organization (WTO), Jenewa, Swiss, pada 18-19 Desember 2018.
"Misi utama kita adalah membuka kembali akses pasar produk kertas fotokopi A4 dari Indonesia
yang saat ini dikenakan Bea Masuk Anti Dumping berkisar antara 12,6—33 persen di Australia," ujar Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Iman Pambagyo, dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Rabu (19/12/2018).
Terdapat lima klaim yang akan diangkat Indonesia untuk melawan Australia yang dinilai melanggar
perjanjian anti-dumping WTO pasal 2.2, 2.2.1.1 dan 9.3.
Iman menjelaskan, permasalahan utama yang digugat Indonesia adalah tuduhan Australia yang muncul di dalam final report bahwa terdapat situasi Particular Market Situation (PMS) di industri kertas Indonesia yang menyebabkan harga bubur kertas sebagai bahan baku kertas terdistorsi. Namun, istilah PMS sebenarnya belum terdefinisikan dan hanya disebutkan satu kali dalam perjanjian anti-dumping WTO.
Australia mendasari temuan adanya PMS dengan adanya intervensi Pemerintah Indonesia dalam bentuk kebijakan-kebijakan di industri kehutanan, khususnya kebijakan pelarangan ekspor kayu bulat yang diduga memberi subsidi industri kertas dengan membuat pasokan kayu bahan baku kertas melimpah sehingga harganya menjadi rendah.
"Terkait tuduhan Australia, Kemendag telah melakukan sosialisasi kepada stakeholders kayu dan produk kayu mengenai adanya ancaman tuduhan yang sama. Tuduhan Australia itu merupakan replikasi tuduhan Amerika Serikat (AS)," jelasnya.
Iman melanjutkan, Australia menilai kondisi PMS ini mengizinkan otoritas penyidik untuk menggantikan data biaya produksi dan penjualan produsen/eksportir dengan tolok ukur harga dari luar negeri (out-of-country benchmark).
Dengan demikian, harga di dalam negeri (normal value) akan melambung dan menyebabkan terbentuknya margin dumping yang menyebabkan adanya perbandingan antara harga domestik dengan harga ekspor.
Selain itu juga, menurut Australia, otoritas penyidik dapat tidak mengenakan aturan lesser duty atau pengenaan tingkat bea masuk anti-dumping dengan besaran (level) yang lebih kecil dari margin dumping yang ada. Sepanjang besaran tersebut dianggap proporsional untuk memulihkan kerugian industri domestik sebagai akibat impor produk dumping.
Sebaliknya, bagi Indonesia, tuduhan ini sangat tidak adil. Dalam upaya pembelaan pada tahap investigasi, Pemerintah menyampaikan sanggahan terkait PMS ini lewat surat tingkat Menteri, hingga melayangkan gugatan ke pengadilan domestik Australia, yaitu Anti-Dumping Review Panel (ADRP).
Namun, meski berbagai upaya telah dilakukan, Indonesia belum menemukan hasil yang memuaskan sehingga diputuskan untuk menaikkan sengketa ke tingkat WTO.
"Untuk pertama kalinya kasus ini akan memberikan pertimbangan bagi hakim WTO tentang bagaimana menafsirkan dan menerapkan metode PMS ini di negara lainnya," imbuh Iman.
Langkah ini telah menarik banyak perhatian negara lain baik negara maju maupun negara berkembang, terbukti dengan keikutsertaan sejumlah negara seperti Thailand, Singapura, Ukraina, Vietnam, AS, Kanada, China, Rusia, Jepang, Uni Eropa, India, Israel dan Mesir sebagai third party dalam sengketa ini.
Iman menjelaskan lebih lanjut alasan interpretasi dan implementasi PMS tersebut sangat penting bagi negara berkembang seperti Indonesia. Menurutnya, jika semua intervensi Pemerintah otomatis dianggap sebagai PMS, maka tentunya hal ini akan menimbulkan kontroversi.
Implementasi PMS yang dilakukan negara berkembang sejauh ini masih belum bisa memenuhi kriteria sebagai intervensi yang menyebabkan distorsi, seperti interpretasi Australia terhadap Indonesia.
"Kondisi ini terutama semakin mengkhawatirkan setelah modernisasi peraturan trade remedy oleh negara-negara maju lainnya seperti Uni Eropa dengan istilah ‘significant distortion’ dan AS yang saat ini telah menerapkan dalam tuduhan dumping dan subsidi terhadap produk biodiesel Indonesia," jelas Iman.
Kinerja Ekspor Produk Kertas Fotokopi A4
Nilai ekspor kertas fotokopi A4 Indonesia ke dunia pada periode 2013—2017 stabil atau tidak mengalami banyak pergerakan dengan rata-rata nilai ekspor sebesar 1,05 miliar dolar AS.
Pada periode Januari—September 2018, nilai ekspor mengalami peningkatan sebesar 26,05 persen atau menjadi USD 978 juta dari tahun sebelumnya sebesar 776 juta dolar AS.
Kinerja ekspor kertas fotokopi A4 dari Indonesia ke Australia pada periode 2013—2017 bergerak positif sebesar 23,22 persen dengan nilai ekspor tertinggi pada tahun 2016 sebesar 34,34 juta dolar AS.
Sejak dikenakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) oleh Australia pada 20 April 2017, kinerja ekspor kertas fotokopi A4 dari Indonesia ke Australia pada 2017 menurun drastis sebesar 42,56 persen dari tahun sebelumnya menjadi 19,7 juta dolar AS.
Penurunan ini juga terlihat pada periode Januari—September 2018 yang turun sebesar 36,80 persen atau menjadi 9,47 juta dolar AS dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya yang mencapai 14,98 juta dolar AS.
Direktur Pengamanan Perdagangan Pradnyawati menambahkan, penurunan kinerja ekspor kertas fotokopi A4 ke Australia akibat pengenaan BMAD tersebut telah menjadi salah satu faktor tergesernya posisi negara tujuan ekpor kertas fotokopi A4 Indonesia dari posisi lima besar menjadi 25 pada tahun ini.
Lantaran itu, jika interprestasi dan aplikasi menggunakan PMS oleh Australia untuk menetapkan besaran margin dumping ini dibenarkan maka akan mengancam akses pasar ekspor.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Maya Saputri