tirto.id - Pada 1881, di sebuah desa daerah selatan India bernama Bakhshali yang masih berada di bawah yuridiksi Inggris, seorang petani menemukan manuskrip. Benda ini tak seperti manuskrip seperti yang biasanya ditemukan di Inggris Raya atau daratan Eropa. Temuan itu, yang kemudian diberi nama Manuskrip Bakhshali, adalah sebuah buku matematika.
Tercatat dalam buku Geek Nation, How Indian Science is Taking Over The World yang ditulis Angela Saini, para arkeolog memperkirakan manuskrip itu telah ada sekitar 700 tahun sebelum Masehi. Di masa yang sama, orang-orang India telah menganalisis desimal, akar pangkat dua, aljabar, dan angka “0”. Namun, kemudian, manuskrip tersebut hilang dari India dan pada akhirnya diketemukan di Inggris.
Melihat budaya literasinya yang telah berlangsung lama, tak heran jika hari ini India dikenal sebagai negara yang menghasilkan programer handal bagi perusahaan-perusahaan teknologi di Amerika Serikat—dan bagi Go-Jek di Indonesia. Mantan duta besar Amerika Serikat untuk India Richard Verma memperkirakan 70 persen dari 85.000 visa H-1B diterbitkan bagi pekerja India pada 2016.
Visa H-1B merupakan visa yang populer bagi kalangan pekerja asing dengan kemampuan tinggi, terutama adalah programer dan sejenisnya. Dengan mengantongi visa H-1B, seorang pekerja asing setidaknya bisa bekerja penuh-waktu di Amerika Serikat selama enam tahun. Untuk mendapatkan visa itu, harus ada perusahaan yang mau menjadi sponsor dan bersedia menggaji si pekerja asing, setidaknya sebesar $10.000.
Kini, ada juga beberapa perusahaan teknologi raksasa di Amerika Serikat yang dikepalai oleh orang-orang keturunan India. Yang paling terkenal adalah Satya Nadella yang menjadi CEO Microsoft dan Sundar Pichai CEO Google.
Banyak talenta-talenta berbakat India yang merantau ke Amerika Serikat tak lain karena kebijakan imigrasi negara itu cukup ramah terhadap pendatang. Bahkan, sebagaimana dikutip CNN Indonesia, Obama pernah mengatakan dengan lantang bahwa “kita akan selalu menjadi bangsa imigran.” Sayangnya, hal tersebut tak bertahan. Sejak Donald Trump resmi menjadi Presiden Amerika Serikat, kebijakan imigrasi Amerika berubah signifikan.
Situs resmi Donald Trump saat masih berkampanye mencatat bahwa Trump ingin memprioritaskan lapangan kerja untuk orang Amerika dan membuat kebijakan imigrasi baru yang bisa mengontrol upah. Padahal, seperti dilaporkan The Atlantic, salah satu alasan banyak perusahaan teknologi Amerika Serikat memilih programer dari India adalah karena mereka mau dibayar “murah.”
Perusahaan-perusahaan teknologi di Amerika sejatinya mampu membayar mahal para programer yang mereka pekerjakan. Menurut laporan The New Yorker, di Apple rata-rata tiap pegawai mendatangkan pendapatan $2 juta setiap tahunnya, sedangkan rata-rata insinyur komputer di Silicon Valley menurut analisis Brookings Institution "hanya" digaji $130 ribu per tahun.
Kini Trump telah menjadi presiden sah, dan perintah eksekutif telah ia keluarkan. Trump memerintahkan Amerika Serikat berhenti menerima pengungsi dan pengunjung dari 7 negara mayoritas muslim.
“American’s first” merupakan slogan Trump untuk menghentikan non-warga Amerika Serikat memperoleh manfaat dari perusahaan-perusahaan di Amerika. Dan ya, ini tentu akan berlaku bagi semua orang dari semua negara yang hendak mencari peruntungan di Amerika Serikat, bukan hanya 7 negara muslim saja.
Amerika Serikat merupakan tanah yang ditemukan imigran dan dibesarkan imigran. Banyak imigran yang kaya selepas merantau di Amerika Serikat. Perintah eksekutif Trump, justru berkebalikan dengan fakta sejarah yang ada. Kecuali tentu saja jika Trump memiliki “fakta alternatif” lain soal tanah para imigran ini.
Kebijakan pengetatan aturan imigrasi tentu berpengaruh juga pada para pekerja berkeahlian tinggi dari India. Mereka akan kesulitan masuk ke Amerika Serikat.
Jadi, bagaimana nasib para calon perantau berkeahlian tinggi asal India tersebut dengan kebijakan Trump? Tenang, India sebetulnya punya kemampuan bahkan untuk mengalahkan Amerika Serikat dalam urusan teknologi.
Sebagaimana tertuang dalam laporan NASCOM yang diwartakan Tech In Asia, India berada pada peringkat ke-3 sebagai ekosistem terbesar bagi dunia teknologi, khususnya usaha startup atau rintisan. Setidaknya, di tahun 2015 ada 150 Venture Capital yang memberi nyawa bagi sekitaran 4.200 perusahaan rintisan. India juga merupakan negara yang berada di peringkat ke-2 sebagai negara paling terkoneksi di dunia. Rata-rata, penduduk India menghabiskan 169 menit per hari di depan layar ponsel pintar.
Dengan penetrasi mobile yang masih berada di angka 23 per 100 orang, India menyimpan lebih dari cukup bahan bakar yang bisa dimanfaatkan dunia teknologi. The New York Times memberitakan Google menginginkan 500 juta penduduk India bisa online di tahun 2017. Kepala pemasaran Google di India Sandeep Menon mengatakan, “kami selalu percaya bahwa apa yang baik bagi internet [penetrasi internet warga India] adalah baik bagi Google.”
Maka, sesungguhnya para calon perantau India di bidang teknologi, tak perlu risau dengan kebijakan eksekutif Trump yang diskriminatif bagi imigran. Programer handal saat ini dibutuhkan di hampir semua lini kehidupan. Perusahaan-perusahaan non-teknologi pun membutuhkan keahlian ini untuk menangani layanan-layanan mereka, yang kian hari makin bergantung pada dunia internet.
Selain itu, dengan susahnya masuk ke Amerika Serikat bagi para pekerja teknologi asal India, India akan memperoleh talenta-talenta terbaik yang akan bekerja bagi perusahaan-perusahaan lokal di sana. Mereka tentu akan menyumbangkan kemampuan terbaik untuk membangun dunia teknologi India.
Selain itu, The New York Times juga menyebut India sebagai “Cina baru bagi perusahaan berbasis internet Amerika.” Banyak perusahaan-perusahaan teknologi Amerika Serikat, akan membuat basis mereka di India. Dengan begitu, para pekerja berkeahlian tinggi akan tinggal India, tak perlu jauh-jauh mencari pekerjaan.
Jadi, apakah Trump sebenarnya keliru mengambil kebijakan? Pertanyaan itu bisa terjawab dalam dua-tiga tahun mendatang, bilamana di masa depan ada Mark Zuckerberg versi India.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Maulida Sri Handayani