tirto.id - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Rusli Abdullah meminta presiden terpilih nanti untuk membenahi data pangan. Pasalnya, data pangan itu bisa menjadi pijakan pemerintah untuk menentukan kebijakan impor pangan.
Rusli mencontohkan "kacaunya" data beras beberapa waktu lalu. Usai diperbaiki pada 2018 lalu, masih ada perbedaan data ketersediaan beras sekitar 30 persen antara Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementan.
Ia menduga kesalahan data pangan seperti pada komoditas beras, bisa juga terjadi pada produksi hortikultura lain. Ditambah lagi tanaman-tanaman yang saat ini menjadi penyumbang inflasi terbesar seperti cabai dan bawang.
"Di debat nanti para calon harus bisa bereskan sengkarut data pangan. Jadi kita bisa punya pijakan yang jelas," ucap Rusli dalam konferensi pers bertajuk "Tawaran Indef untuk Agenda Strategis Pangan, Energi, dan Infrastruktur" di ITS Tower Jakarta pada Kamis (14/2/2019).
"Tantangannya tidak hanya beras. Tapi bagaimana [membereskan data] komoditas lain," lanjut Rusli.
Validitas data pangan menjadi penting lantaran dipakai untuk memprediksi kebutuhan impor pangan Indonesia seiring siklus pangan. Contohnya, data beras BPS per semester II 2018, Indonesia mengalami defisit 2,1 juta ton dengan rincian konsumsi 14,9 juta ton dan produksi 12,8 juta ton walaupun telah mengalami surplus pada semester I.
Pertimbangan lain, kata Rusli, konsumsi beras Indonesia memiliki tren yang terus naik dari waktu ke waktu. Oleh karena itu memerlukan manajemen logistik yang benar agar tidak menjadi celah penyalahgunaan impor.
"Impor beras kita di 2018 ini terbesar kedua sejak 18 tahun. Ini masih akan terjadi lagi mengingat konsumsi (beras) kita meningkat terus. Tapi untungnya kita udah punya data yang valid jadi kebijakan impor beras bisa berjalan dengan baik," ucap Rusli.
Rusli mengingatkan kegagalan presiden terpilih dalam membenahi data pangan dapat semakin membuat Indonesia bergantung pada impor. Ia menilai janji para capres untuk mengurangi impor akan sulit tercapai jika tidak terlebih dahulu membenahi tata kelola komoditas pangan.
Editor: Agung DH