tirto.id - Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad meminta, pemerintah memberikan rincian hitungan mengenai program migrasi dari kompor LPG ke listrik. Perlu juga dipastikan bahwa migrasi yang dilakukan ini tidak akan memberatkan dan menjadi masalah baru bagi masyarakat miskin.
“Ini akan migrasi kalau, menggunakan kompor induksi ini harus lebih murah dari penggunaan gas LPG, disosialisasikan dan sebagainya. Kalau perlu ada yang review secara independen ya, dengan sendirinya itu masyarakat bisa percaya. Bisa saja sebulan kalau pakai kompor listrik itu tambah dayanya tidak perlu ya atau tadi bebannya lebih kurang kalau saya menggunakan gas ya,” kata dia kepada Tirto.id, Jumat (16/9/2022).
Ia menjelaskan, perlu juga komitmen dari pemerintah agar setelah terjadi migrasi biaya bulanan yang ditanggung masyarakat tidak berat.
“Itu yang harus dibuktikan, kalau gitu orang dengan sendirinya akan beralih gitu, tapi kalau lebih mahal costly per bulannya. Ya dipaksa pun mikir dua kali kalau bulanannya tambah,” jelas dia.
Sebelumnya, Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Persero Darmawan Prasodjo mengungkap beberapa tahapan yang akan dilakukan pihaknya untuk menggeser kompor LPG dengan kompor listrik. Selain sudah menetapkan Solo dan Bali, pihaknya juga melakukan skema klaster.
"Kami melakukan uji klinis yang pertama adalah kami melakukan metode clustering dimana kami menengarai pelanggan kami yang masih gunakan gas 3 kg disini yang sudah di survey diidentifikasi sampai pangkalan LPG-nya 450 VA atau 900 VA DTKS kami identifikasi," jelas dia dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI, Rabu (14/9/2022).
Dengan menggunakan skema tersebut, nantinya sistem akan bisa realisasi dengan mudah.
"Kami pilih clustering dimana penerapan dari konversi dari kompor gas ke induksi bisa berjalan dengan baik dimana clustering dimana kami melakukan pemasangannya klaster per klaster dimana pemasangannya dengan uji klinis yang lebih mudah lagi," jelas dia.
Adapun berdasarkan temuan awal, Darmawan menjelaskan subsidi LPG 3 kg adalah subsidi terbuka hal tersebut sesuai dengan Permen ESDM 28 tahun 2008 dan Kepmen ESDM 74 dan 36 tahun 2016 maka penyaluran LPG adalah di Rp4.250 di agen penyalur. Kemudian diturunkan ke pangkalan toko pengecer Rp5.500-7.000/kg sedangkan harga keekonomian dari LPG adalah sekitar 20.000/kg.
Berdasarkan hasil survei PLN, pengguna LPG 3 kg adalah pelanggan PLN. Golongan yang pertama adalah 450 VA yang DTKS yaitu sejumlah 9,6 juta. Kemudian pihaknya sudah memeriksa dari golongan itu 99,99 persen masyarakatnya menggunakan kompor LPG 3kg.
"Kami sudah cek di lapangan baik itu kantor cabang kami, kantor ranting kami hampir semuanya menggunakan gas 3kg kemudian juga 450 VA yang non DTKS yang ini juga masih bersubsidi 14,8 juta itu juga 100 persen pengguna gas LPG 3 kg dan disini masih ada 1 kelompok yaitu 900 VA yang masuk kategori keluarga miskin 8,4 juta itu juga 100 persen menggunakan LPG 3 kg," jelas dia.
Maka dari itu pelanggan listrik yang menikmati subsidi yang juga pengguna LPG 3 kg adalah sebanyak 32,7 juta pelanggan. Selain itu berdasarkan survei di lapangan pengguna 450 VA rata rata menggunakan 2-3 tabung per bulan sementara 900 va antara 3-4 tabung/bulan.
"Untuk pelanggan rumah tangga non subsidi, yaitu 900 va non DTKS yaitu sekitar 24,5 juta ternyata hampir 100 persen menggunakan gas LPG 3 kg. Kemudian, yang menarik adalah dari pelanggan non subsidi yang pelanggan 900 VA dan 1.300 VA dan 2.200 VA, dimana yang 1.300 VA adalah 12,6 juta itu ternyata sekitar 75% nya pengguna LPG 3 kg demikian juga 2.200 VA 3,7 juta jadi dari 12,6 juta sekitar 9,5 juta menggunakan gas 3kg yang 2.200 va 3,7 juta 2,8 juta menggunakan gas 3 kg," jelasnya.
Untuk itu, jumlah pelanggan rumah tangga PLN menggunakan gas LPG 3 kilogram adalah sejumlah 69,5 juta pelanggan. Jumlah ini belum masuk pada pelanggan yaitu UMKM yang ditengarai menggunakan LPG 3 kg.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Anggun P Situmorang