Menuju konten utama
Periksa Data

Impor Sampah, Antara Kebutuhan Industri dan Pencemaran Lingkungan

Indonesia sudah lama berkutat dengan pengelolaan sampah dalam negeri. Tak kunjung selesai, impor sampah menjadi beban tambahan bagi Tanah Air.

Impor Sampah, Antara Kebutuhan Industri dan Pencemaran Lingkungan
Periksa Data Impor Sampah Antara Kebutuhan Industri Dan Pencemaran Lingkungan. tirto.id/Quita

tirto.id - Aeshnina Azzahra Aqilani terkejut saat menemukan tumpukan sampah ketika ia jalan-jalan bersama ayahnya di sekitar kampung halamannya di Gresik, Jawa Timur. Ia mengamati bahwa banyak sampah berasal dari Jerman, Amerika Serikat, dan negara maju lain.

"Kenapa mereka di sini?" cerita aktivis lingkungan berusia 14 tahun yang akrab dipanggil Nina ini kepada Tirto di Glasgow, Skotlandia, pada 8 November 2021.

Nina kemudian mempelajari masalah ini dan mengetahui bahwa negara-negara Barat telah mengirim sampah ke kampung halamannya dalam bentuk “kotak kertas” untuk pabrik-pabrik kertas setempat. Ia menjelaskan, kotak-kotak ini berisi sampah plastik, tetapi di luarnya tertutup dengan sampah kertas agar dapat melewati pemeriksaan perbatasan di pelabuhan.

Pabrik-pabrik ini menggunakan limbah kertas tersebut untuk menghasilkan kertas baru dan membuang sisa sampah plastik ke daerah terdekat, termasuk ke daerah tempat tinggal Nina. Penduduk sekitar kemudian memilah sampah plastik yang dapat didaur ulang dan menjualnya ke pabrik daur ulang plastik untuk membuat kepingan plastik. Kepingan inilah yang akan diekspor ke Tiongkok.

Namun, daur ulang plastik menghadirkan banyak kerugian. Untuk mendaur ulang plastik, masyarakat setempat memotongnya menjadi potongan-potongan kecil, mencucinya dengan air sungai dan membuang air limbah ke sungai, jelas Nina. Proses ini pun akan mencemari sungai tersebut.

Selain itu, Nina mengatakan plastik yang tidak dapat didaur ulang dikirim ke pabrik untuk memproduksi tahu. Akibatnya, tahu akan mengandung dioksin, senyawa beracun yang dihasilkan dalam beberapa proses manufaktur. Menurut Nina, ayam-ayam juga akan makan dari tanah bekas abu beracun dari plastik yang terbakar, sehingga telur-telur di daerahnya memiliki tingkat dioksin yang tidak aman untuk dikonsumsi.

“Ada dampak yang sangat, sangat, sangat besar. Limbah itu dari negara Barat, negara kaya, negara maju. Dan negara berkembang, negara miskin, merasakan dampaknya. Jadi itu tidak adil,” kata Nina. Ia sudah berbicara langsung tentang masalah ini kepada para pemimpin dunia seperti Kanselir Jerman Angela Merkel dan Perdana Menteri Australia Scott Morrison.

Kisah Nina hanya bagian kecil dari masalah impor sampah global. Bagaimana kondisi masalah impor sampah di Indonesia? Bagaimana pemerintah menangani masalah impor sampah plastik tersebut? Kemudian, apa saja yang harus dilakukan Indonesia kedepannya agar masalah impor plastik tidak akan merugikan masyarakat daerah penerima sampah tersebut?

Butuh Impor Sampah?

Jika melihat data Comtrade, impor limbah plastik Indonesia, yang masuk ke kategori waste, parings and scrap, of plastics, dari seluruh negara di dunia, mulai meningkat pesat sejak 2010 dan memuncak pada 2018 dengan angka 320 ribu ton. Angka 320 ribu ton ini setara dengan berat sekitar sekitar 3 ribu paus biru dan 42 ribu gajah, menggunakan referensi ukuran dari phys.org.

Sementara itu, impor sampah dan skrap kertas sudah mulai menggeliat sejak 1990 dan memuncak pada 2018 dengan berat hampir 3,2 juta ton. Menggunakan referensi yang sama, angka ini sama beratnya dengan sekitar 30 ribu paus biru dan 426 ribu gajah.

Namun, plastik dan kertas hanya dua dari berbagai limbah yang diimpor Indonesia untuk berbagai kepentingan, terutama bahan baku industri. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menerbitkan 101 rekomendasi dari 114 permohonan impor limbah non Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dari bulan Januari sampai Mei 2020 yang terdiri dari plastik, kertas, logam, karet, kaca, dan tekstil, mengutip risalah rapat dengar pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Fakta ini disampaikan Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 KLHK Rosa Vivien Ratnawati pada 9 Juli 2020 pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi IV DPR RI.

Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, Dan Tekstil Kementerian Perindustrian Muhammad Khayam pun menjelaskan pada rapat tersebut bahwa ketersediaan bahan baku dalam negeri masih terbatas, sehingga industri daur ulang harus bergantung pada impor sampah. Ia memperkirakan, kebutuhan ini akan berlangsung hingga 2023.

Ia mencontohkan, bahan baku daur ulang dalam negeri hanya memenuhi 30 persen kebutuhan industri daur ulang plastik dalam negeri, sedangkan sisanya dari bahan baku daur ulang yang diimpor. Sebagai catatan, Indonesia memiliki 60 industri daur ulang plastik dengan kapasitas 1,1 juta ton yang menyerap sekitar 20 ribu tenaga kerja.

“Nah, apabila impor untuk sementara bahan baku daur ulang atau scrap ini tidak lancar, maka akan berdampak adanya idle capacity 1,1 juta ton dengan nilai investasi hampir 7 triliun. Kemudian hilang potensi ekspor itu sekitar 800 juta US dolar, kemudian juga potensi PHK [pemutusan hubungan kerja],” jelas Muhammad.

Begitu pula bahan baku daur ulang kertas, yang kebutuhannya ditengarai sekitar 6,4 juta ton. Yang bisa dipenuhi dari dalam negeri hanya setengahnya, sedangkan sisanya diimpor.

Meski begitu, Plt Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Srie Agustina dalam rapat yang sama mengatakan bahwa total impor limbah B3 telah turun dari sekitar 14,1 juta metrik ton pada 2018 menjadi 12,1 juta metrik ton pada 2019. Terlepas dari penurunan ini, perlu dicatat bahwa angka impor pada 2019 ini masih relatif besar.

Tak hanya limbah non-B3, impor sampah dan limbah B3 pun masih terjadi. KLHK selama Februari 2019 - 18 Mei 2020 menemukan 436 kontainer dari 1121 kontainer yang harus diekspor kembali karena terkontaminasi atau tercampur sampah, limbah B3, atau keduanya, ungkap Rosa dari KLHK.

Artinya, hampir 4 dari setiap 10 kontainer terkontaminasi. Dari jumlah tersebut, sebanyak 304 kontainer sudah di ekspor kembali, sedangkan 132 kontainer masih menunggu persetujuan dari negara sumber limbah untuk di re-ekspor.

Padahal, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 92 Tahun 2019 telah mengatur aspek hukum impor limbah non B3 sebagai bahan baku industri. Regulasi ini mensyaratkan, misalnya, bahwa limbah impor tersebut tidak termasuk sampah atau B3 dan dilaksanakan oleh importir produsen yang telah memiliki persetujuan impor.

“Jadi memang ini nanti Pak Dirjen Bea Cukai bisa menyampaikan bahwa tidak mudah juga untuk meminta kepada negara asal dari kontainer tersebut dikirim untuk bisa menerima kembali barang tersebut,” tutur Rosa.

Masalah Global?

Permasalahan perdagangan sampah ini tak hanya terjadi di Indonesia. Laporan Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA) pada 2019 menjelaskan bahwa keputusan Tiongkok untuk menutup pintu terhadap impor limbah plastik pada awal 2018 membuat industri daur ulang plastik global “menjadi kacau”.

GAIA menemukan bahwa Malaysia menerima limbah impor paling banyak dibanding negara lain pada waktu itu. Sementara itu, persentase impor limbah plastik Thailand naik 1.000 persen, tertinggi di dunia, menurut laporan itu. Impor Indonesia sendiri meningkat pesat di akhir 2018, seperti yang ditunjukkan oleh data Comtrade sebelumnya.

Per 2020, data Comtrade menunjukkan bahwa Malaysia menempati peringkat ketiga sebagai pengimpor sampah plastik terbesar, sedangkan Indonesia menempati peringkat kesepuluh dan Thailand menempati peringkat ketiga belas dari sisi kuantitas sampah. Menariknya, negara maju seperti Belanda dan Amerika Serikat masuk dalam 10 besar pengimpor plastik terbesar di dunia menurut beratnya maupun nilai perdagangannya.

GAIA menyebutkan bahwa perdagangan limbah plastik global memberikan risiko kepada orang dan komunitas dan dampak jangka panjang terhadap kesehatan dan lingkungan. Perdagangan ini mendorong pula kelanjutan produksi plastik baru dan konsumsi plastik yang “tidak terkendali”.

“Dengan menolak untuk menjadi tempat pembuangan dunia, kebijakan Tiongkok—dan dampak yang ditimbulkannya— menunjukkan kerugian sebenarnya dari konsumsi [plastik] yang merajalela, produksi plastik, dan masalah serta batasan daur ulang sebagai solusi bagi dunia yang tercekik oleh plastiknya sendiri,” tulis GAIA dalam ringkasan eksekutif laporan tersebut.

GAIA mengklaim bahwa negara-negara kaya telah terbiasa mengekspor masalah plastik mereka. Daur ulang pun diperlakukan sebagai solusi untuk sampah plastik. Padahal kenyataannya, hanya sekitar 9 ​​persen dari plastik yang dihasilkan dunia sejak 1950 yang didaur ulang, mengutip sebuah studi yang dipublikasikan tahun 2017.

Senada, 9 dari 10 negara pengekspor limbah plastik terbesar ke Indonesia pada 2020 merupakan negara maju, menukil data Comtrade. Belanda, Jerman, dan Slovenia menjadi 3 negara pengekspor limbah plastik terbesar ke Indonesia, baik menurut berat maupun nilai perdagangannya.

Secara global, Jerman, Jepang, dan Amerika Serikat pun menjadi tiga negara pengekspor sampah terbesar menurut nilai perdagangannya. Sementara itu, Jepang, Belanda, dan Belgia menjadi tiga pengekspor terbesar menurut berat sampahnya, mengutip data yang sama.

SKB & Peta Jalan Impor Sampah

Untuk menanggapi masalah ini, pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) melalui Menteri Perdagangan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Perindustrian dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia pada 27 Mei 2020. SKB ini menjadi pedoman pemerintah untuk impor limbah non-B3 sebagai bahan baku industri.

Salah satu poin penting dalam SKB ini antara lain menetapkan “toleransi material ikutan” pada impor limbah non B3, termasuk toleransi sebesar 2 persen untuk limbah plastik dan kertas. Artinya, limbah tersebut tak dapat diimpor jika memiliki kandungan selain material utama di atas ambang batas tertentu.

“SKB ini keluar karena memang juga ada persoalan ketika melakukan impor bahan baku daur ulang tersebut ternyata di dalamnya berisi sampah dan limbah B3,” jelas Rosa.

Pemerintah juga sedang menyusun peta jalan pengelolaan limbah non B3 sebagai bahan baku industri. Rencananya, peta jalan ini selesai dalam 6 bulan sejak 27 Mei 2020, sebut Rosa. Harapannya, peta jalan ini akan mengurangi batasan kandungan material ikutan serta kuota impor seiring penyesuaian ketersediaan bahan baku sampah terpilah dalam negeri.

Kendati demikian, Media Indonesia pada 5 Oktober 2021 melaporkan bahwa KLHK bersama Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan “menyusun peta jalan pengelolaan limbah non-B3”, meskipun sudah melebihi 6 bulan.

Rosa menambahkan, pemerintah meningkatkan sampah terpilah dengan mendorong bank sampah. Kementerian Perindustrian pun akan menyediakan perusahaan daur ulangnya, menimbang jumlah perusahaan daur ulang yang masih sedikit. Menteri Perdagangan juga akan membentuk satuan tugas (satgas) untuk mengawasi impor limbah non-B3.

Pemerintah menangani pula kasus impor limbah yang tidak sesuai ketentuan, termasuk pemusnahan 901 kontainer dari 1.015 kontainer milik PT New Harvestindo International yang tidak dilengkapi dokumen laporan surveyor untuk impor. Pemerintah juga telah melakukan re-ekspor beberapa kontainer lain karena tidak memenuhi ketentuan impuritas atau tingkat kemurnian sampah yang diimpor, sebut Rosa.

Cara Mengatasi Impor Limbah

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah Ecological Observation and Wetlands Conservation (ECOTON) Prigi Arisandi mengatakan kepada Tirto, Rabu (24/11/2021), bahwa SKB ini merupakan kemajuan yang bagus dalam upaya pengendalian masuknya sampah plastik impor melalui jalur penyelundupan dalam impor sampah kertas.

“Kebijakan tersebut langka awal yang bagus namun butuh monitoring implementasi. Perlu ada ruang bagi CSO (organisasi masyarakat sipil) untuk melakukan monitoring,” ungkap pengamat isu impor sampah tersebut.

Ia juga mendorong pemerintah untuk mengoptimalkan sampah lokal dengan pemilahan dari tingkat rumah tangga, sehingga sampah kertas bisa memenuhi kebutuhan pabrik kertas, misalnya. Upaya untuk mengoptimalkan surveyor di negara asal pun diperlukan agar meminimalkan penyelundupan dan mendorong sertifikasi eksportir yang bersih.

Sebelumnya, Peneliti Kebijakan Lingkungan pada Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI Teddy Prasetiawan dalam kajiannya pada 2019 merekomendasikan bahwa impor sampah non-B3 dilakukan hanya atas material yang tidak ada di Indonesia.

“Produsen sering kali mengambil keputusan mengimpor bahan baku bukan karena tidak tersedia di dalam negeri, melainkan sulit mendapatkan atau bisa didapatkan tetapi dengan harga mahal,” tulis Teddy.

Ia juga mendorong importir limbah non-B3 untuk memanfaatkan bahan baku dari sampah impor secara penuh dengan menghasilkan nilai tambah. Pengimpor pun harus mengolah ketidakmurnian (impurities) yang ikut bersama material utama, serta mereka tidak diperkenankan memindahtangankan atau memperjualbelikan hal tersebut.

Residu yang dihasilkan juga tidak boleh bercampur dengan pengelolaan sampah perkotaan. Artinya, pengimpor harus memiliki fasilitas pemusnahan atau penimbunan residu sendiri.

Pemerintah pun harus mampu melakukan pengawasan melalui kepabeanan dengan konsekuensi apapun, tegas Teddy. DPR RI melalui Komisi VII juga perlu terus melakukan pengawasan terhadap implementasi impor sampah dan mendorong pemerintah untuk secara komprehensif mengatasi permasalahan impor sampah.

“Jika pemerintah kembali berdalih tidak optimal melakukan pengawasan karena keterbatasan anggaran atau sumber daya manusia, maka ada baiknya Indonesia mengambil kebijakan menghentikan impor sampah dengan alasan apapun,” tegas Teddy dalam kajian tersebut.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Made Anthony Iswara

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Made Anthony Iswara
Editor: Farida Susanty