Menuju konten utama

Ibu Kota Baru: Jokowi tak Perlu Repot-repot Tinggalkan Warisan

Pemerintah seharusnya bisa menahan arus urbanisasi dengan menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi baru di daerah, bukan memindahkan ibu kota.

Ibu Kota Baru: Jokowi tak Perlu Repot-repot Tinggalkan Warisan
Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Wapres Jusuf Kalla (kanan) dan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil memberikan keterangan pers terkait rencana pemindahan Ibu Kota Negara di Istana Negara, Jakarta, Senin (26/8/2019). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/aww.

tirto.id - Di tengah pro dan kontra, rencana pemindahan ibu kota baru Indonesia terus digas oleh Presiden Joko Widodo. Siang kemarin, di Istana Negara, Jokowi mengumumkan lokasi pusat pemerintahan baru setelah mengkaji berbulan-bulan.

Proses pemindahan ibu kota ini memang masih panjang. Keputusan itu nantinya harus ditindaklanjuti dengan mengirimkan surat kepada DPR RI untuk meminta persetujuan. Namun, pengumuman yang disampaikan Jokowi kemarin menunjukkan bahwa wacana memisahkan pusat pemerintahan dari Jakarta bukan pepesan kosong.

"Beban Jakarta [sebagai ibu kota saat ini] sudah terlalu berat sebagai pusat pemerintahan, bisnis, keuangan, perdagangan, dan jasa. Beban ini akan semakin berat jika ibu kota pemerintahan tetap di Pulau Jawa," kata Jokowi, kemarin.

Pertanyaannya, mengapa mantan Gubernur DKI Jakarta itu terkesan ngotot memindahkan ibu kota? padahal pembahasan undang-undang pemindahan ibu kota antara pemerintah dan DPR--yang jadi alas hukum pemindahan ini--bisa saja berjalan alot.

Politikus partai Gerindra, Bambang Haryo menyebut penetapan lokasi ibu kota baru berpotensi memicu polemik cukup panjang di parlemen. Selama ini, pemerintah dianggap tak pernah menyampaikan secara terbuka soal kajian yang mereka lakukan terkait pemindahan ibu kota itu dalam sejumlah rapat bersama DPR.

Anggota Komisi V DPR ini juga menyebut pembahasan infrastruktur dalam APBN 2020 sama sekali tak menyentuh soal pemindahan ibu kota, padahal Komisi V adalah mitra Kementerian Pekerjaan Umum--yang mengurusi pembangunan infrastruktur--. Jangankan mengevaluasi infrastruktur, kata Bambang, membahas kontribusi belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi saja tak dilakukan.

"Utang begitu banyak, infrastruktur dibangun tapi tidak menghasilkan dampak signifikan pertumbuhan ekonomi. Naik pun tidak, apalagi signifikan. Padahal dengan target infrastruktur yang dibangun saat ini, kita ingin kontribusinya bisa mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen," ujarnya.

Bambang pun menyarankan pemerintah lebih hati-hati dalam menentukan kebijakan yang dapat membebani pemerintah selanjutnya. Ini lantaran, Bambang menilai, pemerintah selama ini kerap menggaungkan wacana pemindahan ibu kota tapi tak didasari pertimbangan matang dari sisi ekonomi, hukum hingga keamanan.

Ia khawatir niat memindahkan ibu kota hanya menjadi investasi politik, sehingga pemindahan ibu kota malah melenceng dari tujuan pemerataan pembangunan. Bagi Bambang, Jokowi tak perlu meninggalkan legacy lewat pemindahan ibu kota.

"Jangan semua gagasan selalu dihubungkan dengan pencitraan. Jangan dilakukan atas dasar itu. Harus atas dasar kepentingan masyarakat. Saya pikir sudah banyak proyek prestisius yang dilakukan Pak Jokowi sebagai hal-hal yang mungkin belum dilakukan presiden sebelumnya. Sudah cukup, lah," imbuhnya.

Mending Bikin Pusat Ekonomi di Daerah

Ahli tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga punya pandangan senada dengan Bambang Haryo. Namun, Nirwono mendasarkan pandangannya atas pembangunan Jakarta yang belum selesai. Menurut Nirwono, banyak proyek yang masih berlangsung di Jakarta, salah satunya proyek penanggulangan banjir senilai Rp571 triliun dan dicanangkan untuk 10 tahun ke depan.

Nirwono juga menyebut ada kebutuhan dana jumbo lain buat menyelesaikan pembangunan di bidang transportasi: Jaringan moda raya terpadu (MRT) sepanjang 223 kilometer yang masih butuh dana investasi Rp214 triliun; lintas rel terpadu (LRT) sepanjang 116 kilometer memerlukan investasi sebanyak Rp60 triliun; serta pengembangan dan peluasan rute bus Transjakarta seluas 2.149 kilometer dan penambahan armadanya yang kira-kira butuh investasi sebesar Rp10 triliun.

"Di luar itu ada pembangunan jalur kereta dalam kota sebidang yang akan dinaikkan sepanjang 27 kilometer, nilai investasinya Rp27 triliun serta revitalisasi angkutan kota hingga 20 ribu unit senilai Rp4 triliun," kata Nirwono saat dihubungi wartawan, Senin (26/8/2019).

Jika pemerintah ingin membangun konsep Indonesia sentris dan mendorong pemerataan, menurut Nirwono, pemerintah seharusnya menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi baru di daerah untuk menahan urbanisasi. "Bukan memindahkan ibu kota," imbuh dia.

Hal lain yang perlu dipikirkan, kata Nirwono, adalah semakin jauh jarak pemindahan ibu kota berbanding lurus dengan makin mahalnya biaya pembangunan infrastruktur. Sementara pada sisi lain, pemerintah masih perlu menggodok aturan baru tata ruang wilayah calon lokasi ibu kota.

"Ingat membangun sebuah kota membutuhkan waktu sekitar 20 tahun. Sementara membangun pusat pemerintahan butuh lebih lama dari itu. Karena itu pemindahan ibu kota adalah keputusan politik bersama yang membutuhkan pemikiran panjang dan penuh kehati-hatian," ujarnya.

Dalam kesempatan berbeda, pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Lisman Manurung menilai diskursus pemindahan ibu kota ini masih terlalu mentah. Lebih dari itu, Lisman menyebut, wacana ini menunjukkan watak pemerintah yang terlalu ambisius.

Sejauh ini, kata Lisman, belum jelas apakah pemindahan ibu kota ini hanya memindahkan pusat pemerintahan saja atau memindahkan pusat perekonomian juga.

"Karena kalau tujuannya memindahkan birokrasi biayanya, kan, tidak semahal itu. Jadi jangan buru-buru menentukan tempat, harus terbuka dulu apa tujuannya dan landasan akademiknya," ucap Lisman.

Baca juga artikel terkait PEMINDAHAN IBU KOTA atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Politik
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Gilang Ramadhan