Menuju konten utama
13 Juni 1325

Ibn Battuta & Rihla: Panduan My Trip My Adventure dari Dunia Islam

Setelah 117.000 kilometer, 44 negara, tiga benua, dan enam abad, Ibn Battuta jadi legenda. Ia seorang pengelana sejati.

Ibn Battuta & Rihla: Panduan My Trip My Adventure dari Dunia Islam
Ibn Battuta. tirto.id/Nauval

tirto.id - Ia bukan wartawan National Geographic, bukan pula pesohor-pelancong Instagram, atau penulis buku-buku semacam “Panduan Hemat Melancong ke Skandinavia”. Ia hanya seorang terpelajar yang penasaran melihat dunia dan mencatatnya dengan mengandalkan ingatan yang baik.

Semasa hidupnya (1304-1368), Ibn Battuta menjadi saksi atas beragam praktik, ritual, dan adat-istiadat masyarakat Muslim dari Afrika Utara, Afrika Barat, Timur Tengah, anak benua India, Maladewa, sampai Asia Tenggara. Dalam wacana politik dan kebudayaan Islam pada masanya, sejumlah negeri yang dikunjungi Battuta disebut Dar al-Islam, atau "Tanah Muslim” yang berkembang pesat pada paruh pertama abad ke-14.

Karya Battuta, Rihla (“Perjalanan”), yang awalnya dituturkan secara lisan dan dicatat selama dua tahun sebelum jadi naskah, merupakan dokumentasi babon dengan sisipan komentar sosial dan bumbu mistis mengenai politik, perang, perbudakan, perdagangan, budaya kuliner, seks dan gender, transportasi, ritual-ritual keagamaan, serta pusparagam hal-ihwal remeh-temeh. Ia menyaksikan jalur perdagangan emas, gading, rempah-rempah, unta, dan budak di Afrika Barat. Ia mencatat budaya kawin-mawin dan tata cara berpakaian penduduk Maladewa yang baru masuk Islam. Ia menjelajahi rute Samudra Hindia yang menjadi kunci perdagangan, pertukaran kebudayaan, dan lalu-lintas penyebaran agama.

Lahir di Tangier yang kini masuk dalam teritori Maroko pada 1304, Battuta sering dibandingkan dengan Marco Polo, yang melanglang buana dari Venesia, Yunani, Asia Tengah, kawasan Indocina, semenanjung Malaya, India, Persia, hingga Turki.

Marco Polo pernah sampai ke Tiongkok. Demikian pula Battuta, yang menulis, di Tiongkok “sutra dikenakan sebagai pakaian bahkan oleh biksu dan pengemis." Ia memuji kemolekan porselen-porselen Tiongkok dan "Ayam betina Tiongkok yang ukurannya lebih besar dari angsa di negara kita." Batutta tiba di Tiongkok pada masa-masa kejayaan Dinasti Yuan, yang kolaps beberapa tahun setelahnya.

Penerbitan catatan perjalanan Marco Polo berkontribusi besar pada pembayangan orang-orang Eropa mengenai masyarakat di luar Eropa. Kitab Keajaiban Dunia (1300) terbit ketika melancong ke pojok-pojok dunia masih dianggap sebagai aktivitas yang berbahaya, penuh bandit, begal, resiko penyakit, serta medan dan iklim yang ganas.

Battuta diuntungkan oleh situasi politik yang stabil di wilayah-wilayah yang dikuasai dinasti Mamluk (Mesir dan Suriah), kerajaan Delhi (India Utara) dan kerajaan Mali (Afrika Barat), serta beberapa kerajaan Mongol. Periode 800 tahun antara keruntuhan Imperium Romawi hingga maraknya eksplorasi samudra para pedagang Eropa pada abad 15, dicatat sebagai masa kejayaan Islam.

Jika Battuta menuturkan kisahnya kepada sarjana lain, Marco Polo, seorang pedagang Venesia yang dipenjara karena menyerbu kota Genoa, membisikkan pengalaman-pengalaman perjalanannya ke sesama narapidana. Catatan itu kemudian dibukukan dan laris di Eropa. Marco Polo kaya mendadak.

Rihla tak mendapat kemewahan serupa dan baru mendunia, termasuk di dunia Islam, pada abad 19 ketika seorang petualang Jerman menemukan bundel naskah antik yang ternyata ditulis oleh Battuta berabad silam.

Bayangkan, dari ingatan—kendati belum jelas bagaimana ingatan tersebut dituturkan dan sejauh mana tingkat akurasinya, mengingat sampai saat ini tidak ditemukan buku-buku catatan pribadi yang ditulis Battuta selama perjalanannya.

Pengelana Abadi

Para sarjana Barat berdebat tentang motif perjalanan Battuta. "[Menurut para sarjana] Motivasi utama perjalanan Ibn Battuta perjalanan adalah mengembara, mengejar berkah, memuaskan ambisi belaka, atau gabungan ketiga-tiganya; sementara sarjana lainnya mengedepankan dorongan duniawi seperti perempuan dan makanan; Ibn Battuta bahkan dinilai telah menciptakan ‘atlas gastronomi dunia Timur,’” tulis Roxanne Euben, ilmuwan politik Princeton yang banyak meneliti persinggungan antara pemikiran politik Eropa-Amerika dengan Islam, dalam bukunya, Journeys to the Other Shore: Muslim and Western Travelers in Search of Knowledge (2008).

Battuta memang beberapa kali kawin, menghasilkan keturunan, memelihara budak, dan sempat ditunjuk sebagai hakim di Turki, India, dan Maladewa. Jauh sebelum generasi milenial merayakan trilogi kerja, senang-senang, dan ibadah, Ibn Battuta sudah memulainya enam abad silam—sebagaimana kebanyakan penjelajah.

Sebelum menjelajahi sepertiga isi dunia, perjalanan Battuta muda berawal dari Tangier ke Makkah pada 13 Juni 1325, tepat hari ini 694 tahun lalu. Ia melakukannya dengan menunggang keledai dan baru pulang kampung 24 tahun kemudian.

Namun, kedudukan sosial Battuta sebagai ahli hukum dan sarjana—profesi turun-temurun dalam keluarganya—tampaknya memainkan peran penting di sini. Tak semua semua orang punya privilese tersebut untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya.

Dalam dunia Islam pada masa itu, menimba ilmu artinya berburu pustaka dari satu perpustakaan di Iskandariah ke perpustakaan lain di Persia. Sepanjang perjalanan, Battuta sempat menghadiri kuliah di sejumlah kota yang dikunjunginya, termasuk melawat ke pondok dan makam-makam sufi.

Sebelum Battuta, sebetulnya sejumlah sarjana muslim telah menerbitkan riwayat. Kerajaan-kerajaan Islam memfasilitasi perjalanan para ulama, diplomat, dan sarjana seperti Battuta.

Yaqut al-Hamawi (1179–1229), misalnya, adalah seorang kutu buku yang melancong ke sekitar pesisir perairan Kaspia, Persia, Iskandariyyah, Balkh, Mosul dan Aleppo, di mana ia wafat pada 1229). Ahmad ibn Fadlan, diplomat Dinasti Abbasiyyah, diutus ke wilayah yang sekarang dinamakan Bulgaria dan sempat mendokumentasikan adat-istiadat orang Viking di Sungai Volga. Nasir Khusraw (1004-1088), filsuf dan penyair Persia kelahiran Khurasan menulis Safarnama yang merekam perjalanannya selama 7 tahun di dunia Islam mulai dari Jazirah arab, Mesir, Lebanon, Turki, Turkmenistan, hingga Afghanistan.

Adapun Al-Idrisi, seorang ilmuwan asal Ceuta (kota kecil di selat Gibraltar), telah bepergian ke seantero Afrika Utara, Andalusia, Pengunungan Pirenia, Prancis, Hungaria, Northumbria (Inggris), hingga akhirnya bekerja di kerajaan Sisilia sebagai geografer dan pembuat peta.

Bergaul dengan Sultan

Baghdad, pusat politik dan kebudayaan Islam pada era Abbasiyah, membuat Battuta sedih sekaligus khidmat. Dunia pengetahuan Islam agak berbeda dari yang ia bayangkan. Sesampainya di Baghdad, ia menyaksikan kota itu kehilangan detak nadinya sebagai tempat transit yang penting bagi dunia Islam, akibat serangan bangsa Mongol pada 1258 yang meluluhlantakkan kampus-kampus terkemuka.

Namun demikian, Universitas Al-Mustansiriya bertahan dari serangan Mongol—juga dari serangan militan Sunni pada 2007. Battuta terkesima dengan kultur Sufi yang tengah mekar di kota-kota Timur Tengah dan Afrika Utara sejak abad 12—dan kecintaan sufi pada puisi dan musik pula yang konon berhasil melembutkan penguasa Mongol yang akhirnya masuk Islam dan jadi orang Persia. Abu Sai’d, sultan Baghdad yang gemar menulis puisi dalam bahasa Arab dan Persia, bermain kecapi, mengarang lagu, dan bijak dalam memerintah, dipuji Battuta sebagai “Ciptaan terindah Allah.”

Dalam rangkaian narasi petualangan yang mirip serial Tintin, tokoh rekaan komikus Belgia Hergé, bermacam-macam sultan sudah ia temui. Yang paling bijak bestari tentulah Abu Sa’id, sementara yang membuatnya ketar-ketir adalah Muhammad Tughlugh.

Bekerja untuk Muhammad Tughlugh, sultan Delhi, membuat Battuta kadang berkeringat dingin. Bayarannya besar: ketika tiba di Delhi, Battuta segera dihadiahi 2.000 dinar perak dan rumah berperabot. Sultan ini liuar biasa pintar, penyair, suka berdebat dengan para pemikir, namun kejam dan anti-kritik. Dalam Rihla, ia mengisahkan seorang sufi disiksa dan dieksekusi lantaran menolak perintah sultan, yang lantas meminta daftar siapa saja kawan sang sufi. Battuta, yang masuk dalam daftar, segera berdandan bak gembel, pura-pura jadi petapa dan lari ke sebuah gua.

Tulis Battuta dalam Rihla: "Sultan [Delhi] terlalu enteng menumpahkan darah ... Kesalahan besar dan kecil biasa [dia] hukum tak peduli pelakunya, orang terpelajar lagi saleh, atau turunan bangsawan. Setiap hari ratusan orang yang diseret ke aula, dirantai, diikat, dan dibelenggu, dan mereka ... dieksekusi, ... disiksa atau ... dipukuli. "

Lima bulan kemudian, ia dipanggil ke istana dan disambut hangat. Tak mau berurusan lebih jauh dengan Tughlugh, ia minta izin untuk naik haji. Sialnya, Battuta justru diberi tugas yang terlalu sulit ia tolak: jadi utusan Delhi di sebuah pengadilan Mongol di Tiongkok.

Infografik Mozaik Perjalanan Ibn Battuta

Infografik Mozaik Perjalanan Ibn Battuta. tirto.id/nauval

Perjalanan ke Tiongkok bukannya gampang. Ia baru sampai di sana setelah dirampok bandit, dihajar badai, dan ketinggalan kapal di India Selatan sampai-sampai hanya pakaian yang melekat di tubuhnya. Ia memutuskan ke Maladewa, yang pada zaman itu merupakan eksportir serat kelapa dan kulit kerang ke Eropa. Kebetulan, raja Maladewa sedang butuh hakim. Dikiriminya Battuta gadis budak, mutara dan perhiasan emas supaya sang sarjana tak pulang. Jadilah Battuta hakim di negeri itu, yang kadang, setelah menikahi perempuan ningrat kerabat ratu, tindak-tanduknya makin nyerempet kekuasaan.

Barangkali pendidikannya sebagai ahli hukum—golongan elit di kampung halamannya—membuat Battuta kadang geleng-geleng kepala saat menyaksikan keragaman budaya masyarakat yang tak lazim ia temui di Tangier. Tiongkok, misalnya, membuatnya terpesona namun tak betah, karena menurutnya paganisme meraja di negeri tersebut.

Ini pula yang membedakannya dengan pendekatan Marco Polo yang lebih santai dan observasional—sang penjelajah Venesia hanya peduli satu hal: dagang. Hakim Battuta, karena terlalu keras menerapkan hukum Islam, mendapat tentangan dari banyak kalangan, termasuk gubernur Maladewa. Lagi-lagi, ia mempertahankan posisinya dengan mengawini perempuan dengan koneksi politik yang kuat.

Soal kawin-mawin ini, Battuta mencatat: "Kawin di kepulauan ini sangat gampang, karena mahar yang murah dan kesenangan yang ditawarkan perempuan … Ketika kapal berlabuh, para kru pun kawin; saat mereka ingin pergi, diceraikanlah istri-istri mereka. Semacam kawin temporer. Para perempuan di sini tak pernah bepergian ke luar pulau.”

Pada 1349-1350, dalam rute perjalanan pulang dari Timur, Battuta sempat mampir ke Granada yang di bawah pemerintahan Yusuf I menghasilkan bangunan-bangunan indah, termasuk al-Hambra. Di kota itu pula, ia berjumpa dengan pemuda bernama Ibn Juzayy, penyair, sejarawan dan ahli hukum, yang terpesona dengan kisah-kisah Battuta. Perjumpaan singkat itu diperpanjang hingga dua tahun hingga akhirnya Ibn Juzayy rampung mencatat perjalanan Battuta. Selebihnya sejarah.

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 29 Mei 2017 sebagai bagian dari edisi khusus Ramadan. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait SEJARAH ISLAM atau tulisan lainnya dari Windu Jusuf

tirto.id - Humaniora
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti & Ivan Aulia Ahsan