Menuju konten utama
4 Mei 1977

I Gusti Ketut Pudja, Wakil Sunda Kecil dalam Sidang PPKI

Kisah tentang orang Bali pertama yang menjadi sarjana hukum dan ikut bergabung dalam perjuangan kemerdekaan.

I Gusti Ketut Pudja, Wakil Sunda Kecil dalam Sidang PPKI
Mozaik I gusti Ketut Pudja. tirto.id/Nouval

tirto.id - Sejak permulaan abad ke-20, sudah begitu banyak orang Indonesia yang berhasil menyandang gelar meester in de rechten (Mr) atau sarjana hukum. Sebagian besar dari mereka kemudian terlibat dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Di kawasan Indonesia Timur, khususnya Bali dan Kepulauan Nusa Tenggara, gelar pendidikan tinggi hukum pertama kali diraih oleh bangsawan Bali bernama I Gusti Ketut Pudja.

Selain dikenal sebagai orang Bali pertama yang menyandang gelar sarjana di bidang hukum, Ketut Pudja juga menjadi satu-satunya orang Bali yang pernah menjadi saksi perumusan naskah proklamasi kemerdekaan di kediaman Laksamana Maeda. Meski tidak ikut serta menyusun naskah, Ketut Pudja bersama utusan daerah lainnya sempat menyaksikan Bung Karno membaca rancangan teks proklamasi sebelum naskah tersebut diketik oleh Sayuti Melik.

“Setelah naskah proklamasi selesai dibuat, Bung Karno dengan suara mantap kemudian membacakan perlahan-lahan dan berulang-ulang kepada para hadirin yang sudah menunggu di ruang tengah. Mereka serentak menyatakan setuju,” tutur jurnalis senior Alwi Shahab dalam Betawi Queen of the East (2004: 41-42).

Pada 23 Agustus 1945, usai menghadiri serangkaian sidang PPKI, I Gusti Ketut Pudja pulang ke Bali dan diangkat menjadi Wakil Pemimpin Besar Bangsa Indonesia (setara Gubernur) untuk wilayah Sunda Kecil. Di samping bertanggung jawab menyebarkan berita kemerdekaan ke seluruh penjuru Bali, Lombok, Sumbawa, dan Nusa Tenggara, dia juga dibebani tugas mendirikan struktur pemerintahan baru.

Orang Bali dalam Persiapan Kemerdekaan

Perkembangan perlawanan terhadap Jepang di Bali tidak lepas dari aktivitas gerakan bawah tanah dari Jawa. Seperti dicatat oleh Geoffrey Robinson dalam Sisi Gelap Pulau Dewata: Sejarah Kekerasan Politik (2005: 138-139), kontak personal antara pemuda Bali dengan tokoh gerakan anti-Jepang di Jawa sudah terbentuk sejak pertengahan 1944.

Kala itu, seorang pemuda Bali bernama Nyoman Mantik berangkat ke Yogyakarta untuk bertemu dengan Wiyono Suryokusumo, seorang mantan guru Taman Siswa sekaligus tokoh nasionalis Jawa. Robinson menyebut, berkat Suryokusumo pemuda Bali tergerak untuk menjalin hubungan dekat dengan tokoh nasionalis anti-Jepang lainnya seperti Sutan Sjahrir dan Djohan Sjahroezah.

“Sebagaimana di Jawa, mereka (para pemuda Bali) cukup sukses bergerak mengindoktrinasi para prajurit dan perwira Peta dengan nasionalisme Indonesia. Mereka juga menyusup ke badan-badan semacam Kenpeitai dan organisasi intelijen Jepang, Yama Butai,” papar Robinson.

Jelang kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik, batalion-batalion Peta di Bali mulai dilucuti agar tidak memberontak. Puncaknya, pada bulan Agustus 1945, batalion Peta di Bali dibubarkan oleh militer Jepang sebelum kabar penyerahan Jepang merembes ke Bali. Akibatnya, para pemuda tidak memiliki pilihan lain selain bekerjasama dengan kelompok nasionalis dari golongan tua demi mempersiapkan proklamasi kemerdekaan.

Pada 7 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dibentuk oleh pemerintah pendudukan Jepang untuk menggantikan tugas Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dua hari kemudian, Sukarno dan Mohammad Hatta dilantik menjadi ketua dan wakil ketua yang rencananya akan mengadakan sidang pertama pada 16 Agustus 1945 bersama 19 anggota lainnya.

Berbeda dengan BPUPKI yang sifat keanggotaannya dilatarbelakangi kesamaan ideologis, PPKI memilih anggota berdasarkan kedaerahan. Pada titik ini, pemerintah militer Jepang di Bali setuju untuk memberangkatkan I Gusti Ketut Pudja, seorang pejabat kantor pemerintahan Minseibu (Gubernuran) di Singaraja untuk mewakili Sunda Kecil dalam sidang PPKI.

Ketut Pudja pada awalnya tidak terlalu menonjol di bidang pergerakan melawan imperialisme Jepang. Ida Anak Agung Gde Agung dalam autobiografinya Kenangan Masa Lampau: Zaman Kolonial Hindia Belanda dan Zaman Pendudukan Jepang di Bali (1993: 175) mendeskripsikan Ketut Pudja sebagai orang yang santai dan suka membaca surat kabar Asia Raya. Di saat-saat senggang dia bahkan menyempatkan diri belajar bahasa Jepang.

Ketut Pudja mulai bekerja di kantor pemerintah Jepang sekitar bulan Agustus 1943. Kantor Minseibu atau kantor Gubernur Sunda Kecil itu bertempat di bangunan bekas kantor Residen Bali dan Lombok di Kota Singaraja. Menimbang latar belakang pendidikannya sebagai sarjana hukum, Ketut Pudja ditempatkan di bagian pemerintahan umum sebagai penasehat umum bagi Minseibu Cokan (Gubernur) yang bernama Shimizu.

Tidak banyak lulusan perguruan tinggi yang bisa dipekerjakan di kantor pemerintahan Jepang kala itu. Ketika Angkatan Laut Jepang menguasai Pulau Bali dan sekitarnya, para pegawai kantor Residen yang sebagian adalah orang-orang Belanda ditangkap dan diangkut keluar Bali. Ketut Pudja dan beberapa orang lokal lainnya merupakan para pegawai pemerintahan kolonial yang tersisa.

Berdasarkan kisah yang dicatat Rika Umar dalam Mr. I Gusti Ketut Pudja: Riwayat Hidup dan Pengabdiannya (1986: 7), semasa kecil Ketut Pudja tidak pernah pergi ke sekolah karena saat itu sekolah formal belum lazim ditemui di Bali. Sebagai gantinya sang ayah mendatangkan seorang guru privat. Kebetulan, ayah Ketut Pudja yang bernama I Gusti Nyoman Raka adalah seorang punggawa atau kepala distrik di Singaraja, Bali.

Barulah ketika menginjak usia sekolah menengah, ayahnya memasukkan putra bungsu dari lima bersaudara itu ke Algemene Middelbare School (AMS). Setelah berhasil menamatkan pelajaran di AMS pada tahun 1929, Ketut Pudja melanjutkan sekolah hukum ke Batavia (Jakarta). Di tahun yang sama, dia mendaftar ke Rechts Hoge School dan lulus sekitar tahun 1934.

Ketika PPKI dibentuk pada 7 Agustus 1945, Ketut Pudja yang dekat dengan lingkaran pejabat sipil Jepang langsung ditunjuk sebagai utusan Sunda Kecil. Dia dan beberapa utusan daerah Indonesia Timur lainnya tiba pada esok harinya dan bersiap untuk acara pelantikan. Akan tetapi niatan itu urung karena Sukarno, Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat harus terbang ke Dalat, Vietnam Selatan, memenuhi panggilan Marsekal Terauchi, Panglima Tertinggi Militer Jepang di Asia Tenggara.

Menyatukan Sunda Kecil

Sekembalinya Sukarno ke Indonesia, suasana menjadi tidak menentu. Golongan muda anti-Jepang mulai mendesak Sukarno agar segera memproklamasikan kemerdekaan tanpa campur tangan Jepang. Sidang pertama PPKI terpaksa ditunda hingga keinginan para pemuda berhasil dipenuhi. Selama itu pula, Ketut Pudja hampir tidak pernah absen mengikuti rapat umum seputar perumusan naskah proklamasi dan persiapan kemerdekaan.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Ketut Pudja bersama perwakilan Indonesia Timur lainnya sempat mengungkapkan rasa keberatan terhadap isi Piagam Jakarta. Menurut mereka, beberapa butir pasal dalam Undang-undang Dasar yang dibahas Panitia Sembilan dalam sebuah rapat tanggal 22 Juni 1945 lebih memihak simbol-simbol agama Islam.

Infografik Mozaik I Gusti Ketut Pudja

Infografik Mozaik I Gusti Ketut Pudja

Kejadian ini dengan cepat disadari oleh Hatta. Mavis Rose dalam Biografi Politik Mohammad Hatta (1991: 208) mengisahkan bahwa Hatta sebenarnya sudah berulang kali diingatkan oleh para perwira Angkatan Laut Jepang yang menguasai wilayah Indonesia Timur, termasuk Bali. Mereka berusaha menegur para pemimpin nasionalis bahwa krisis keamanan bisa saja terjadi jika rasa keberatan kelompok-kelompok non-muslim terhadap klausa Pancasila dan UUD yang hanya menyebut masalah kewajiban Islam tidak direvisi.

Pada 18 Agustus 1945, keberatan Ketut Pudja dan utusan lainnya dapat diselesaikan melalui sidang PPKI pertama. Presiden Sukarno lantas mengangkat Ketut Pudja menjadi Gubernur Sunda Kecil pada 22 Agustus 1945. Begitu menerima jabatan barunya itu, dia langsung kembali ke Singaraja untuk membereskan segala urusan kewilayahan dan keamanan daerah yang sedang genting.

Menyatukan delapan kerajaan tradisional di Bali di bawah satu negara nyatanya bukan perkara mudah. Demi mempersatukan Bali, Ketut Pudja sampai harus berkeliling menemui sendiri para Raja-raja Bali. Bersama Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Sunda Kecil, Ida Bagus Putra Manuaba, dia dengan tekun memberikan penerangan secara bertahap tentang negara kesatuan Republik Indonesia.

Kegiatan Ketut Pudja sempat mendapat perlawanan dari sisa-sisa kekuatan militer Belanda yang merapat di Jawa dengan membonceng pasukan Sekutu. Seperti dicatat dalam Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Bali (1977: 153), Ketut Pudja dan Putra Manuaba ditangkap tentara NICA yang berbasis di Jawa Timur pada 11 Maret 1946 karena dianggap mengancam ketertiban. Di bawah pengawalan ketat, mereka berdua dipindahkan dari Singaraja, Ibu Kota Sunda Kecil, ke Kota Denpasar.

Setelah dibebaskan dari tahanan, Ketut Pudja sempat kabur ke Yogyakarta ketika kota itu masih menjadi Ibu Kota sementara Republik Indonesia. Setelah tugasnya mempersatukan Sunda Kecil selesai, Ketut Pudja kemudian menjabat ketua Badan Pemeriksa Keuangan menggantikan Abdul Karim Pringgodigdo. Jabatannya itu ia lakoni sampai masuk masa purnabakti pada tahun 1968.

Tanggal 4 Mei 1977, tepat hari ini 43 tahun lalu, I Gusti Ketut Pudja wafat pada usia 69 tahun. Atas jasa-jasanya, Presiden Soeharto menganugerahkan penghargaan Bintang Mahaputera Utama kepadanya. Pada November 2011, ia bahkan ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional bersanding dengan tokoh revolusi lainnya seperti Syafruddin Prawiranegara.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Indira Ardanareswari

tirto.id - Humaniora
Penulis: Indira Ardanareswari
Editor: Irfan Teguh