Menuju konten utama

Hukuman Untuk Santri Pengeroyok Kawannya Sendiri Hingga Meninggal

Seorang santri di Sumatera Barat tewas dikeroyok oleh kawannya sendiri. Pelaku tak ditahan, tapi tetap diproses hukum.

Hukuman Untuk Santri Pengeroyok Kawannya Sendiri Hingga Meninggal
Ilustrasi pengeroyokan. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - RA (18) mengembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. M. Djamil, Padang, Sumatera Barat, Senin (18/2/2019) sekitar pukul 06.22 WIB. Ia tewas dikeroyok oleh teman-temannya sendiri sesama santri.

RA menimba ilmu di Pesantren Nurul Ikhlas, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.

Mengutip Antara, 19 orang santri berusia 15 dan 16 tahun diduga memukuli RA setelah dia dituduh mengambil barang-barang milik santri lain tanpa izin. Pengeroyokan yang sama sekali tak imbang ini bahkan terjadi tiga hari berturut-turut: Kamis, Jumat, dan Minggu (7-8 dan 10/2/2019).

Pada hari ketiga, RA tidak sadarkan diri dan dibawa ke RSUD Padang Panjang lalu dirujuk ke RSUP M Djamil.

Kronologi lebih detail diungkapkan Chyntia, yang mengaku sepupu korban. Lewat akun Twitternya, @achyntia, dia mengatakan pada malam terakhir, RA dibekap pakai bantal dan dipukuli pakai sepatu naik gunung.

"Pihak pesantren enggak ngapa-ngapain," katanya.

Proses Hukum

Kini Polres Padang Panjang menetapkan 17 santri sebagai anak pelaku (sebutan bagi tersangka anak). Tapi mereka tidak ditahan atas permintaan sekolah dan orangtua. Meski demikian, polisi tetap bisa menindak mereka.

"Ada perlakuan khusus untuk anak pelaku, mulai dari tingkat penyidikan, persidangan, dan penahanan khusus," ujar Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Rabu (20/2/2019) kemarin.

Perlakukan khusus ini atas pertimbangan usia. Bahwa mereka yang masih anak-anak masih punya masa depan.

"Meski ada penganiayaan yang menyebabkan meninggal dunia, mereka masih mempunyai masa depan. Maka penanganan terhadap mereka akan khusus."

Pernyataan Dedi berdasar pada Pasal 1 ayat (8) hingga ayat (12) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Sementara Guru Besar Bidang Hukum Acara Pidana Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho, mengatakan salah satu perlakukan khusus itu adalah para pelaku dapat menjalani wajib lapor meski tidak ditahan. Wajib lapor, katanya, juga termasuk bentuk penegakan hukum.

"Wajib lapor bisa dilakukan dua kali dalam sepekan jika polisi tidak menahan pelaku karena syarat subjektif," jelas Hibnu kepada reporter Tirto.

Hibnu berpendapat kepolisian juga bisa menangkap paksa pelaku jika mereka mengulangi lagi perbuatannya. Oleh karena itu polisi wajib memantau pelaku.

"Ya, bisa saja dia masuk [dipenjara]," sambung dia.

Selain itu polisi juga bisa memfasilitasi agar keluarga pelaku bertemu dengan keluarga korban. Ini disebut skema diversi--pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, berdasarkan Pasal 1 Angka 7 UU 11/2012.

"Para pihak dapat dipertemukan sehingga tidak masuk ke persidangan," ujar dia.

Pesantren Harus Dievaluasi

Komisioner Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Putu Elvina, menyatakan pihak pesantren harus mengevaluasi proses pembinaan, pengawasan, dan pola relasi antar santri.

"Sudah saatnya pesantren menerapkan pesantren ramah anak," kata Putu. Hal ini penting agar kejadian serupa tak terulang.

KPAI, lanjut Putu, menyesali kurangnya tanggung jawab pihak pesantren dalam melakukan pengawasan terhadap para santrinya sehingga pengeroyokan terjadi terus-menerus dan berujung maut, luput dari pengawasan.

Jika kembali ke cuitan sepupu pelaku, maka pernyataan Putu memang benar. Dia, misalnya, mengatakan pengurus pesantren tak melakukan apa-apa ketika korban terus-menerus dikeroyok.

Ia juga bilang saat membawa ke rumah sakit, pesantren bilang korban tidak dikeroyok, melainkan "kesurupan, membenturkan dirinya sendiri."

Ayah korban juga dipanggil ke pesantren, namun justru diceramahi bahwa yang menimpa anaknya adalah ujian dan cobaan. Pihak pesantren juga, menurut pengakuan si sepupu, "minta jalur damai berkali-kali."

Baca juga artikel terkait KASUS PENGEROYOKAN atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino