tirto.id - Hukum puasa setelah nisfu sya'ban bergantung pada kebiasaan seorang muslim apakah sering berpuasa sunnah atau tidak. Terkait apakah boleh puasa qadha Ramadhan setelah nisfu syaban, hukum puasa ganti adalah wajib, sehingga pengerjaannya bersifat harus sebelum Ramadhan berikutnya tiba, kecuali pada hari-hari ketika umat Islam diharamkan berpuasa.
Puasa pada bulan Sya'ban termasuk puasa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. Diriwayatkan dari jalur Aisyah, ia berkata, "Rasulullah saw. berpuasa hingga kami mengatakan beliau tidak meninggalkan puasa, dan beliau tidak berpuasa hingga kami mengatakan beliau tidak akan berpuasa. Aku tidak pernah melihat Rasulullah saw. menyempurnakan puasa satu bulan penuh selain puasa Ramadhan, dan aku tidak melihat beliau lebih banyak berpuasa daripada bulan Ramadhan selain bulan Sya'ban".
Dikutip dari Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-Asqalani mengutip Imam At-Tirmidzi yang menukil dari Ibnu Al Mubarak, bahwa bahasa Arab, apabila seseorang berpuasa pada sebagian besar dari satu bulan, maka disebutkan 'Ia berpuasa satu bulan penuh'.
Umum dikatakan 'si fulan shalat sepanjang malam', padahal barangkali ia juga makan malam serta sibuk dengan urusan lain. Artinya, Aisyah menyebutkan Nabi berpuasa sepanjang Syaban dapat dimaknai berpuasa pada sebagian besar hari-hari bulan Syaban, tidak bermakna secara keseluruhan (29 atau 30 hari).
Berdasarkan kalender Hijriah, nisfu syaban atau pertengahan bulan Syaban tahun ini berlangsung sejak Kamis, 17 Maret 2022 bakda maghrib hingga Jumat, 18 Maret 2022 sebelum maghrib. Bagaimana hukumnya seseorang yang mengerjakan puasa setelah nisfu syaban? Apakah puasanya sah?
Dalam Al Majmu Syarah Al Muhadzdzab, Imam Nawawi mengutip riwayat dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda, "Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu hari atau dua hari kecuali jika ia bertepatan dengan puasa yang biasa dikerjakan oleh salah seorang dari kalian."
Puasa Hari Syak Jelang Ramadhan
Imam Nawawi mengutip Asy-Syirazi bahwa seorang muslim tidak boleh berpuasa pada hari ragu (hari syak). Maksud hari ragu ini adalah hari ketika tidak dapat dipastikan apakah hari tersebut masih Syaban ataukah sudah Ramadhan seperti yang tersurat dalam hadis di atas. Jika ada seseorang berpuasa pada hari ragu dengan niat puasa Ramadhan, puasanya tidak sah.
Bagaimana jika seorang muslim mengerjakan puasa qadha pada hari syak tersebut? Asy-Syirazi menyebutkan hukumnya makruh, tetapi dinilai mencukupi. Senada dengan itu, Imam Nawawi juga menyebutkan, jika puasanya untuk puasa qadha', puasa nazar, atau puasa kafarat maka ia mencukupinya.
Terkait kemakruhannya, secara umum kalangan ulama mazhab Syafi'i menyebut puasanya makruh. Namun, terdapat pendapat dari Ad-Darimi bahwa puasanya tidak makruh.
Jika puasa pada hari syak ini adalah puasa sunnah, Imam Nawawi menyebutkan, "jika ada sebab, misalnya ia terbiasa puasa setahun atau puasa sehari dan berbuka sehari (puasa Daud) atau puasa hari tertentu seperti puasa hari Senin lalu hari syak bertepatan dengan hari Senin tersebut maka boleh, tidak ada perselisihan pendapat."
Dalilnya adalah riwayat dari Abu Hurairah di atas, "kecuali jika ia bertepatan dengan puasa yang biasa dikerjakan oleh salah seorang dari kalian."
Jika puasa sunnah tersebut tidak ada sebabnya, atau tidak terjadi karena kebiasaan, maka Imam Nawawi menyebutkan puasa sunnah pada hari syak dinilai haram. Ini merujuk pada hadis yang sama, "Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu hari atau dua hari".
Segbagai catatan, jika puasa hari syak tersebut disambung dengan puasa sebelum pertengahan Sya'ban maka puasa tersebut diperbolehkan. Yang tidak diperbolehkan adalah, jika puasa hari syak tersebut disambung dengan puasa setelah pertengahan Sya'ban.
Puasa Qadha Setelah Pertengahan Sya'ban
Bagaimana dengan puasa qadha setelah pertengahan Sya'ban? Puasa qadha, bersama puasa Ramadhan, puasa kafarat, dan puasa nazar, hukumnya wajib dikerjakan.
Allah berfirman dalam Surah al-Baqarah 184, "... Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin ...."
Idealnya, puasa qadha dilakukan sesegera mungkin setelah Ramadhan berlalu, dengan tetap memperhatikan hari-hari kala diharamkannya puasa. Namun, batas akhir qadha Ramadhan adalah sebelum Ramadhan berikutnya, dalam hal ini maksimal bulan Sya'ban.
Bagaimana jika seseorang tidak berkesempatan membayar utang puasa Ramadhan hingga setelah pertengahan Syaban atau usai malam nisfu Syaban? Jawabannya, puasa qadha itu hukumnya wajib, sehingga qadha mesti tetap dikerjakan.
Dalam kasus seseorang belum menebus puasanya hingga 21 atau 22 Syaban, maka ia tetap harus mengerjakan puasa qadha tersebut.
Terkait qadha, dalam Al Majmu Syarah Al Muhadzdzab, Imam Nawawi mengutip pendapat Asy-Syirazi bahwa jika seseorang mempunyai utang puasa Ramadhan dan tidak mempunyai uzur, maka tidak boleh mengakhirkannya sampai datang Ramadhan berikutnya. Jika orang tersebut tetap mengakhirkan qadha sampai datang Ramadhan berikutnya, maka ia harus membayarkan makanan satu mud pada setiap harinya.
Pendapat ini merujuk dari riwayat Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Abu Hurairah. Mereka berkata tentang orang yang mempunyai utang puasa, namun ia tidak mengerjakannya hingga datang Ramadhan berikutnya Ia harus memberikan makanan untuk puasanya.
Editor: Iswara N Raditya