Menuju konten utama

Hubungan Malu-Malu Kucing Indonesia-Israel

Shimon Peres, mantan perdana menteri dan presiden Israel, baru saja meninggal dunia. Peres adalah salah satu pemimpin Israel yang getol mengupayakan definitifnya hubungan Indonesia-Israel, meski selama ini sudah ada bisnis antara kedua negara yang dilakukan di balik dinding.

 Hubungan Malu-Malu Kucing Indonesia-Israel
Shimon Peres [Foto/Reuters]

tirto.id - Shimon Peres yang pernah menjadi perdana menteri dan presiden Israel baru saja meninggal dunia. Peres adalah salah satu tokoh yang mengupayakan hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Israel. Ia pernah berkunjung ke Jakarta menjajaki kemungkinan itu pada 2000, saat menjabat sebagai menteri kerjasama regional.

Meski kedua negara tak punya ikatan diplomatik, bukan berarti tak ada hubungan sama sekali antara Indonesia dengan Israel. Soal ini pernah mengemuka Maret lalu, saat beredar kabar soal kontak rahasia kedua negara. Pemberitaan mengenai hubungan gelap itu dipicu oleh Tzipi Hotovely, Deputi Menlu Israel, dalam pernyataannya di hadapan Knesset, Parlemen Israel.

Menurut Hotovely, pernah terjadi pertemuan rahasia antara Mark Sofer, Kepala Divisi Asia Kementerian Luar Negeri Israel, dengan sejumlah pejabat Indonesia dalam sebuah kunjungan ke Jakarta. Pertemuan itu mengatur rencana kunjungan Menlu RI ke wilayah Ramallah, untuk menghindari kekacauan. Sebagai balasannya, Menlu Retno Marsudi diminta menemui sejumlah pejabat Israel.

Namun, masih menurut Hotovely, Menlu Indonesia kemudian menolak bertemu para pejabat Israel seperti yang disepakati dalam pertemuan rahasia itu. "Ketika dilanggar, konsekuensinya adalah seperti yang terjadi beberapa hari lalu," katanya. Israel mengeluarkan larangan over flight kepada Menlu Retno yang berencana mengunjungi wilayah Ramallah di Tepi Barat.

Pernyataan itu segera dibantah Menlu Retno. Ketika ditanya wartawan di Kantor Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan, pada Kamis (17/3/2016) dengan tegas Retno berkata, "Kemenlu tidak pernah, garis bawahi, tidak pernah ada pertemuan rahasia itu. Apa yang mereka sampaikan tentang pertemuan rahasia itu tidak ada."

Berita ini dengan segera menjadi santapan kelompok anti-Israel yang memang mayoritas di Indonesia. Beberapa di antaranya menuntut agar Menlu Retno memberi keterangan resmi di DPR dalam sebuah sidang terbuka yang disaksikan publik.

Berdasarkan jajak pendapat BBC World Service pada 2013, sebanyak 70 persen responden Indonesia menganggap Israel sebagai sesuatu yang negatif dan hanya 12 persen lainnya yang melihat secara positif. Pandangan negatif Indonesia atas Israel ini merupakan salah satu yang tertinggi di antara negara-negara Asia, hanya kalah dari Mesir yang mencapai 96 persen.

Tapi bagaimana sesungguhnya hubungan Israel-Indonesia sejauh ini? Tidakkah ada usaha dari kedua belah pihak untuk berhubungan baik, tanpa rahasia-rahasiaan?

Israel Dianggap Penjajah

Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia dikenal sebagai negara yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Hingga kini, secara de jure, Indonesia masih belum mengakui keberadaan dan kedaulatan Israel.

Sejak kemerdekaan Indonesia pada Agustus 1945, Indonesia telah mendeklarasikan diri sebagai negara yang pro-Palestina. Sikap ini tak lepas dari politik luar negeri Indonesia yang menghendaki kolonialisme sirna dari muka bumi. Seperti tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."

Pendudukan Israel atas tanah Palestina dianggap sebagai salah satu bentuk penjajahan. “Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel,” kata Soekarno.

Di sisi lain, sikap ini diteguhkan sebab yang pertama-tama menyatakan dukungan terhadap kemerdekaan Indonesia adalah negara-negara Liga Arab, yang menganggap Israel sebagai pemicu konflik di Timur Tengah.

Sejak awal, Israel sebenarnya terus proaktif untuk membina hubungan baik dengan Indonesia. Mengikuti negara-negara Arab yang memeranginya, Israel berharap mendapat dukungan dari negara baru Indonesia di berbagai forum internasional. Hal ini disampaikan Colin Rubenstein, direktur eksekutif Australia/Israel and Jewish Affairs Council (AIJAC), dalam “Indonesia And Israel: A Relationship In Waiting” yang dimuat Jewish Political Studies Review, Maret 2005.

Pada Desember 1949, setahun setelah deklarasi berdirinya negara Israel dan tak lama setelah penyerahan kedaulatan oleh Belanda kepada Indonesia, Presiden Chaim Weizmann dan Perdana Menteri Ben Gurion mengirim telegram kepada Soekarno-Hatta. Isinya ucapan selamat. Lalu pada Januari 1950, Menteri Luar Negeri Moshe Sharett mengirim telegram kepada Hatta, isinya pemberitahuan bahwa Israel akan mengakui penuh kedaulatan Indonesia.

Namun, Hatta hanya menanggapi telegram Sharett dengan dingin. Hanya ucapan terima kasih, tanpa menawarkan pengakuan balik. Tapi Sharett tak mau menyerah. Ia kembali menulis surat mengenai rencana pengiriman misi muhibah untuk Indonesia. Sebagai balasannya, dalam surat yang dikirim pada Mei 1950, Hatta menyarankan agar misi tersebut ditunda saja sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Ini artinya, penolakan Indonesia secara tegas atas keramah-tamahan Israel.

Hubungan yang kaku itu tidak berubah sampai Sukarno turun dari kursi kepresidenannya. Baru pada masa Orde Baru yang dipimpin Soeharto, Indonesia membuka diri untuk bekerja sama dengan Israel, terutama di bidang militer. Bagaimanapun, Israel merupakan salah satu negara dengan kekuatan militer terbesar di Asia, bahkan dunia. Tapi perubahan ini tidak mengubah sikap dasar Indonesia terhadap Israel. Tetap tidak ada pengakuan kedaulatan, juga hubungan diplomatik.

Setelah Soeharto lengser, titik terang ditunjukkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Presiden Wahid memang tidak secara langsung mewacanakan pembukaan hubungan diplomatik, melainkan hanya berencana membuka beberapa kanal perdagangan dengan Israel. Namun, gelombang penolakan atas rencana tersebut segera membesar.

Tapi Presiden Wahid adalah orang yang cukup keras kepala. Tanpa peduli banyaknya aksi protes, rencana itu akhirnya diwujudkan melalui Luhut Binsar Pandjaitan yang saat itu menjabat sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Pada 10 Januari 2001, Menteri Luhut menandatangani Surat Keputusan Menperindag No.23/MPP/01/2001 yang melegalkan hubungan dagang antara RI dan Israel.

Gus Dur, jauh sebelum menjadi presiden, juga punya hubungan yang cukup panjang dengan upaya perdamaian Irael-Palestina. Ibrahim Hamdani, Peneliti di Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam UI, mencatat keterlibatan Gus Dur bermula pada 1994 saat ia diundang Perdana Menteri Yitzhak Rabin, untuk menyaksikan perjanjian damai Israel-Yordania. Sejak itu, Gus Dur lebih melihat konflik Palestina dengan Israel dalam perspektif.

Ia kemudian mendirikan dan menjadi anggota Yayasan Shimon Peres. Bergabungnya Gus Dur dengan Yayasan Shimon Peres, menurut Ibrahim, adalah salah satu usaha Gus Dur untuk mewujudkan perdamaian antara Palestina dan Israel.

Hubungan yang cukup mesra dengan Israel terus berlanjut pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, Yudhoyono jauh berbeda dengan Wahid. Jika Wahid cenderung terang-terangan, Yudhoyono cenderung malu-malu perihal kerja sama Indonesia-Israel.

Pada 13 September 2005, Menteri Luar Negeri Hassan Wirayudha bertemu Menlu Israel Silvan Shalom, di New York, AS. Pertemuan itu membuat ramai pemberitaan di beberapa media internasional yang menyebut keinginan Israel membuka hubungan diplomatik dengan Indonesia. Beberapa media bahkan sempat berspekulasi bahwa Israel telah mengirimkan proposal mereka.

Menlu Hassan segera membantahnya. “Kami tidak bicara masalah hubungan diplomatik. Israel sangat tahu posisi Indonesia seperti apa,” katanya. Presiden Yudhoyono ikut angkat bicara. “Tidak ada yang gelap, karena, sekali lagi, kita ingin membantu perjuangan bangsa dan rakyat Palestina,” kata Yudhoyono dengan gerakan tangannya yang khas.

Meski bukan gelap, fakta yang tidak banyak diketahui orang dan diungkap ke publik adalah: pada masa Yudhoyono, hubungan dagang Indonesia-Israel terus meningkat setidaknya hingga tahun 2012.

Pada Mei 2012, pembicaraan mengenai kemungkinan pembukaan hubungan diplomatik dengan Israel kembali mengemuka. Pemicunya, beberapa tokoh Indonesia diberitakan hadir dalam perayaan kemerdekaan Israel di Singapura. Di antaranya adalah Ferry Mursyidan Baldan yang tertangkap kamera wartawan merdeka.com. Di sisi lain, Benjamin Ketang yang mendirikan Indonesia-Israel Public Affair Committee (Komite Urusan Publik Indonesia-Israel, IIPAC) juga mendapat sorotan. Sementara kelompok yang menamakan diri Komunitas Yahudi Indonesia berencana akan merayakan hari kemerdekaan Israel di Jakarta dan di beberapa kota lain di Indonesia.

Semua polemik mengenai Israel kemudian selalu menghilang dengan sendirinya, didiamkan, digulung isu lain yang lebih besar. Sampai kemudian muncul isu baru, seperti yang terakhir terjadi dengan Menlu Retno. Isu tersebut berhembus kencang tak lama setelah Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan Organisasi Konferensi Islam (OKI), yang mendeklarasikan dukungan penuh terhadap Palestina.

Pada masa kampanye pilpres 2014, Joko Widodo dengan terang menyatakan dukungannya terhadap kemerdekaan Palestina. Namun, setelah terpilih menjadi presiden, belum jelas benar sikap apa yang akan diambil Widodo terkait Israel. Sementara, hubungan dagang masih terus berlanjut dengan Israel. Pada 2015, Indonesia banyak mengimpor besi baja dan mengekspor tekstil.

Tak diragukan lagi, Israel akan terus berusaha merintis hubungan diplomatik dengan Indonesia. Semua itu terlihat dari usaha mereka beberapa puluh tahun terakhir. Indonesia dilihat sebagai representasi yang baik dari negeri muslim. Dalam banyak kesempatan, mereka sering menyampaikan harapan agar Indonesia memainkan peran penting dalam usaha mendamaikan Israel-Palestina.

Namun, sejauh ini segala hal mengenai Israel seakan tabu dibicarakan. Sementara perdagangan terus berlangsung seakan di balik dinding, kemungkinan hubungan yang lebih serius tidak pernah dijajaki secara terbuka. Belum ada usaha sungguh-sungguh untuk membicarakan untung-rugi jika hubungan diplomatik dibuka.

Baca juga artikel terkait HUBUNGAN DIPLOMATIK atau tulisan lainnya dari Arlian Buana

tirto.id - Politik
Reporter: Arlian Buana
Penulis: Arlian Buana
Editor: Maulida Sri Handayani