tirto.id - Beredar di media sosial narasi yang menyebut bahwa pemerintah Indonesia dan World Health Organization (WHO) telah menandatangani perjanjian internasional bernama Pandemic Treaty atau Perjanjian Pandemi pada Senin (27/5/2024).
Narasi tersebut tersebar lewat video berdurasi 31 detik dengan disertai keterangan teks narasi dalam unggahan yang berisi tentang bahaya dan dampak penerapan perjanjian tersebut bagi negara Indonesia. Mulai dari larangan pengobatan alami seperti pijat, larangan penggunaan obat tradisional seperti herbal/jamu, hingga larangan menolak vaksin yang diberikan oleh WHO.
Lebih lanjut, narasi tersebut juga menyebut akan ada pemberian otoritas absolut kepada WHO terhadap penanganan penyakit di Indonesia. Tak ketinggalan, disebutkan juga ancaman berupa pidana dan denda Rp500 juta bagi masyarakat yang melanggar aturan di perjanjian tersebut.
Narasi tersebut diunggah oleh akun Facebook bernama “Tantya Hadinegoro Anggara Kasih” pada Selasa (11/6/2024) dengan keterangan takarir sebagai berikut:
“Dapat kiriman dari kamar sebelah. Benarkah? La aku paling suka minum jamu sama pijetan, je.. Jika Tanggal 27 Mei 2024 WHO Pandemy Treaty jadi ditandatangani oleh Pejabat Indonesia ?🤷
Herbal, bekam, pijat, pengobatan alami, di larang, danggap melanggar hukum Bisa di penjara atau denda Rp 500 juta. Tidak bisa menolak vaksinasi, kalau menolak masuk penjara atau denda Rp 500 juta. Berlaku 30 hari setelah penandatanganan WHO Pandemy Treaty. Jadi kedaulatan kesehatan Rakyat Indonesia sudah tidak ada lagi
Semua hanya atas instruksi WHO, jika sakit di rawat di rumah , ketahuan oleh aparat, maka akan di ambil paksa di bawa ke RS, dan dilakukan pengobatan cara WHO. Ini yg jadi masalah besar, rakyat Indonesia dalam pembunuhan secara sistematis. Sudah ada beberapa Negara yg menolak WPT ini. Jepang, Rusia, Selandia Baru, Inggris sudah menolak WHO PANDEMI TREATY”
Sepanjang Selasa (11/6/2024) hingga Senin (8/7/2024), atau sekitar 27 hari tersebar di Facebook, unggahan tersebut telah memperoleh satu tanda suka, dua komentar dan telah diputar sebanyak 94 kali.
Lantas, benarkah informasi yang menyebut bahwa pemerintah Indonesia telah menandatangani pandemic treaty pada Senin (27/5/2024)? Dan, benarkah ada dampak dari penerapan perjanjian tersebut, termasuk larangan penggunaan pengobatan tradisional dan konsumsi obat herbal serta jamu?
Penelusuran Fakta
Pertama-tama, Tim Riset Tirto melakukan penelusuran dengan menonton video tersebut dari awal hingga akhir. Video tersebut berisi percakapan antar dua orang host dan narasumber dalam salah satu acara yang mengungkap bahaya dari penerapan pandemic treaty.
Berikut transkrip dari percakapannya:
Narasumber: “Contoh yang paling gampang, kalau mbak lagi tidak enak badan lalu minum jamu itu tidak boleh, itu pelanggaran dan akan didenda Rp500 juta”
Pembawa acara: “Oh ya, begitu dampaknya kalau kita bergabung dalam WHO pandemic treaty itu kalau misalkan kita minum herbal-herbalan gitu kita denda sampai Rp500 juta?”
Narasumber: “Iya, Undang-undang nya sudah ada, yang menjadi senjata atau pisau hukumnya di Indonesia sudah ada yaitu Undang-undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023”
Tirto kemudian menelusuri asal usul dan konteks video asli tersebut dengan mengambil tangkapan layar salah satu momen video tersebut lalu menelusurinya menggunakan teknik reverse image search dari Google Images.
Hasilnya, kami menemukan sumber asli dari video tersebut yang berasal dari acara “One on One” yang diunggah di kanal Youtube tvOneNews pada Jumat (17/5/2024) berjudul “Jenderal 'Kontroversial' Uji Nyali Pilkada Jakarta”.
Acara tersebut menampilkan sosok bernama Dharma Pongrekun yang berniat mencalonkan diri menjadi calon gubernur DKI Jakarta dari jalur independen. Diketahui, potongan video yang disertakan dalam unggahan berasal dari potongan video asli dalam acara tersebut pada menit ke 9:44 hingga 10:14.
Dalam potongan video di Facebook, sosok narasumber pria yang mengungkap soal bahaya dan dampak dari pandemic treaty adalah Dharma Pongrekun.
Selanjutnya, kami coba menelusuri klaim Dharma soal Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang dinilai menjadi dasar hukum penerapan pandemic treaty dan pelarangan pengobatan tradisional dan konsumsi herbal. Hasilnya, kami tidak menemukan satupun pasal yang terkait dengan pandemic treaty serta aturan pelarangan pengobatan tradisional dan konsumsi herbal.
Kami lantas menelusuri situs resmi Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) untuk menelusuri lebih lanjut terkait asal usul dan kebenaran informasi terkait pandemic treaty. Hasilnya, kami menemukan rilis resmi dari Kemenkes RI yang mengkarifikasi adanya simpang siur dan hoaks terkait isu pandemic treaty ini.
Pertama, terkait klaim yang menyebut bahwa pemerintah Indonesia telah menandatangani pandemic treaty pada Senin (27/5/2024).
Terkait isu ini, Kemenkes yang diwakili Prof. drh. Wiku Bakti Bawono Adisasmito, M.Sc., Ph.D., selaku delegasi RI untuk perundingan pandemic treaty menjelaskan bahwa negosiasi perjanjian ini saat ini masih berlangsung dan belum mencapai kata sepakat.
Dalam Sidang World Health Assembly (WHA) ke-77 pada 1 Juni 2024, negara-negara anggota WHO sepakat untuk melanjutkan pembahasan pandemic treaty. Targetnya, kesepakatan dapat dicapai pada WHA ke-78 tahun 2025 atau lebih awal melalui sesi khusus WHA.
“Pandemic Treaty sedang berlangsung pembahasan dan negosiasinya antara negara anggota WHO. Semua negara anggota WHO menginginkan adanya Pandemic Treaty yang dapat mencegah dan melindungi seluruh masyarakat dunia dari ancaman pandemi,” jelas Prof. Wiku di Jakarta, Jumat (21/6/2024).
Lalu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI juga telah mengklarifikasi bahwa UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan tidak memuat ketentuan tentang denda Rp500 juta untuk penggunaan obat herbal, jamu, bekam, dan pijat.
Narasi lain yang beredar menyebutkan adanya denda larangan obat herbal yang tercantum dalam Pasal 446 UU Kesehatan. Namun, faktanya, Pasal 446 UU Kesehatan terkait dengan upaya penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) dan wabah.
Isi pasal tersebut menyebutkan bahwa, “Setiap Orang yang tidak mematuhi pelaksanaan upaya penanggulangan KLB dan Wabah dan/atau dengan sengaja menghalang-halangi pelaksanaan upaya penanggulangan KLB dan Wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 400 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
Terakhir, terkait klaim adanya ada pemberian otoritas absolut kepada WHO terhadap penanganan penyakit di Indonesia lewat pandemic treaty, Kemenkes memastikan informasi tersebut tidak benar.
Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 24 ayat 2 rancangan perjanjian pandemi WHO, yakni, “Tidak ada satupun ketentuan dalam Perjanjian Pandemi WHO yang dapat ditafsirkan memberikan wewenang kepada Sekretariat WHO, termasuk Direktur Jenderal WHO untuk mengarahkan, memerintahkan, mengubah atau menentukan kebijakan nasional dan/atau undang-undang domestik, jika diperlukan atau kebijakan negara mana pun atau untuk mengamanatkan atau dengan cara lain memaksakan persyaratan apapun agar Negara Anggota mengambil tindakan tertentu, seperti melarang atau menerima pelancong, menerapkan mandat vaksinasi atau tindakan terapeutik atau diagnostik atau menerapkan lockdown.”
Kesimpulan
Berdasarkan penelusuran fakta yang dilakukan, tidak ditemukan keterangan resmi yang membenarkan klaim bahwa pemerintah Indonesia telah menandatangani pandemic treaty pada Senin (27/5/2024).
Selain itu, tidak ada aturan resmi di UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang mengatur soal larangan pengobatan alami seperti pijat dan penggunaan obat tradisional berupa jamu dan herbal beserta ancaman denda sebesar Rp500 juta.
Jadi, informasi yang menyebut bahwa pemerintah Indonesia telah menandatangani pandemic treaty yang melarang pengobatan alami dan penggunaan obat tradisional bersifat salah dan menyesatkan (false and misleading).
==
Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Decode, pembaca dapat mengirimkannya ke email factcheck@tirto.id.
Editor: Farida Susanty