tirto.id - Historiografi nasional Indonesia akan dengan mudah meletakkan masa pemerintahan Gubernur Jenderal Bonifacius Cornelis de Jonge (1931- 1936) sebagai periode paling reaksioner sepanjang kekuasaan Hindia Belanda. Sejarawan Ong Hok Ham dalam Runtuhnya Hindia Belanda (1989:42) menyebutkan bahwa De Jonge melaksanakan kebijakan model Hendrik Colijn (1869–1944) yang sangat patriarkis dengan “bodoh dan kasar sekali”.
Pemikiran Colijn yang dimaksud Ong adalah pengabaian pengelolaan negara kolonial melalui sistem parlementer, dan lebih senang mengarahkan segala kebijakan secara direktif seperti tercermin dalam karyanya, Koloniale vraagstukken van heden en morgen [Pertanyaan Kolonial Hari Ini dan Esok], (1928).
Dalam pandangan Colijn, negara jajahan lebih baik nurut saja arahan dan perintah. Cara itu dianggap lebih pantas daripada memutuskan sendiri urusan-urusannya lewat parlemen seperti yang diinginkan oleh kaum pergerakan kebangsaan. Dengan demikian, di bawah De Jonge yang pro-Colijn, mimpi peningkatan status Volksraad [Dewan Rakyat] menjadi sebuah parlemen sungguhan pasti akan menemui jalan buntu.
Pada awal 1931, ketika Menteri Jajahan Simon de Graff (menjabat 1929–1933) menawarkan posisi paling berkuasa di Hindia Belanda kepada De Jonge, sebenarnya muncul penolakan besar-besaran baik di Belanda maupun di Hindia.
Dalam tulisan F. J. M. Otten, “Jonge, jhr. Bonifacius Cornelis de (1875–1958)” (2013), partai-partai Kristen yang progresif di Belanda menolak usulan ini karena De Jonge dianggap sama saja dengan Colijn yang reaksioner. Partai-partai sosialis juga mengkritisi kedekatan De Jonge dengan pemodal-pemodal di perusahaan besar. Sedangkan, di Hindia sendiri, De Jonge mendapat penolakan karena kurangnya pengetahuan terhadap urusan tanah jajahan—ia hanya pernah satu kali menjejakkan kaki di Hindia Belanda dalam sebuah kunjungan bisnis!
Dengan demikian, siapa sebenarnya sang gubernur jenderal konservatif yang akhirnya dianggap hampir menghabisi pergerakan nasional Indonesia ini?
De Jonge, kelahiran Den Haag pada 1875, adalah seorang lulusan ilmu hukum dari Universitas Utrecht. Universitasnya, menurut W. Preger dalam Dutch Administration in the Netherlands Indies (1944:17), adalah salah satu dari dua pusat studi tentang tanah jajahan di Belanda—yang lain adalah di Universitas Leiden yang terkemuka.
Namun, menurut Ong (1989), dibandingkan dengan lulusan Leiden, lulusan Utrecht lebih cenderung menunjukkan sisi reaksioner atau keras terhadap perkembangan kebangsaan di Hindia Belanda. Di tengah Perang Dunia I (1914–1918), De Jonge ditunjuk menduduki kursi Menteri Peperangan (menjabat 1917–1918) dan merupakan orang sipil pertama yang mencapai posisi tersebut.
Pada periode yang sama ia ditunjuk pula sebagai Menteri Angkatan Laut (menjabat 1918) ad interim sampai kabinet jatuh pada 1918. Dalam tulisan Otten (2013), De Jonge menemui episode ketegangan yang menarik pada masa kepemimpinannya di Kementerian Peperangan. Ia bersitegang dengan panglima angkatan perang, Jenderal Cornelis Jacobus Snijders (1852–1939) soal pertahanan Belanda terhadap kemungkinan invasi Jerman.
De Jonge, yang didukung oleh sebagian besar koleganya dalam kabinet Pieter Cort van der Linden (menjabat 1913–1918), menginginkan adanya upaya pertahanan ini. Namun, Jenderal Snijders menolak hal tersebut mentah-mentah. Saat itu Snijders ingin Belanda mempertahankan prinsip netralitas (neutraliteit) sepanjang terjadi konflik di Eropa. Hal ini berhasil dipertahankan negeri itu pada Perang Dunia I. Adanya upaya penyusunan pertahanan ini mungkin saja akan melukai kemapanan prinsip itu.
Menghadapi sikap sang panglima, De Jonge mengirim surat yang ditandatangani oleh para anggota kabinet kepada Ratu Wilhelmina (bertakhta 1890–1948) perihal mundurnya Snijders dari posisinya. Di hadapan ratu, permintaan ini ditolak dan Snijders tetap dipertahankan di posisinya. Hal ini menghadirkan kondisi krisis konstitusional yang menyulitkan di tengah kondisi perang. Akhirnya, De Jonge menarik diri dari konflik tersebut dan rancang bangun pertahanan Belanda tetap berada pada situasi yang tidak jelas hingga akhir perang.
Selain menempati posisi kunci dalam perpolitikan Belanda, De Jonge juga masuk ke dalam lingkaran manajemen perusahaan-perusahaan kapitalis bermodal besar di Belanda. Setelah mengakhiri kariernya sebagai menteri, De Jonge masuk dalam pengelolaaan perusahaan minyak bumi Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) yang merupakan cabang urusan Hindia dari induk perusahaan lintas negara Inggris-Belanda, Royal Dutch Shell.
Melalui karier bisnis itu, De Jonge bersentuhan dengan urusan Hindia Belanda. Pada 1919, ia mengadakan perjalanan bisnis untuk mengunjungi Hindia Belanda, Tiongkok, Jepang, dan Amerika Utara. Sebelum ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal, De Jonge menempati posisi direksi di perusahaan-perusahaan minyak milik Belanda—di antaranya, Koninklijke Nederlandsche Petroleum Maatschappij (menjabat 1921–1930) dan BPM (1930–1931). Riwayat pra-Hindia inilah yang menjadi bahan kritik berbagai pihak saat De Jonge menerima penunjukkan sebagai gubernur jenderal. Keputusannya itu cukup menarik karena sebenarnya ia telah ditawari berbagai macam jabatan publik sejak awal 1920-an—yang semuanya ditolak olehnya.
Bertolak belakang dari kesan yang kita dapatkan dari banyak buku sejarah hari ini, J. C. Bijkerk dalam Vaarwel, tot betere tijden [Sampai Berjumpa di Saat yang Lebih Baik] (1974:47–48), justru melihat De Jonge sebagai seorang yang tidak bisa berbuat banyak dalam menghadapi tuntutan zaman.
Ketika menerima tampuk kepemimpinan dari Andries Cornelis Dirk de Graeff (menjabat 1926–1931), De Jonge dihadapkan pada kondisi Hindia Belanda yang menyongsong krisis ekonomi hebat. Depresi ekonomi 1930 berpengaruh lebih hebat kepada Hindia yang mengekspor barang mentah—barang yang harga pasarnya jatuh lebih rendah dibanding barang hasil industri yang diimpor Hindia. Dengan demikian, negeri koloni itu membeli jauh lebih mahal dibanding penghasilan penjualannya.
Ini masih diperparah dengan tuntutan Jepang yang datang pada 1934 untuk menambah jatah ekspornya ke Hindia. Dalam kondisi demikian, pergerakan kebangsaan menyuarakan adanya “janji-janji yang belum terpenuhi” tentang peningkatan kedaulatan yang bersumber dari Janji November 1918 lontaran Gubernur Jenderal Johan van Limburg-Stirum (menjabat 1916–1921).
Dalam gambaran Bijkerk (1974:39), janji tersebut sebenarnya berniat dipenuhi tetapi macet karena kondisi krisis yang melanda. Ditambah pula dengan reaksi tidak bersahabat dari golongan pergerakan kebangsaan. De Graeff, misalnya, memiliki pemikiran serupa dengan kawan karibnya—Van Limburg-Stirum—untuk bekerja sama dengan golongan pergerakan kebangsaan. Namun, pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) kepada pemerintah kolonial tahun 1926 dan 1927 meningkatkan tuntutan golongan Eropa untuk bertindak tegas.
Jurnalis Hindia terkemuka, Karel Wijbrands, misalnya pada 25 Juni 1927 menulis tentang De Graeff usai perlawanan PKI dalam Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië, “[…] Anda orang baik dengan niat baik, tetapi Hindia Belanda pada saat ini membutuhkan tangan yang lebih kuat dari tangan Anda!”. Kondisi krisis itu, ditambah kenyataan yang mengesankan bahwa politik model etis telah membuat tata tenteram di Hindia Belanda kacau balau, akhirnya mengkristal dalam tindakan-tindakan represif De Jonge.
Namun, kita perlu mengingat bahwa dalam periode ini, pemerintahan De Jonge diawasi secara ketat oleh Colijn—seorang kolonialis reaksioner tulen—yang kembali menjadi Perdana Menteri Belanda pada 1933. Dengan demikian, agak susah untuk mengetahui bagaimana pandangan pribadi De Jonge terhadap pergerakan kebangsaan hanya dengan melihat berbagai kebijakan dan pernyataan formal yang ia berikan.
Dalam catatan Bijkerk (1974:47), De Jonge adalah orang yang populer di Batavia. Ia berpikiran terbuka dan sering berinteraksi dengan orang-orang di Harmonie, dan ia bukan sosok yang jauh di dalam istana. Kita mungkin hanya dapat mengira-ngira pandangan aslinya tentang arah perkembangan Hindia. Tetapi sudah jelas bahwa pendekatannya yang kolonialistik dan patriarkis terbukti menekan perkembangan pergerakan kebangsaan.
Keputusannya untuk mengasingkan tokoh-tokoh intelektual seperti Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir berisiko menghabisi pergerakan nasional yang masih muda. Dalam tulisan tentang Tjarda, Mempertahankan Imperium: Tjarda van Starkenborgh-Stachouwer dan Kebijakan Kolonial Akhir Hindia Belanda, 1936–1942 (2021:40), saya menyebut bahwa tindakan De Jonge untuk mengasingkan para pemimpin gerakan kebangsaan di usia nasionalisme yang masih muda itu lebih mematikan bagi kelangsungan hidup gerakan nasional dibanding tindakan polisi militer Kempetai zaman Jepang. Gerakan kebangsaan Indonesia dibabat sebelum tumbuh.
Yang tersisa sebagai pertanyaan adalah “apakah ia bertindak demikian semata-mata karena ingin menindas atau sebagai reaksi atas keadaan?”.
Sisi inilah yang tidak pernah dieksplorasi. Setelah pensiun dari jabatan gubernur jenderal, De Jonge memutuskan untuk menyepi di rumahnya, “De Beele”, di Voorst dan tidak terlibat dalam politik. Setelah perang berakhir pada 1945, De Jonge tetap tidak turut campur dalam gonjang-ganjing dekolonisasi Indonesia.
Bila ia merupakan seorang kolonialis sejati yang ingin Indonesia selama-lamanya menjadi bawahan Belanda—seperti kata-kata terkenalnya “Belanda sudah berada di sini tiga ratus tahun lamanya dan akan berada di sini tiga ratus tahun lagi”, tindakan ini sangat perlu dipertanyakan.
Bahkan, Tjarda yang tidak pernah terlibat politik kolonial sebelum 1936 masih terlibat dalam urusan Indonesia-Belanda setelah 1945. Namun, hingga wafatnya pada 24 Juni 1958, tepat hari ini 63 tahun lalu, De Jonge sama sekali tidak turut campur urusan politik Indonesia-Belanda.
Dengan demikian, mungkinkah sebenarnya De Jonge hanya merupakan seseorang yang dalam bahasa Ong Hok Ham disebut ambtenaar [pejabat] sejati?
Editor: Nuran Wibisono