tirto.id - Rolls-Royce jelas bukan nama sembarangan. Sejarah Rolls-Royce tak lepas dari usaha Fredrick Henry Royce, yang sejak 1884 membangun industri kelistrikan dengan nama Royce Limited. Pada 1904, ketika mobil mulai hadir meramaikan bumi di awal abad XIX, Royce membuat mesin mobil pertamanya, Royce 10.
Pada tahun yang sama, dia bertemu dengan Charles Rolls, pemilik toko mobil C.S.Rolls & Co di Fulham, Inggris. Rolls kagum pada mesin Royce 10. Berdasar perjanjian yang dibuat 23 Desember 1904, Rolls kemudian menjual mesin-mesin Royce 10. Mesin bertenaga 10 tenaga kuda itu dipamerkan di Paris Salon pada Desember 1904.
Menurut Peter Pugh, dalam The Magic of a Name The Rolls Royce Story: The First 40 Years (2001), kemitraan Henry Royce dengan Charles Rolls berlanjut. Sejak 1906, Rolls-Royce Limited pun berdiri di Midland Hotel, Manchester. Hal pertama yang mereka lakukan adalah membangun pabrik baru.
Setelah mempertimbangkan Manchester, Coventry, Bradford dan Leicester, akhirnya Derby terpilih sebagai lokasi pabrik mereka. Pemerintah Derby mampu menyediakan listrik dengan harga yang sangat murah.
Karena butuh modal yang besar, pada 6 Desember 1906 Rolls-Royce resmi melepas saham senilai total £100,000 ke publik. Tahun berikutnya Rolls-Royce pun membeli dan mengakuisisi aset C.S. Rolls & Co, yang semula milik Charles Rolls.
Pada 1908, pabrik baru yang didesain oleh Royce itu pun mulai menghasilkan mesin mobil. Meski mobil dengan mesin 6 silinder, Silver Ghost, sejatinya sudah diperkenalkan pada 1906.
Tak puas dengan mesin 10 PK, mereka pun membuat mesin yang lebih dari 10 PK. Wilton Oldham, dalam The Hyphen in Rolls Royce: A Biography of Claude Johnson (1967), menyebut sejak tahun 1906 Royce sudah mencoba mengembangkan mesin bertenaga 30 PK. Mereka bahkan menghasilkan mesin dengan kekuatan 40 hingga 50 PK. Mesin itu diberdayakan dalam mobil Silver Ghost.
Silver Ghost, dalam sejarah awal Rolls Royce, diproduksi lebih dari 6.000 unit di Inggris. Sejak 1921, dengan nama Springfield Ghost, dirakit sebanyak 1.701 unit di Springfield, Massachusetts, Amerika Serikat hingga ditutupnya pabrik pada 1931.
Menurunnya penjualan Silver Ghost setelah Perang Dunia I membuat Rolls Royce memproduksi mobil murah Twenty pada 1922. Setelahnya, Rolls-Royce cukup diakui dalam industri mobil mewah dunia. Ciri khasnya: di bagian depan mobil terdapat patung kecil Spirit Ecstasy.
Sebelum Perang Dunia II, Rolls Royce adalah perusahaan yang cukup kuat. Di masa depresi dunia, yang di Indonesia dulu disebut sebagai "zaman meleset" atau "malaise", tak membuat Rolls-Royce ketar-ketir. Pada 1931, Rolls Royce malah mengakuisisi pabrik mobil Bentley, yang saat itu keuangannya sedang seret. Tidak heran jika pada periode itu ada kesamaan bentuk kisi depan mobil Rolls-Royce dan Bentley.
Tak hanya mesin mobil, sejak awal Rolls-Royce sudah akrab dengan industri penerbangan. Salah satu pendiri Rolls-Royce, Charles Rolls, juga dikenal sebagai seorang penerbang. Sebelum mati muda pada 12 Juli 1910 dalam sebuah kecelakaan di Southbourne, di usia yang baru 32 tahun, Rolls menjadi orang pertama yang terbang melintasi Selat Inggris pada 2 Juni 1910. Dua kali Rolls melakukannya.
Menurut Peter Pugh, pada 1907 Rolls pernah berusaha meyakinkan Royce untuk memproduksi mesin pesawat. Namun, Royce dan direktur Rolls-Royce tak tertarik. Hal itu terus berlangsung sampai Perang Dunia I melanda Eropa.
Setelah pemerintah membujuk, pada 1914 mereka mulai membuat mesin pesawat di bawah lisensi pabrikan Perancis, Renault. Meski awalnya menolak, akhirnya Rolls-Royce Eagle pun jadi. Tak hanya mesin pesawat Eagle, tapi juga disusul Hawk, Falcon dan Condor.
Setelah perang berakhir, produksi mesin pesawat pun terus berlanjut hingga kini. Industri mesin pesawatnya malah menyalip kebesaran industri mobil mewah mereka.
Rolls-Royce juga menjadi produsen penting mesin pesawat selama Perang Dunia II. Mesin pesawat Rolls Royce, Merlin, setidaknya dipasangkan ke pesawat-pesawat penting sekutu di masa Perang Dunia II. Seperti: Hawker Hurricane, Supermarine Spitfire, de Havilland Mosquito, Avro Lancaster, Vickers Wellington, dan juga North American P-51 Mustang. Setidaknya, 190 ribu unit mesin Rolls Royce Merlin diproduksi selama Perang Dunia II.
Pada dua perang dunia, baik yang pertama 1914-1918 dan yang kedua 1939-1945, mesin pesawat Rolls-Royce dianggap kunci kemenangan sekutu. Kita tahu pesawat begitu penting dalam mobilisasi pasukan dan logistik, dan juga dalam serangan udara.
Ketika era pesawat jet dimulai, Rolls-Royce juga membuat mesin pesawat jet. Setidaknya, Rolls-Royce mengembangkan teknologi itu sejak 1944, bersama pelopor pesawat jet Frank Whittle. Produk Rolls-Royce, RB163 Spey, dipasang sebagai penggerak dari pesawat-pesawat Hawker Siddeley Trident, BAC One-Eleven, Grumman Gulfstream II, dan Fokker F28.
Rolls-Royce dianggap sebagai pemula penggunaan turbin gas dalam industri pesawat. Pemicunya adalah saat Rolls-Royce, pada 1953, memasuki pasar penerbangan sipil dengan menggunakan mesin Dart sebagai penggerak pesawat Vickers Viscount.
Selain memproduksi mesin mobil non diesel dan mesin pesawat, Rolls-Royce mulai memproduksi mesin diesel pada 1951. Semula mesin-mesin itu digunakan untuk kendaraan berat, tetapi belakangan mesin diesel juga dipasang di truk dan lokomotif. Sejak 1956, Rolls-Royce mengambil alih pabrik diesel milik Sentinel di Shrewsbury. Namun, divisi diesel Rolls-Royce itu kemudian diakuisisi Perkins pada dekade 1980an.
Kesulitan keuangan yang dialami Rolls-Royce pada 1971 akibat pengembangan mesin pesawat RB211 yang terlampau mahal. Perusahaan ini pun dinasionalisasi oleh pemerintah Inggris sebagai langkah penyelamatannya. Divisi produksi mobilnya pun kemudian memisahkan diri sebagai Rolls Royce Motors. Sementara industri mesin pesawatnya, yang sejak 1971 dikuasai pemerintah Inggris, akhirnya diprivatisasi pada 1987 sebagai Rolls-Royce Plc.
Bisnis mesin pesawat ini dianggap lebih raksasa ketimbang indsutri mobilnya. Meski begitu, nama Rolls-Royce masih tetap besar dalam dua industri itu. Dan kasus suap Rolls-Royce ke mantan Direktur Garuda Emirsyah yang ramai beritanya beberapa waktu terakhir ini, tentu saja membuat publik Indonesia makin terngiang nama Rolls-Royce.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Zen RS