tirto.id - Habis Samarinda, menyusul Singkawang. Teror di Samarinda dan Singkawang terjadi dengan menggunakan peledak berjenis molotov. Memang hanya molotov, tapi teror tetap saja teror.
Molotov dikenal bukan peledak berdaya rusak tinggi. Namun dengan eksekusi yang tepat, molotov bisa efektif untuk merusak dan melukai, bahkan dapat mematikan.
Tujuh bulan sebelum serangan di Singkawang, molotov pernah digunakan dan mematikan seorang warga di Sleman. Dalam acara tabligh akbar yang diselenggarakan Presidium Forum Lasykar Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sebuah molotov meledak dan menewaskan salah seorang peserta yang sedang berkonvoi.
Sebelumnya, pada 1 Januari 2016, dalam perayaang tahun baru di Alun-Alun Kota Bandung, sebuah molotov juga diledakkan tak jauh dari rumah dinas Walikota Ridwan Kamil. Sebulan kemudian, pada 5 Februari 2016, sebuah tempat pijat di Bandung juga diserang dengan molotov.
Mundur agak jauh ke belakang, tepatnya pada Februari 2013, tidak kurang lima gereja di Makassar, Sulawesi Selatan, mengalami serangan molotov. Dua molotov diledakkan pada 10 Februari, tiga lainnya terjadi pada 14 Februari. Semuanya terjadi pada dini hari.
Polri melalui Kepala Biro Penerangan Masyarakat Brigjen Boy Rafli Amar saat itu sempat mengatakan bahwa bom molotov bukanlah senjata khas para teroris. “Ini (molotov) bukan gaya teroris. Kemungkinan ulah masyarakat yang hendak membuat kekacauan,” kata Boy saat itu.
Bukan berarti teroris tidak pernah menggunakan molotov, melainkan molotov memang sudah lazim digunakan oleh berbagai kalangan yang tidak termasuk kelompok teroris. Molotov bahkan sering menjadi “pelengkap” demonstrasi.
Pada tahun-tahun terakhir Orde Baru, juga beberapa tahun setelahnya, molotov sering digunakan dalam aksi-aksi jalanan. Para aktivis yang turun ke jalan tidak jarang mempersenjatai diri dengan bom molotov ini.
Bahkan jika dirunut jauh ke belakang, peledak jenis ini pun pernah digunakan para pejuang Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan yang terancam oleh kembalinya Belanda.
Mulai Populer Pada Perang Dunia II
Tak begitu jelas kapan bom bakar yang disebut molotov pertama kali dibuat. Namun penggunaan nama molotov bisa dilacak jejaknya sejak perang yang terjadi antara Finlandia dan Uni Sovyet pada awal Perang Dunia II. Perang itu dipicu oleh serangan Jerman terhadap Polandia pada 1 September 1939. Dua bulan setelahnya, Uni Sovyet berselisih paham soal perbatasan dengan Finlandia.
Pada 26 November 1939, Menteri Luar Negeri Uni Sovyet Vyacheslav Molotov memanggil Duta Besar Finlandia untuk Uni Sovyet di Moskow. Molotov menyodorkan tuduhan bahwa Finlandia telah menembakan meriam artileri ke arah desa Mainila di Tanah Genting Karelia yang masih berada di wilayah Sovyet. Dalam serangan artileri itu, empat prajurit Sovyet tewas serta sembilan lain luka-luka. Molotov menyebutnya sebagai “tembakan provokasi.”
Selanjutnya, pada 30 November 1939, Sovyet menuding prajurit Finlandia melintasi perbatasan Sovyet. Hal itu dijadikan alasan bagi Tentara Merah Sovyet mengerahkan 30 divisi dan enam brigade tank untuk meluncur ke arah Finlandia. Pesawat pembom dan pemburu Sovyet yang berpangkalan di Estonia juga ikut meluncur dan meneror kota-kota di Finlandia, termasuk Helsinski. Penduduk sipil Finlandia pun tewas karena serangan itu.
Anehnya, menurut Robert Elson dalam karyanya tentang Perang Eropa, Blitzkrieg (1977), pemerintah Uni Sovyet menyangkal serangan tersebut melalui radio. Mereka merasa serangan bom itu hanya berita bohong. Menurut mereka, Angkatan Udara Sovyet tidak menjatuhkan bom, melainkan roti-roti ke wilayah Finlandia.
Orang-orang Finlandia tentu tidak terima dengan pembelaan diri Sovyet. Finlandia menanggapi pembelaan diri Sovyet ini tak ubahnya lelucon yang tidak lucu. Mereka kemudian menyebut serangan bom itu sebagai: “keranjang roti molotov.”
Orang-orang Finlandia berusaha tetap tenang dan tegar menghadapi serangan itu. Robert Elson menulis: “Finlandia mempunyai Angkatan Darat kecil yang terdiri dari 300 ribu orang, tetapi ulet. Mereka mengandalkan kecerdikan daripada kekuatan. Karena tidak memiliki senjata anti tank, mereka membuat senjata ampuh untuk melawan satuan lapis baja Sovyet. Senjata itu dinamakan molotov cocktail.”
Finlandia yang pada dasarnya tidak ingin ribut-ribut terpaksa membela diri dengan memberi balasan setimpal pada “Keranjang Roti Molotov” melalui sebuah bom yang nama belakangnya kira-kira berarti “minuman penyegar”.
Menurut Simon Sebag Montefiore dalam Stalin: Kisah Kisah Yang Tak Diketahui (2012), Finlandia setidaknya telah membuat 70 ribu bom macam itu. Bahan bakunya sangat sederhana: memakai botol kosong berisi minyak tanah.
Meski Tentara Merah dikenal kuat, alam Finlandia tak mudah untuk ditaklukkan. Hutan lebat, danau dan daerah tundra, membuat wilayah Finlandia sulit dilewati. Meski tak sekuat Tentara Merah, tentara Finlandia toh sanggup memberikan perlawanan terbaiknya.
Tentara Merah pun jadi santapan penembak jitu Finlandia macam Simo Hayha ketika melintasi tumpukan salju. Tak hanya dengan senapan bolt action ala sniper, sering juga dengan senapan mesin memberondongi Tentara Merah. Prajurit pengendara ski Finlandia bahkan berani mendekati tank Tentara Merah dan melemparinya dengan bom molotov yang, menurut Robert Elson, berisi campuran minyak tanah kalium klorit.
“Bom ini akan meledak dan mengobarkan api ketika menyentuh tank, dan melumpuhkan kendaraan lapis baja itu serta membuat awaknya tak berdaya,” tulis Robert Elson.
Lumpuhnya tank tersebut tidak membuat tank sampai hancur. Situasinya hanya datangnya hawa panas membakar dan asap dari bom molotov yang memaksa awak di dalam tank keluar. Di luar tank, awak-awak tank tersebut bisa dihabisi.
Molotov dalam Sejarah Kemerdekaan Indonesia
Dari sekian banyak bom dalam teknologi militer, bom molotov memang paling mudah dibuat. Cukup siapkan botol kosong diisi dengan minyak tanah diberi sumbu. Bom bakar yang mudah dibuat ini kemudian dipakai oleh kelompok pejuang berkantong cekak untuk bertahan dari militer yang kuat.
Molotov digunakan baik untuk membela kemerdekaan sebuah negeri, seperti dilakukan di Finlandia di masa Perang Dunia II, maupun Indonesia di masa revolusi kemerdekaan. Tentu saja tidak terkecuali juga juga gerakan-gerakan terorisme.
Ketika revolusi 1945-1949, pihak Republik Indonesia mau tidak mau menggunakan bom molotov. Terbatasnya dana dan bahan, juga karena blokade Belanda terhadap Indonesia, memaksa Indonesia harus membuat bom sendiri. Molotov akhirnya menjadi salah satu pilihan.
Salah satu pembuat bom molotov terkenal adalah Herman Johannes. Herman yang akademisi Universitas gadjah Mada itu belakangan menjadi pahlawan nasional. Herman yang pernah kuliah teknik di Teckniek Hoge School (THS) yang belakangan menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB), menurut Julius Pour dalam Herman Johannes: Tokoh Yang Konsisten Dalam Sikap dan Perbuatan (1993), tak hanya bisa membuat bom molotov, tapi juga bom tarik dan granat.
Menurut Soimun dalam Prof. Dr. Ir. H. Johannes: Karya dan Pengabdiannya (1984), bersama pejuang lain Herman meminta “kepada masyarakat supaya menyumbangkan botol-botol untuk pembuatan botol-botol pembakar atau cocktail molotov menghasilkan puluhan ribu botol. Setiap harinya selama Clash I (21 Juli-5 Agustus 1947) Laboratorium Persenjataan MBT Kotabaru pimpinan Herman tersebut memproduksi ratusan granat tangan.”
Selain Herman, pemuda-pemuda bahkan bocah-bocahpun bisa membuatnya. Dalam biografinya, Azwar Anaz: Teladan Dari Ranah Minang (2011), mantan Menteri Perhubungan zaman Orde Baru, bercerita: “Ada tekniknya sehingga siap diledakkan. [...] kalau salah memasang sumbu, bom molotov tidak bisa meledak. Jadi tidak ada gunanya.”
Bom-bom itu dibuat oleh Azwar Anaz yang masih bocah untuk dikirim ke gerilyawan di sekitar kota Padang. Saking mudahnya dibuat, bahkan bocah-bocah seperti Azwar Anas kecil pun sanggup membuatnya sendiri.
Dalam banyak gerakan perlawanan, bom molotov menjadi senjata penting, baik dalam demonstrasi maupun perlawanan yang menggunakan metode teror. Termasuk teror yang terjadi beberapa hari terakhir.
Di Gereja Oikemene Sengkotek Samarinda (13/11/2016) dan di Vihara Budi Dharma Singkawang (14/11/2016), bom ini digunakan lagi. Celakanya, dalam kejadian di Samarinda, bocah dua tahun harus meregang nyawa. Padahal dulu bom ini hanya digunakan untuk menyerang tentara musuh yang kuat dan tanguh. Bom itu digunakan dalam situasi kepepet untuk bertahan menghadapi kekuatan musuh yang lebih kuat dan lebih tangguh. Entah itu pasukan musuh yang bersenjata lengkap, maupun aparat negara yang bersikap represif mengatasi para demonstran.
Kini molotov memakan korban seorang bocah tak berdosa bernama Intan Olivia Marbun.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Zen RS