tirto.id - Kisah pembajakan pesawat dalam medium gambar bergerak yang cukup menonjol tidaklah banyak. Apalagi yang sampai dibincangkan dalam waktu yang lama. Dalam ingatan saya, sebagian besar film populer yang mengangkat tema ini datang dari sekitar empat dekade lalu, semisal Con Air, Executive Decision, dan Air Force One. Satu judul lain yang mencuat datang dari dekade 2000-an, yakni United 93.
Sebenarnya, ini adalah jenis kisah yang sangat potensial bagi penyuka ketegangan. Namun, ia sangat bergantung pada momentum di dunia nyata (insiden pembajakan besar) atau faktor-faktor “mahal” semacam presisi penggambarannya. Itulah yang bikin kebanyakan film pembajakan agak sulit didengar khalayak luas.
Terkini, ceruk itu coba dimanfaatkan Hijack (atau H/JACK) rekaan George Kay dan Jim Field Smith yang ditayangkan di Apple TV+ sejak akhir Juni lalu. Menggunakan format serial, mulanya sulit untuk tak memikirkannya seperti film yang dimelarkan.
Namun di sisi lain, ia cukup menggiurkan. Bagaimanakah kisah pembajakan dipecah ke dalam tujuh episode? Seberapa jauh eksplorasinya dimekarkan?
Ketika Inkonsistensi jadi Sifat
Nyatanya, kisah fiktif pembajakan pesawat KA29 milik maskapai Kerajaan Inggris Kingdom Airlines yang mengangkut 216 jiwa ini tak luput dari kelemahan. Hijack terasa berbagi kelemahan dengan film-film serupa yang mendahuluinya.
Seluruh aspek dalam plotnya, termasuk dialog yang terkesan seadanya, dituturkan demi membangun atmosfer utama serial: ketegangan.
Karakterisasinya juga tak banyak membantu. Sebagian besarnya ditulis hanya bertujuan untuk menambah, lagi-lagi, ketegangan. Terkadang, malah bisa saja bikin penonton kesal. Dua karakter dengan screentime terbanyak, yaitu seorang penumpang bernama Sam Nelson dan Stuart Atterton si pemimpin grup pembajak, seakan ditulis untuk film-film blockbuster dari sekian dekade silam.
Sam Nelson sedari mula ditunjukkan sebagai negosiator yang piawai. Meski begitu, adegannya tak meyakinkan: membujuk petugas gerbang bandara untuk mengizinkan penumpang yang datang terlambat untuk masuk pesawat.
Penulisan macam ini lantas merembet ke hal lain. Kompleksitas yang hendak ditampilkan pada diri Sam, alih-alih menguarkan aura misterius, malah jadi membingungkan. Ada tarik-menarik antara kecakapan seorang broker dan egoisme seorang kepala keluarga. Sayangnya, tarik ulur itu bukan semata karena situasi pembajakan, tapi karena dia memang ditulis seperti itu.
Selain karena kita diberitahu demikian, satu-satunya hal yang membuat kita meyakini sosok Sam sebagai negosiator andal adalah pembawaan sang pemeran Idris Elba yang badass lagi karismatik—sebagaimana kebanyakan peran yang dimainkannya.
Inkonsistensi ini menular, ke mana saja, ke siapapun. Pengarahan para sutradaranya terhadap para aktor terasa mentok, buntu di skrip. Terlebih pada penampilan Neil Maskell sebagai Stuart Atterton sang pemimpin grup pembajak. Dia ditulis menjadi antagonis dengan nol karisma, bahkan tak cukup intimidatif.
Anggota grupnya sama saja. Sering kali, mereka sekadar berteriak-teriak macam Honey Bunny di Pulp Fiction. Ketika salah satu dari mereka diberikan arc lebih mendalam, penyampaiannya juga tak cukup emosional.
Hijack setidaknya punya alasan untuk hal itu. Bisa jadi karena, mengutip dialog dalam filmnya sendiri, "British people has no emotion". Yang pasti, alasan utamanya adalah bahwa mereka hanyalah pembuka jalan sampai antagonis utama kisah ini muncul.
“Kekurangan” para pembajak tentu bisa dibaca sebagai kesengajaan demi menunjukkan bahwa mereka hanya kriminal biasa, sebagai orang-orang yang sejatinya di bawah komando, dengan kepanikan khas para amatiran. Sayangnya, meski demikian pun, beberapa langkah yang mereka ambil tetap saja terkesan aneh.
Misalnya, mereka kerap terlalu mendengarkan opini tawanannya untukmembuat keputusan-keputusan penting. Itu berlanjut pula ke rangkaian kejadian yang bikin mereka tampak makin konyol. Hal ini memupus “harapan” penonton bahwa mereka tengah menyaksikan pembajak yang tak hanya keji, tapi juga andal dan penuh perhitungan.
Satu hal yang mungkin bikin kita bisa memaafkan kelemahan itu adalah cara mereka menguasai kokpit dengan melancarkan “pembajakan emosional”. Taktik ini lantas jadi tema berulang. Pembajakan emosional bahkan juga terjadi di darat, menimpa penumpang lain, bahkan pembajaknya sendiri.
Hijack menyeragamkan karakter-karakternya, bahwa semua orang tanpa terkecuali bakal rela mengorbankan diri sendiri atau orang lain demi orang-orang terdekat.
Bahwa pembajakan pesawat bisa berangkat dari pembajakan emosional sebetulnya bukan subteks yang buruk. Sayangnya, kreator serial ini jatuh karena terus mengulangnya dan mengiringinya dengan lebih banyak kejanggalan lain.
Terdapat satu momen, tatkala salah seorang kru kabin hendak menyampaikan pesan soal adanya insiden serius kepada pilot jet NATO. Adegan yang sebenarnya dimaksudkan untuk jadi dramatis ini malah terlihat aneh lantara kejanggalan-kejanggalan yang mengiringinya.Beberapa contoh yang bisa kita lihat di antaranya Home Secretary Inggris yang begitu mudah ditemui perwakilan teroris atau mudahnya para pejabat Inggris dikelabui para penjahat dengan trik-trik lazim dalam kisah-kisah heist atau caper film.
Itu semua bahkan belum menyoal akurasinya dengan realitas. Pascainsiden 11 September (atau 9/11), standar keamanan penerbangan tentu diperketat di mana-mana. Dengan begitu, di atas kertas, pembajakan pesawat tentu bakal bisa dicegah atau, jika pun tetap terjadi, ia lebih mudah ditumpas dan tak bakal berlarut-larut.
Saya tak tahu seberapa akurat riset orang-orang di balik Hijack soal penerbangan, tapi saya bisa membayangkan banyak pakar aviasi atau siapa pun yang bekerja di sektor penerbangan bakal mencak-mencak atau terbahak tatkala melihat berbagai aspek teknis dalam serial ini.
Cukup untuk Tontonan Seru
Terlepas dari semua kelemahan itu, saya toh tetap menikmati serial ini.
Hijack terasa berupaya kelewat keras pada episode finale-nya. Namun, konflik di antara para pembajak sendiri, cara komunikasi diam-diam para penumpang, hingga menit-menit akhir kala keputusasaan menyeruak sebelum klimaks cukup untuk mengeringkan emosi.
Di antara banyak cela dan kejanggalan, turbulensi emosi dan suspens tiap episodenya bisa dinikmati. Tujuan pembajakan disimpan baik-baik hingga pertengahan serial. Beberapa cliffhanger pada penghujung episode tertentu bahkan terbilang dahsyat.
Hijack pun cukup lihai bermain-main di antara isu sensitif. Ia, misalnya, mengomentari sentimen negatif pada etnis atau agama tertentu perihal terorisme—kalau bukan berupaya membalikkannya. Ia menerapkanself-critical pada 'ke-Inggris-annya' dengan menampilkan bahwa kejahatan bisa datang dari golongan mana pun.
Yang pasti, kesan pertama saya ketika mendapatinya sebagai film-yang-dipanjang-panjangkan lumayan berubah usai menontonnya secara utuh. Ini lantaran Hijack menerapkan pacingyang tak ubahnya dunia nyata, sekitar 7 jam di udara antara Dubai dan London.
Pemanfaatan waktunyatabanyak menolong serial ini. Pergantian sorotan antara drama di pesawat dan di darat bisa dibilang mulus. Ia juga rapi dalam hal membagi momen tegang dan landai—walau drama di darat kadang terasa lebih seperti filler belaka, seperti update yang tak kita butuhkan.
Kendati bertumpu pada poin-poin plot yang inkonsisten, format serialnya tetap dioptimalkan dengan adanya isu baru dan kenaikan ekskalasi pada setiap episode. Efektif untuk memperdalam cerita dan menunjukkan betapa banyaknya orang yang terlibat dalam satu insiden pembajakan pesawat.
Dengan sinematografi khas kisah thriller, Hijack secara keseluruhan jadi tontonan menegangkan yang tak banyak dijanjikan judul-judul serial TV populer. Seperti film-film blockbuster di mana, kasarnya, ia jauh lebih bisa jadi tontonan memikat bila kau menonaktifkan otak barang sejenak.
Kisah pembajakan pesawat selalu jadi tema yang menarik, terutama bagaimana melihat orang-orang bekerja sama menghadapi situasi yang terus berubah. Hijack sepertinya cukup pantas berada di jajaran film atau serial pembajakan pesawat terbaik, alih-alih terburuk. Setidaknya untuk saat ini.
Namun, ia mungkin tak bakal dibincangkan lebih lanjut di tahun-tahun mendatang. Memang tidak sempurna, tapi cocok bagi yang ingin menyaksikan ketegangan pembajakan dalam waktu nyata. Tontonan yang tak buruk-buruk amat bagi yang suka pada suspens mencekam dan drama yang cukup menggugah.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi