tirto.id - Apa yang paling menyebalkan dalam mengembangkan aplikasi ponsel pintar?
Source code (kode sumber) yang bermasalah, bug (cacat kode) yang tiba-tiba muncul, framework yang tidak kompatibel, dokumentasi buruk, hingga pertanyaan yang tak terjawab di StackOverflow sangat mungkin menjadi jawabannya. Namun, bagi saya pribadi (dan kemungkinan besar diamini banyak pengembang aplikasi), Google dan Apple adalah jawabannya. Ini terjadi karena perusahaan pemilik Android dan iOS ini begitu kuat mencengkram segala tetek bengek pembuatan aplikasi dari hulu ke hilir.
Di hulu, Google menggiring pengembang aplikasi untuk mengutamakan penggunaan bahasa Kotlin dibandingkan C, C++, C#, serta Java. Sementara itu, saat mengembangkan aplikasi iOS, Swift merupakan satu-satunya bahasa yang didukung Apple dengan sepenuh hati. Dan ya, pengembang aplikasi dapat leluasa menggunakan IDE (integrated development environment) populer seperti Visual Studio Code, Eclipe, hingga Atom, Namun, alat-alat paling rinci untuk pembuatan Android hanya ada di Android Studio. Apple, dengan praktik monopolinya, hanya mengizinkan Xcode, IDE buatannya, sebagai satu-satunya jalan bagi pengembang untuk membuat aplikasi iOS. Sialnya, Xcode hanya tersedia di komputer Mac, tidak di Windows ataupun Linux.
Betapa menyebalkannya Google dan Apple semakin menjadi-jadi manakala pengembang aplikasi harus berurusan dengan Google Play dan App Store, toko aplikasi yang menjadi jembatan utama (dan khusus iOS, App Store adalah satu-satunya) pengembang aplikasi berhubungan dengan pengguna aplikasi.
Toko Aplikasi
Pada 2008 silam, awan mendung terus-terusan menggelayut langit di salah satu kawasan di kota Waterloo, Kanada. Musababnya, BlackBerry (kala itu bernama Research in Motion atau RIM), yang berkantor pusat di salah satu kawasan di Waterloo itu, ditimpa musibah gara-gara Steve Jobs, semenjak setahun sebelumnya, mendeskripsikan ulang apa itu ponsel melalui iPhone. Hal inilah yang membuat BlackBerry yang kala itu masih dianggap raja ponsel pintar pelan-pelan ditinggal karena dianggap tidak memiliki produk sehebat iPhone.
BlackBerry tak mampu mengeluarkan produk seperti iPhone, yang mengusung konsep full touch screen dan menyajikan internet sebagai jualan utama. Sebagaimana dipaparkan Jacquie McNish dalam bukunya berjudul Losing the Signal: The Untold Story Behind the Extraordinary Rise and Spectacular Fall of BlackBerry (2015), BlackBerry menjunjung tinggi empat pilar utama yang mendefinisikan apa itu ponsel hebat menurut pendirinya, Mike Lazaridis: baterai yang dapat bertahan lama, spektrum telekomunikasi yang kokoh, keamanan ponsel, dan, tentu saja, kenyamanan mengetik alias keyboard fisik.
Masalahnya, empat pilar tersebut dapat dianggap baik manakala ponsel yang dibuat hanya sebatas menyajikan email sebagai fitur utama. Di tengah kian menjamurnya internet di masyarakat--alias internet tak cuma digunakan untuk berkirim pesan melalui email--empat pilar tersebut lebih pantas disebut sebagai omong kosong belaka alih-alih strategi bisnis. Masalahnya, keyboard fisik kalah penting dibandingkan layar sentuh yang dapat menyajikan pengalaman scrolling (bergulir) halaman web secara mulus.
Mencoba menjawab tantangan dari Apple, BlackBerry mengeluarkan Storm pada 2009. Nahas, ponsel berkonsep full touch screen pertama BlackBerryStrom ini gagal di pasaran. Verizon, provider telekomunikasi yang diajak bekerjasama BlackBerry untuk menjual Storm, bahkan merugi hingga $500 juta karena Lazaridis memaksakan empat pilarnya itu dengan tetap memberikan sensasi ketik (taptic/feedback ala keyboard) pada layar Storm. Sensasi ketik yang hanya menjadi bencana semata karena teknologi ini belum sempurna, membuat layar Storm acap-kali tak merespons sentuhan pengguna.
(Catatan: Apple menyempurnakan sensasi ketik ini melalui teknologi bernama 3D Touch).
Selain empat pilar absurd itu, kegagalan BlackBerry menghadang iPhone juga disebabkan oleh iPhone yang dalam praktiknya bukan ponsel melainkan komputer. Ini bahkan diakui Lazaridis.
"Ya, Tuhan, Jobs berhasil membenamkan Macbook ke sini (iPhone)," terkaget-kaget Lazaridis tatkala membongkar iPhone untuk pertama kalinya pada pertengahan 2007 silam.
Dengan mengusung prosesor bertenaga 620 MHz buatan Samsung (ya, Samsung), memori sebesar 700 megabyte, dan layar sentuh--atau serangkaian kekuatan yang dianggap Lazaridis sebagai Mac versi mini (setara dengan 22 kali lipat kekuatan ponsel BlackBerry kala itu), Apple dapat membenamkan sistem operasi buatannya, Macintosh, yang telah dikerdilkan (iPhone OS, kemudian diganti nama menjadi iOS) pada iPhone. Ini membuat iPhone dapat menjalankan beragam aplikasi yang tak sebatas email atau peramban (browser), suatu kekuatan yang tak bisa (atau tak mau) dikejar BlackBerry karena Lazaridis, dengan jumawa, menyebut bahwa ia "tidak membutuhkan ribuan aplikasi sampah" di BlackBerry. Sikap ini untungnya tidak ditiru Google manakala mereka merilis Android setahun selepas iPhone hadir ke dunia.
Melalui kehadiran jutaan aplikasi, iPhone dan ponsel-ponsel Android, sebagaimana ditulis Brian Merchant dalam bukunya berjudul The One Device: The Secret History of The iPhone (2017), laku keras di pasaran. Ponsel kini tak sebatas digunakan untuk bercakap-cakap via telepon, SMS, ataupun email, tetapi juga untuk membeli makanan hingga mencari jodoh. Ironisnya, meskipun hampir semua aplikasi iPhone dan Android dibuat oleh pengembang aplikasi pihak ketiga, nasib dan pemasukan yang mereka dapatkan ditentukan oleh Apple dan Google.
Untuk iPhone, App Store adalah satu-satunya distributor aplikasi dari pengembang ke masyarakat. Tidak ada file instalasi aplikasi untuk iPhone di luar sana, semisal .EXE untuk Windows atau .DMG untuk Macintosh. Dan untuk Android, meskipun penggunanya memungkinkan memasang aplikasi melalui file .APK, Google Play jadi gerbang paling aman dan secara default (bawaan pabrik) Google tidak mengizinkan file .APK dapat langsung dieksekusi. Artinya, tidak ada pilihan bagi pengembang untuk tidak menggunakan App Store dan Google Play. Masalahnya, ketika pengembang aplikasi hendak mendistribusikan aplikasi ciptaannya melalui App Store ataupun Google Play, Apple dan Google melakukan proses moderasi (review). Jika moderator App Store dan Google Play menganggap aplikasi memenuhi standar, maka aplikasi itu akan muncul di kedua toko. Masyarakat bisa mengunduh dan menggunakannya. Jika aplikasi yang dikirimkan mengandung jasa/konten digital berbayar, Apple dan Google mengenakan tarif 30 persen dari nilai jasa/konten digital yang dijual.
Mike Isaac, reporter teknologi pada The New York Times dalam bukunya berjudul Super Pumped: The Battle for Uber, menyebut bahwa Uber pernah diancam diusir dari App Store. Alasannya, Uber menggunakan teknologi milik InAuth hingga 2014 guna menghentikan kecurangan pengemudi-pengemudi palsu--yang mendaftar menjadi pengemudi hanya untuk memperoleh bonus. Teknologi adalah milik InAuth, perusahaan asal Boston, AS, yang mampu mendeteksi nomor identifikasi perangkat iPhone tanpa perlu menggunakan IMEI. Melalui teknologi InAuth, ketika Uber mendeteksi bahwa perangkat yang digunakan si pengemudi masuk dalam daftar hitam (blacklist), aplikasi Uber tidak dapat dijalankan.
Meskipun maksud Uber baik, Apple berpikir lain. Uber dianggap menyalahi aturan Apple karena mengidentifikasi perangkat penggunanya. Maka, pada versi pembaruan aplikasi Uber, Apple menolaknya dan bahkan mengancam hendak menendang Uber dari App Store jika teknologi InAuth masih digunakan.
Netflix, pelopor streaming film, pun mengalami nasib serupa. Karena bertengger di App Store dan Google Play, Netflix harus membayar fee sebesar 30 persen per transaksi. Artinya, sedikitnya uang senilai $256 juta milik Netflix per tahun dari hasil berjualan film dan serial TV lari ke tangan Google dan Apple. Potongan yang teramat besar yang juga dirasakan Spotify, pelopor streaming musik. Kebijakan App Store dan Google Play yang merugikan pengembang aplikasi ini membuat Epic Games keluar dari App Store dan Google Play dan memilih merilis toko aplikasinya sendiri, Epic Games App.
Tak ketinggalan, melalui App Store dan Google Play, Apple dan Google lebih mengutamakan aplikasi-aplikasi buatan mereka muncul di posisi atas manakala pengguna mengetik "Music" atau "Email," misalnya. Keduanya menyingkirkan aplikasi-aplikasi buatan pihak ketiga alias berperilaku monopolistik.
Untunglah, atas ulah Apple dan Google yang terlalu kuat mencengkram pengembang aplikasi melalui App Store dan Google Play, angin segar nampaknya tiba di tengah-tengah komunitas pengembang aplikasi. Musababnya, pada awal Agustus 2021, Kongres AS berinisiatif merancang The Open App Markets Act (PDF), rancangan undang-undang yang mengatur pasar aplikasi agar lebih terbuka dan tidak dimonopoli oleh Apple serta Google. The Open App Markets Act, andai lolos menjadi undang-undang, diharapkan mampu menjinakkan perilaku monopolis Apple dan Google.
Semoga.
Editor: Windu Jusuf