Menuju konten utama

Haruskah Pendanaan Partai oleh Negara Diperbesar?

Salah satu wacana yang mengemuka dalam RUU Pemilihan Umum adalah penambahan dana partai dari kas negara.

Haruskah Pendanaan Partai oleh Negara Diperbesar?
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo (kiri) didampingi Sekjen Yuswandi A. Temenggung (kedua kiri) bersiap mengikuti rapat dengan Pansus RUU Pemilu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (14/6). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

tirto.id -

Wacana penambahan dana partai politik sebesar Rp 1000 per suara yang diusulkan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) kepada Pansus RUU Pemilihan Umum (Pemilu) memantik berbagai pendapat. Ada yang menganggapnya masih kurang dari segi angka, namun ada yang memandang sebaliknya: tidak perlu.

Wakil Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menyatakan angka tersebut masih jauh dari cukup untuk pendanaan partai. "Secara kebutuhan masih jauh, tapi kami sesuaikan dengan kemampuan negara saja," kata Daniel Johan saat dihubungi Tirto (3/7).

Menurutnya, kebutuhan pendanaan partai tergolong cukup besar, terutama pendanaan dalam agenda pemilihan umum, baik legislatif maupun pemilihan kepala daerah. Sedangkan, dalam UU no 2 tahun 2008 tentang partai politik, sebuah partai tidak boleh mendirikan badan usaha atau memiliki saham usaha tertentu.

Sejauh ini, menurut Daniel, partainya mengandalkan iuran dari anggota partai. Baik yang mempunyai jabatan ataupun tidak. "Itu sudah diatur di AD/ART," jelas Daniel.

Iuran yang ada pun terbagi menjadi dua, wajib dan sukarela. Perbedaan keduanya, menurut Daniel, disesuaikan dengan kebutuhan dan fungsi iuran tersebut. Besarannya pun berbeda sesuai dengan jabatan anggota di partai.

"Yang wajib, misalnya, DPRD ada iuran sekian ratus ribu per bulan ke DPW untuk pengembangan kader," katanya.

Meski begitu, Daniel menyatakan wacana yang diusulkan Kemendagri sebagai hal baik. Karena, menurutnya, di dalamnya terkandung semangat untuk melawan korupsi, baik di tubuh partai maupun di pemerintahan. Partai diharapkan tidak perlu meminta kadernya untuk bermain anggaran demi menghidupi kas partai.

"Semangatnya, kan, agar punya dampak mengatasi akar permasalahan korupsi," kata Daniel.

Tidak hanya terkait penambahan dana partai yang juga dipandang baik oleh Daniel, melainkan juga wacana dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengusulkan agar dana partai 50 persen ditanggung negara dan 50 persen ditanggung partai.

"Usulan KPK tersebut saya rasa bagus, ya, dan KPK tentu sudah melakukan proses kajian yang cukup," lanjut Daniel.

Namun rencana pembahasan penambahan dana partai di Pansus RUU Pemilihan umum, menurut Daniel, PKB belum memiliki sikap akan mendukung atau tidak.

"Kami selalu mengambil keputusan secara musyawarah mufakat," katanya.

Penambahan Dana Parpol Kurang Tepat

Sementara itu, peneliti Indonesian Corruption Watch, Donal Faris, menyatakan pembahasan wacana penambahan dana partai melalui Pansus RUU Pemilu dinilai kurang tepat. Menurutnya, pintu masuk yang tepat adalah melalui UU Partai Politik.

"Pintu masuknya harus melalui UU Partai," kata Donal saat dihubungi Tirto (3/7).

Hal itu mengingat dalam penambahan dana partai, menurutnya, tidak hanya seputar jumlah dana yang diberikan oleh negara saja, melainkan juga mesti ada pembaruan sistem.

"Kenaikan dana partai tanpa diikuti perbaikan tata kelola dan transparansi partai akan sia-sia saja," kata Donal.

Adapun konsep pembaruan dalam tata kelola dana partai tersebut, menurut Donal, harus memperhatikan empat hal. Pertama, mengatur sistem rekrutmen dan kaderisasi partai. Kedua, mengatur sistem pengambilan keputusan dan demokrasi internal partai. Ketiga, mengatur sistem audit baru bagi partai. Keempat, mengatur sistem transparansi dan sanksi pelanggaran keuangan partai.

Keempatnya, menurut Donal, mesti diatur oleh pemerintah dan dituangkan dalam Undang-Undang yang mengikat partai politik yang ada di Indonesia

Model-Model Pendanaan Partai

Dalam sebuah wawancara khusus dengan Tirto pada 27 Mei lalu, Ketua Divisi Pusat Pengembangan Strategi dan Kebijakan Pengurus Pusat Partai Demokrat, Ulil Abshar Abdalla, juga mengeluhkan perkara pendanaan terhadap partai. Menurutnya, belum ada sistem yang tepat sebagai solusi untuk perkara tersebut di negeri ini.

"Semua partai mengalami problem money politic. Tidak hanya Demokrat. Saya enggak tahu bagaimana mengatasi itu. Ada banyak opsi. Ada opsi yang mengikuti Jerman di mana partai dibiayai negara supaya tidak ada partai yang mencari sumber-sumber pendanaan di luar dana resmi, misalnya. Tapi, kan, publik tidak suka opsi itu karena partai dianggap korup tiba-tiba minta dana dari negara. Tapi kalau misalnya tidak setuju dengan opsi itu, opsi apa lagi yang bisa dicoba? Sampai sekarang belum ada alternatifnya," kata Ulil kepada Tirto (27/3).

Sementara, menurut Ulil, kalau pun Indonesia ingin menerapkan sistem crowd funding untuk partai politik seperti yang ada di Amerika, masyarakat kurang setuju karena partai yang ada saat ini tidak seperti yang mereka harapkan.

"Tapi kalau tidak ada saweran, jadinya kayak lingkaran setan kalau tidak ada kemauan publik untuk mendanai partai," katanya.

Selain model Jerman dan Amerika, menurut Ulil, ada juga model pendanaan dengan model Inggris, yakni partai dibiayai oleh kader. Namun, untuk di Indonesia, menurut Ulil masalahnya adalah tidak ada lagi partai yang benar-benar memiliki kader seperti halnya partai kiri.

"PKS pun yang disebut sebagai partai kader, apakah mereka betul-betul membiayai semuanya, enggak tahu juga. Mungkin sebagian mereka membiayai. Tapi partai kader itu sekarang makin langka. Partai kader itu hanya ada pada partai kiri itu. Partai buruh. Partai komunis. Partai sosialis. Itu pendanaannya melalui anggota partai," kata Ulil.

Baca juga artikel terkait RUU PEMILU atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Politik
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Zen RS