Menuju konten utama
10 November 1946

Hari Pahlawan Moncer di Atas Kisah Redup Pencetusnya, Soemarsono

Hari Pahlawan diperingati sejak 10 November 1946. Pengusulnya adalah Soemarsono, orang yang kemudian terlibat dalam Afair Madiun 1948.

Hari Pahlawan Moncer di Atas Kisah Redup Pencetusnya, Soemarsono
Ilustrasi Soemarsono. tirto.id/Tino

tirto.id - Barangkali hanya sedikit orang Indonesia yang tahu bahwa Hari Pahlawan 10 November adalah usulan dari orang komunis. Orang itu bernama Soemarsono.

Dalam Rapat Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BPKRI) pada 4 Oktober 1946, Soemarsono mengusulkan agar setiap tanggal 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan. Soemarsono menilai Pertempuran Surabaya sangat perlu untuk selalu dikenang karena heroiknya perjuangan arek-arek Suroboyo dalam mempertahankan kemerdekaan RI. Usulan Soemarsono kemudian disetujui oleh forum dan direstui Presiden Sukarno.

Maka, pada 10 November 1946, tepat hari ini 75 tahun lalu, di Yogyakarta yang saat itu menjadi ibu kota RI, untuk pertama kalinya Hari Pahlawan diperingati.

Peran Soemarsono dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI, termasuk lewat Pertempuran Surabaya 10 November 1945, sebenarnya patut diapresiasi. Nugroho Notosusanto, sejarawan UI dan Kepala Pusat Sejarah ABRI, juga mengakui hal itu dalam buku Pertempuran Surabaya terbitan tahun 1985. Namun, pamor Soemarsono justru tenggelam alih-alih menjadi pahlawan nasional. Terlebih setelah ia dikait-kaitkan dengan Peristiwa Madiun 1948 yang melibatkan orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI).

Soemarsono adalah sosok yang dibuang dari sejarah Pertempuran 10 November 1945. Namanya tak muncul dalam diorama di monumen 10 November di Surabaya. Ia seakan-akan hilang tak berbekas. “Peran saya dihilangkan karena saya komunis,” ujar Soemarsono suatu ketika.

Tapi Soemarsono sendiri memang menolak perannya ditonjolkan. Baginya, pahlawan 10 November adalah rakyat Surabaya.

Pertempuran 10 November 1945

Soemarsono diingat karena posisinya sebagai Gubernur Militer Madiun menjelang dan selama gegeran Madiun 1948. Tetapi, sejatinya ia sudah memulai kiprah sejak masa pendudukan Jepang. Bukan di Madiun, melainkan di Surabaya.

Dari penelusuran Benedict Anderson, di masa pendudukan Jepang Soemarsono ikut gerakan bawah tanah jaringan Sutan Sjahrir. Ia direkrut Djohan Sjahroezah—sahabat dekat dan penghubung jaringan Sjahrir. Ia juga terkoneksi dengan jaringan Amir Sjarifoeddin di Surabaya. Kaitan inilah yang membuatnya dekat dengan eksponen komunis selama masa Revolusi.

Setelah proklamasi Soemarsono bersama Ruslan Widjaja mengajak kaum buruh penyulingan minyak di Surabaya membentuk organisasi. Maka berdirilah Angkatan Muda Minyak pada 21 Agustus 1945. Sejak itulah nama Soemarsono terkenal di kalangan pemuda.

Pada bulan-bulan pertama usai proklamasi lelaki kelahiran Kutoarjo, 22 September 1921 ini menjalin hubungan dengan pimpinan organisasi pemuda lain di Surabaya. Ia juga ikut rapat-rapat raksasa dan kampanye kemerdekaan. Salah satunya adalah rapat raksasa di Lapangan Tambak Sari pada 11 September.

“Setelah R. Sudirman dan Doel Arnowo, masing-masing Residen Surabaya dan kepala KNI Jawa Timur, memberikan pidato dengan nada berhati-hati dan bijaksana, Sumarsono, pada waktu itu tokoh pemuda paling terkemuka di kota itu, membuat seruannya sendiri yang lebih radikal kepada massa pemuda yang berkumpul di situ,” tulis Ben Anderson dalam Revoloesi Pemoeda (2018: 144).

Setelah itu Soemarsono tak pernah absen dari peristiwa-peristiwa penting yang mengarah pada pertempuran 10 November 1945.

Pada 19 September 1945 ia ikut di antara kerumunan massa yang merobek bendera Belanda di Hotel Yamato (Hotel Oranje), Tunjungan. Ia juga ikut bersama Krissubanu, Ruslan Widjajasastra, dan Kaslan mendirikan Pemuda Republik Indonesia (PRI) pada 23 September.

Pada 28 Oktober ia terlibat dalam pertempuran melawan tentara Sekutu yang pecah di seantero Surabaya. Hari itu Brigade Infanteri ke-49 Inggris melakukan pendudukan sejumlah kantor penting di Surabaya dan melucuti senjata para laskar. Tentu saja, PRI menolak dan memilih mempertahankan diri.

Seperti diuraikan Ben Anderson (hlm. 185), sekira pukul 17.00 Soemarsono pergi ke kantor radio dan berpidato. "Lebih baik kita mati berkalang tanah daripada kehormatan dan kemerdekaan RI diinjak-injak. Merdeka atau mati!" teriaknya di depan mikrofon. Dan malam itu Surabaya membara.

Pertempuran itu berhenti keesokan harinya berkat kedatangan Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta dan Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin. Soemarsono yang memimpin pasukan di daerah Wonokromo justru kesal pertempuran berhenti. Karena menurut perhitungannya hanya tinggal selangkah lagi pemuda Surabaya memenangi pertempuran.

Peran yang dijalaninya kala itu tentu bukan peran kecil. Namun, hari ini jika mengingat tentang pertempuran Surabaya, Bung Tomo lah nama yang selalu disebut, bukan Soemarsono. Padahal ia adalah ketua PRI yang merupakan organisasi pemuda terbesar di Surabaya.

Pada Agustus 2009, kepada Dahlan Iskan, wartawan senior pemilik Grup Jawa Pos, Soemarsono tak lagi mempersoalkan siapa yang seharusnya terkenal. Baginya itu hanyalah soal pembagian peran belaka. Ia lebih banyak bergiat di lapangan, sementara Bung Tomo bekerja di radio.

”Itu karena dia terus mengobarkan semangat rakyat lewat radio. Itu dia lakukan sebagai tugas karena dia memang menjabat ketua bidang penerangan di PRI,” ujar Soemarsono kepada Dahlan.

Infografik Mozaik Bara Pertempuran Surabaya

Infografik Mozaik Bara Pertempuran Surabaya. tirto.id/Tino

Afair Madiun 1948

Selepas pertempuran Surabaya, Soemarsono bergiat di Pesindo. Dari sini ia kembali erat dengan lingkaran kiri di bawah komando Amir Sjarifoeddin. Ia sempat masuk dalam jajaran anggota Dewan Pertahanan Negara bentukan Kementerian Pertahanan pada 1946. Ia juga pernah terlibat dalam Badan Pendidikan Tentara sebagai salah seorang anggota komisi.

Lagi-lagi di bawah komando Amir Sjarifoeddin, Soemarsono masuk dalam Biro Perjuangan. Bersama Djokosoejono, seorang tokoh Pesindo, lelaki dengan nama alias Samio itu bertugas mengkoordinasikan kebijakan Kementerian Pertahanan dengan kegiatan laskar-laskar di daerah.

“Dalam melaksanakan tugasnya di Kementerian Pertahanan, Soemarsono dan Djokosoejono mendapatkan pangkat tituler perwira tinggi Mayor Jenderal,” tulis Norman Joshua Soelias dalam Pesindo: Pemuda Sosialis Indonesia 1945-1950 (2016: 85).

Ketika pecah huru-hara Madiun pada September 1948, Soemarsono berada di pihak Front Demokrasi Rakyat—koalisi di mana Pesindo bernaung. Soemarsono lah yang mengumumkan pengambilalihan Madiun pada malam 18 September. Keesokan harinya, pasukan Soemarsono melucuti kesatuan-kesatuan Siliwangi dan Corps Polisi Militer (CPM) di selingkup Madiun.

Dalam catatan Norman, FDR lalu membentuk Pemerintahan Front Nasional di Madiun. Oleh pemerintahan baru ini Soemarsono diangkat jadi Gubernur Militer Madiun. Namun, usia pemberontakan ini tak lama. Pada 27 September TNI sudah bisa menguasai keadaan dan menumpas para petualang politik ini.

“Setelah Insiden Madiun, Pesindo kehilangan sebagian besar kekuatan politik, kelaskaran, serta tokoh-tokohnya. [...] Soemarsono sendiri lolos dari ancaman eksekusi TNI karena melarikan diri ke wilayah pendudukan Belanda,” tulis Norman (hlm. 119).

Usai dari Madiun, nama Soemarsono meredup. Setelah G30S 1965 ia ditangkap dan dipenjara selama sembilan tahun. Setelah itu ia memutuskan hijrah ke Australia. Pada Selasa, 8 Januari 2019, Soemarsono mangkat dengan status sebagai warga negara Australia.

Baca juga artikel terkait HARI PAHLAWAN atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Iswara N Raditya