tirto.id - Udara sejuk di lereng Gunung Semeru tak mampu meredam kekesalan Soe Hok Gie kepada Aristides Katoppo. Dia kesal lantaran kawannya itu--sesama anggota Mapala Fakultas Sastra UI--mengigau semalam suntuk saat bermalam di sebuah titik pendakian Gunung Semeru hingga membuat dirinya tidak bisa tidur.
“Lu sangat gelisah. Gue nggak mau lagi tidur di sebelah lu,” kata Aristides menirukan Hok Gie.
Dalam Gie dan Surat-Surat yang Tersembunyi (2019: 95), Aristides menuturkan kegelisahannya yang tidak sempat dia ungkapkan kepada Hok Gie berasal dari sebuah mimpi kecelakaan di gunung. Aristides yang pernah menjabat redaktur Sinar Harapan ini mengaku bermimpi melihat tiga mayat yang tidak jelas wajah-wajahnya. Siapa sangka mimpinya itu ternyata menjadi semacam firasat menyambut tragedi yang terjadi dua hari kemudian.
Pada 16 Desember 1969, Soe Hok Gie, eksponen pergerakan mahasiswa Indonesia angkatan ‘66, tewas setelah menghirup gas beracun di pucak Gunung Semeru. Hok Goe tutup usia beberapa jam menjelang ulang tahunnya yang ke-27. Dalam kecelakaan maut itu, seorang pendaki lainnya, Idhan Dhanvantari Lubis, juga ikut menjadi korban.
Obrolan untuk mendaki Gunung Semeru muncul pertama kali dalam dalam catatan harian Hok Gie yang diterbitkan ke dalam buku Catatan Seorang Demonstran (2019: 347). Pada 28 November 1969, dia mengusulkan bahwa dalam pendakian kali ini mereka akan mengajak seorang kawan perempuan bernama Rina. Sayangnya, seperti halnya perempuan-perempuan sebelumnya yang didekati Hok Gie, Rina tidak mendapat restu dari keluarganya.
“Naik gunung, bergaul dengan Hok Gie, rupa-rupanya tidak sesuai dengan proyeksi tante-tantenya [Rina],” tulisnya pada 8 Desember 1969. Itu adalah catatan harian terakhirnya.
Hari-Hari Terakhir Seorang Demonstran
Hari kedua Lebaran, tepatnya pada Jumat, 12 Desember 1969, pukul 06.00, tim Mapala FS-UI sudah berkumpul di Stasiun Gambir. Mereka terdiri dari enam anggota Mapala dan dua mahasiswa dari kampus lain, dengan Herman Onesimus Lantang sebagai ketua rombongan.
Meski Herman pimpinannya, Soe Hok Gie tetap menjadi sosok yang cukup menonjol dalam tim. Gara-gara itu, keduanya sering berdebat soal jalur pendakian dan lokasi tenda yang akhirnya diputuskan dengan cara yang aneh. Mereka sepakat akan mendaki bersama-sama tapi memilih tempat berkemah sendiri-sendiri.
“Malam pertama kami lewati di dusun kecil di dataran tinggi, namun kedelapan anggota tim terpencar di dua lokasi perkemahan, karena masing-masing pihak berpegang pada beberapa prinsip sepele namun menjadi bertele-tele karena mau menang sendiri,” kenang Rudi Badil dalam Soe Hok Gie Sekali Lagi: Buku, Pesta, dan Cinta di Alam Bangsanya (2009: 12). Saat itu, Badil merupakan mahasiswa persiapan Antropologi FS-UI yang rencananya akan dilantik ke dalam Mapala.
Hanya berbekal informasi dari buku dan peta Belanda tahun 1928, mereka membuat iring-iringan dengan naik-turun jurang melewati Kali Amprong, merambah padang ilalang, dan lumpur hitam bekas kebakaran hutan. Sebelumnya, Hok Goe sempat ngotot pada usulannya melewati jalur pendakian yang jarang dilalui orang. Dia menolak mengikuti jejak tim mahasiswa UI yang lebih dulu mendaki Semeru pada tahun 1967 dan 1968.
“Makanya tim kita lewat jalur Ayek-Ayek yang jarang dilewati tim orang lain,” kata Badil menirukan Hok Gie.
Badil mengisahkan suasana pendakian saat itu yang kerap terjadi ketegangan, khususnya antara Herman yang dia juluki “Jenderal Batu” dengan Hok Gie yang “Cina Kecil Berpikiran Besar.” Tetapi tidak sedikit pula canda dan tawa yang pecah setiap kali mereka meluruskan kaki di antara tebing dan hutan. Hok Gie, menurut Badil, merupakan orang yang paling ceria dan banyak omong dalam rombongan.
“Ingat, Dil. Elo harus punya kepribadian, ya!” kata Hok Gie kepada Badil. Sebelum mulai mendaki, Hok Gie bahkan menyamakan pendakian saat itu dengan kegiatan plonco di hutan gunung supaya Badil lebih dewasa dan mau mengurangi kegiatan dansa-dansi.
Setelah melewati hutan lumpur, masih dikisahkan Badil, tiga pentolan pendaki gunung: Hok Gie, Herman, dan Aristides, sepakat jalan bertiga mencari jalur rintisan ke Recopodo yang mengarah ke Puncak Semeru. Sementara Badil dan empat orang lainnya disuruh mengaso sambil mengawasi jika ada macan tutul yang menganggu perkemahan.
Untuk kesekian kalinya, malam hari mereka bisa beristirahat tanpa disertai debat alot yang menguras tenaga atau percakapan tentang membuat tempat berkemah mandiri. Hok Gie dengan percaya diri mengumumkan bahwa lusa dirinya akan berulang tahun, tepatnya pada tanggal 17 Desember. Dia berharap bisa merayakannya di puncak gunung, salah satu tempat yang disukainya.
“Gimana ya, seharusnya gua mau berulang tahun di tanah tertinggi di Pulau Jawa,” kata Hok Gie di tengah ketujuh rekannya yang malah menjadikan mimpi kecilnya itu bahan gurauan.
Setelah pajang lebar memberikan “kuliah” sejarah dan legenda Puncak Semeru dan Recopodo, Hok Gie bersemangat mengajak rekan-rekannya menyanyikan lagu Nobody Knows the Trouble I've Seen yang bercerita tentang budak kulit hitam pemetik kapas di Amerika Serikat. Meskipun suaranya pas-pasan, tetapi dia selalu menyanyikannya dengan lantang dan percaya diri.
Itu adalah malam terakhir Hok Gie bergurau bersama kawan-kawannya. Keesokan harinya, mereka berangkat menuju Recopodo. Di ketinggian sekitar 3.300 meter di atas permukaan laut, mereka menjumpai tempat agak datar terakhir sebelum perjalanan ulang-alik ke Puncak Mahameru. Rombongan kembali dibagi menjadi dua kelompok, kelompok Hok Gie dan kelompok Herman yang naik berdua bersama anak didiknya, Idhan Lubis.
Hok Gie tiba di puncak lebih dulu ketimbang Herman dan memilih tinggal lebih lama karena ingin menunggu Herman yang tertinggal di belakang. Cuaca saat itu tidak bersahabat. Hujan kecil hampir selalu mengguyur dari pagi hingga siang. Gerimis yang bercampur pasir kasar membuat suasana puncak terasa miris dan agak mengerikan.
Sebelum kawan-kawannya turun, Hok Gie sempat menitipkan batu dari kawah Semeru dan daun cemara untuk diberikan kepada cewek-cewek di kampus UI di Rawamangun. Dia lantas duduk dengan kaki terlipat di dada dan tangan menopang dagu.
Saat itulah Hok Gie dan Idhan, yang datang belakangan bersama Herman, menghirup gas beracun yang massanya lebih berat daripada oksigen. Seperti dituturkan Herman dalam Gie dan Surat-Surat yang Tersembunyi (2019: 98), mereka berdua sudah lemas sebelum mengetahui bahwa kawah Jonggring Seloko di Puncak Gunung Semeru menyemburkan gas beracun yang tidak terlihat atau berbau.
“Tahu-tahu dia enggak ngomong, menggelepar,” ujarnya. Herman buru-buru mengecek denyut nadi Hok Gie. Malang, pemuda yang dikenal lantang mengkritik pemerintah pada awal Orde Baru itu sudah wafat.
Soe Hok Gie, seperti dicatat dalam buku Soe Hok Gie: Zaman Peralihan (2005: 293), meninggal dalam kegelisahan. Dia menghadapi kenyataan bahwa teman-teman aktivis mahasiswanya sesama tokoh angkatan ‘66, gemar memburu hal-hal yang bersifat duniawi ketimbang menyatukan pikiran pasca-perubahan. Sebelum berangkat mendaki Semeru, Hok Gie bahkan sempat mengirimkan kosmetik, kain sarung, dan kebaya kepada sejumlah wakil mahasiswa di DPR-RG sebagai bentuk sindiran.
“Semoga anda makin tampil manis di mata pemerintah,” pesannya kepada teman-teman aktivisnya.
Editor: Irfan Teguh