tirto.id - Sekitar dua minggu sebelum tewas gantung diri di kamar tidur, Robin Williams berdiri 'mematung' di depan kaca yang menggantung dalam kamar mandi rumahnya.
Kala itu, ia berkaca lama-lama. Lebih lama dibanding mereka yang bercermin untuk sekadar mengecek kerapian rambut dan wajah.
Istri Williams, Susan Schneider, tadinya tidak merasa ada yang aneh dengan tindakan itu. Ia paham bahwa suaminya kerap berada dalam posisi 'mematung' karena penyakit yang diderita membuat Williams sulit menggerakkan tubuhnya.
Kepanikan muncul kala Schneider lebih lama mengamati Williams dan melihatnya mengelap darah yang mengucur dari dahi. Saat itu, barulah Schneider mengerti bahwa sang suami telah melakukan aksi menyakiti diri sendiri dengan membentur-benturkan kepala ke sudut pintu.
"Aku melakukan tindakan keliru,” kata Williams, sebagaimana dicatat Dave Itzkoff, penulis "Inside The Final Days of Robin Williams" yang terbit di Vanity Fair pada 8 Mei 2018.
"Dia sangat kesal dengan tubuh dan pikirannya sendiri yang bikin ia merasa sakit. Dia sangat marah," ucap Schneider kepada Itzkoff.
Bulan-bulan menjelang kematian Williams adalah momen yang teramat berat. Sang komedian semakin sulit bicara karena tidak sanggup menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan maksudnya; gangguan insomnia yang ia derita kian menjadi-jadi; tubuhnya semakin kaku; dan ia sering kebingungan.
"Dalam semenit, ia nampak seperti orang normal yang bisa menyampaikan maksud perkataannya dengan jelas. Lima menit kemudian, ia tidak tahu apa-apa dan kebingungan," tutur Schneider dalam "The Terrorist Inside My Husband Brain" (2016) yang terbit dalam jurnal Neurology.
Kelak, setelah diotopsi, Williams dipastikan mengalami Lewy Body Dementia penyakit degeneratif yang menyebabkan penurunan fungsi otak. Hal ini menyebabkan sang aktor kesulitan mengontrol gerak tubuh. Robin dinyatakan sebagai penderita terparah LBD karena ia mengalami seluruh gejala penyakit mulai dari paranoid, parkinson, depresi, hingga halusinasi. Kasusnya dijadikan studi terkait penyakit ini
Tidak ada yang tahu pasti sejak kapan Williams mulai menderita LBD. Yang jelas, pada 2013 sang aktor divonis menderita gangguan Parkinson. Pada kenyataannya, gejala yang ia alami sehari-hari lebih parah dari penderita penyakit tersebut.
Schneider bercerita bahwa suaminya sempat mengira penyakitnya adalah Alzheimer atau Skizofrenia. Tapi, beberapa dokter yang mereka datangi menyatakan Williams tidak mengidap penyakit tersebut.
Sang aktor pun tetap berupaya menjalani rutinitas syuting. Proyek terakhirnya ialah Night at The Museum 3 dan The Crazy Ones. Meski demikian, aktivitas tersebut tak bisa lagi ia lakukan dengan sempurna.
"Saat proses syuting Night at The Museum 3, dia beberapa kali menelepon dan bilang tak sanggup menghafal naskah," tulis Schneider.
Kawan-kawan Williams berusaha menghibur dengan memintanya datang ke sebuah kafe untuk melakukan salah satu hobinya:Stand-up comedy. Sang aktor merespons ajakan tersebut dengan tangis dan perkataan bahwa ia tidak tahu lagi bagaimana cara melucu.
Momen itu bikin Schneider merasa 'kehilangan' sosok Williams, seorang suami dan aktor brilian yang sebelumnya sanggup menghafal ratusan halaman dialog tanpa kesalahan.
Legenda Komedi
Williams masuk ke ranah hiburan pada akhir dekade 1970an. Peoplemelaporkan bahwa ia adalah putra tunggal dari seorang pejabat tinggi di perusahaan otomotif Ford. Williams menghabiskan masa kecil dan remajanya dengan gaya hidup mewah.
Ia mengenyam pendidikan akting di sekolah ternama, Juilliard, dan memutuskan untuk jadi komedian setelah lulus.
Mulanya, ia tampil di bar tempatnya bekerja sebagai bartender. Pada 1978, Williams mendapat peran dalam serial komedi Mork and Mindy. Serial itu bikin Williams populer dan diperhitungkan sebagai komedian terbaik AS. Sejak itu, kariernya terus menanjak dan sejumlah filmnya dikenang sampai hari ini, bahkan oleh kalangan milenial.
Jurnalis TimeMegan Gibson punya beberapa alasan mengapa Williams dipuja oleh milenial seperti dirinya. Sebagai perempuan yang lahir pada 1984, ingatan terkuat Gibson tentang Williams adalah ketika ia menjadi pengisi suara untuk karakter Genie (jin) dalam film animasi Aladdin (1992) dan ketika menjadi salah satu aktor dalam Mrs. Doubtfire (1994).
Gibson merasa Genie adalah penghibur yang membuat Aladdin jadi film yang tak membosankan untuk ditonton berulang kali. Pendapat Gibson ini sejalan dengan Shauna Murphy, jurnalis MTV yang berpendapat Genie adalah salah satu peran terpenting Williams.
"Lewat karakter Genie, ia tidak memerankan manusia dan bisa mengeksplorasi imajinasinya sedalam mungkin. Dia sangat menikmati peran itu karena mampu membuat banyak anak tertawa dan mampu memberi pesan implisit bahwa setiap anak berhak menjadi apapun yang mereka inginkan," catat Murphy.
Sementara itu, dalam Mrs.Doubtfire, Gibson mengatakan bahwa Williams mampu memukau penonton dengan kemampuan aktingnya.
"Williams membawakan setiap dialog dalam Mrs.Doubtfire dengan apa adanya. Meski Williams juga berprofesi sebagai komedian, ia tidak serta-merta menuangkan karakternya sebagai seorang komedian dalam film tersebut," sebut Gibson.
"Film itu tetap terasa seperti film anak-anak. Namun, ia juga berhasil memberi pesan yang mengena tentang anak-anak yang terpaksa melihat kedua orang tuanya pisah. Film itu nyaman ditonton berkali-kali.”
Gibson cukup bangga bahwa sepanjang 1990an, ia dan kawan-kawan seusianya dihibur oleh berbagai karakter Williams dalam Jumanji, Flubber, Bicentennial Man, dan Hook.
"Lalu muncul Dead Poets Society. Film ini termasuk salah satu film yang dikultuskan oleh anak-anak tahun 1990an. Sampai sekarang aku masih ingat dialog Williams, 'But poetry, beauty, romance, these are what we stay alive for.’”
Juli lalu, penulis Guardian, Luke Buckmaster mengenang 30 tahun Dead Poets Society. Bagi Buckmaster, peran Williams dalam film itu bagai penyemangat bagi anak-anak muda agar berani meraih mimpi dan hal itu sanggup menghasilkan dampak yang cukup signifikan bagi para penikmat film.
"Carpediem. Seize the day, boys. Makes your live extraordinary." Di mata Buckmaster, dialog dalam Dead Poets Society tersebut punya potensi untuk memotivasi dan menggerakkan orang-orang yang mendengarnya.
Beberapa waktu setelah divonis sakit, Williams merasa melucu bisa jadi penghiburan. Beruntung kala itu ia bisa meneken kontrak membintangi serial komedi The Crazy Ones. Episode pertama acara tersebut mendapat sambutan positif dari masyarakat. Sayangnya, rating acara terus menurun seiring waktu dan akhirnya terpaksa diberhentikan.
Williams pasrah menghadapi keputusan itu. Berakhirnya The Crazy Ones beriringan dengan menurunnya kemampuan akting Williams. Namun, selama penggarapan The Crazy Ones, seluruh kru dan kawan-kawan Williams sesungguhnya merasa sang aktor tidak seperti biasanya.
"Ada yang salah. Ia nampak datar. Ia kehilangan kharismanya," kata Pam Dawber, lawan main Williams di Mork and Mindy, masih dari Vanity Fair.
Saat itu, teman-teman Williams–termasuk kawan dekatnya, Billy Crystal–tidak tahu persis tentang kondisi kesehatan mental sang aktor. Yang mereka tahu, Williams mengidap depresi.
Ayah tiga anak itu memang lebih suka merahasiakan keresahannya. Termasuk keresahan yang membuat ia memutuskan untuk mengakhiri hidup pada tanggal ini lima tahun lalu, 11 Agustus 2014.
"Sungguh ia nampak baik-baik saja pada malam sebelum ia bunuh diri. Ia membawa iPad dan memutuskan menonton juga mendengar lagu dari benda tersebut. Aku pikir itu pertanda baik. Tapi, ternyata tidak demikian," kata sang istri, Scheinder, yang sangat terkejut dan sedih ketika menemukan sang suami tewas gantung diri di kamar pribadinya.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara