tirto.id - "Telur lagi mahal. Naik terus. Masak seminggu bisa naik tiga kali berturut-turut, Rp27 ribu, besoknya Rp28 ribu, naik lagi jadi Rp29 ribu per kilogram.”
Keluhan tersebut keluar dari mulut Anna (32), warga Karet Kuningan, Jakarta Selatan, kepada Tirto, Rabu (11/7/2018). Ia terakhir kali belanja telur di Pasar Mencos, Setia Budi, Jaksel dengan harga Rp29 ribu per kilogram.
Hal serupa dialami Sri (54), warga Lentang Agung, Jakarta Selatan. Sri mengeluhkan harga telur yang naik drastis usai Lebaran. Sri mengaku dirinya terakhir kali membeli telur di Pasar Lenteng Agung, Selasa (10/7/2018) dengan harga Rp30 ribu per kg. Padahal sebelum hari raya kemarin, harganya Rp25 ribu.
Harga telur yang melonjak tinggi tidak hanya terjadi di ibukota, tetapi juga di pasar-pasar tradisional di sejumlah daerah. Diyah (49), warga Semarang, Jawa Tengah, mengatakan saat ini harga telur di Pasar Kompleks Perumahan Semarang Timur dan Pasar Desa Wonosekar, Karangawen adalah Rp29-30 ribu per kg. Padahal saat Lebaran kemarin, harga telur di tempat yang sama berada di kisaran RpRp24-25 ribu. Ada kenaikan harga hingga Rp5 ribu per kg.
“Namanya masyarakat, setiap ada kenaikan pasti mengeluh ya. […] Kalau untuk kalangan pembeli rumah tangga enggak terlalu berat karena bisa disiasati. Tapi, kalau untuk konsumen kalangan usaha rumahan mungkin lebih merasa berat,” kata Diyah kepada Tirto.
Harga-harga yang disebut Anna, Sri, maupun Diyah semakin menjauhi harga acuan yang ditetapkan pemerintah. Berdasarkan Permendag Nomor 58 tahun 2018 tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen [PDF], yakni Rp22 ribu per kg di tangan konsumen. Sementara itu, harga acuan pembelian di kalangan produsen terdiri dari batas bawah Rp17 ribu dan batas atas Rp19 ribu per kg.
Harga acuan itu kontras dengan data ihwal harga di lapangan. Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, Rabu (11/7/2018) jauh di atas harga acuan. Lima daerah dengan rata-rata harga telur tertinggi misalnya, Maluku Utara Rp37.850 per Kg, Papua Rp35.500 per Kg, Papua Barat Rp30.700 per Kg, dan Nusa Tenggara Timur Rp30.600 per Kg, dan Banten Rp29.750 per Kg.
Ketua Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI), Abdullah Mansuri mengonfirmasi hal itu. Berdasarkan data lembaganya, harga rata-rata nasional adalah Rp28 ribu per kg, tapi di beberapa daerah ada yang Rp29-30 ribu. Menurut Abdullah, tren kenaikan telur tersebut bisa saja bertahan lama apabila tidak ada terobosan kebijakan yang diambil oleh pemerintah, khsusunya Kementerian Perdagangan.
Penyebab Harga Melambung Tinggi
Untuk menurunkan harga telur, kata Abdullah, caranya sama dengan meningkatkan produktivitas ayam petelur. Ia berkata, beberapa bulan terakhir ini ketersediaan telur memang tidak sebanyak tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah menurutnya perlu melakukan kajian menyeluruh mengenai produksi telur, mulai dari pemeliharaan ayam petelurnya, ketersediaan pakan ayam, produktivitas ayam untuk menghasilkan telur, hingga tahap distribusinya.
“Itu perlu dievaluasi atau pemerintah berusaha membangun sendiri sistem produksi ayam dan telur,” kata Abdullah.
Pemerintah, kata dia, bisa mendirikan perusahaan BUMN yang menangani tata niaga telur dan ayam, seperti Bulog yang menangani beras. “Perlu ada intervensi langsung pemerintah berupa penyediaan kebutuhan-kebutuhan yang ada di dalam produksi telur dan ayam. Seperti pembuatan pabrik pakan ayam dan penggemukan-penggemukan ayam peternakan. Saat ini pemerintah tidak bisa intervensi ke pengusaha langsung,” kata Abdullah.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Peternak Layer Nasional (PLN), Musbar mengatakan, ada tiga substansi pokok penyebab harga telur itu melambung, yaitu produktivitas ayam turun, harga pakan naik, dan munculnya segmen konsumen baru.
Musbar berkata, produktivitas ayam dalam negeri dalam dua tahun terkahir ini tidak pernah mencapai top produksi. Top produksi biasanya hanya sekitar 80-90 persen. “Baru naik sedikit sudah kehantam turun mendadak jadi 40 persen. Pulih maksimalnya 60-an persen,” kata Musbar.
Saat ini menurutnya ada penyusutan jumlah ayam (deplesi) di dalam negeri sekitar 20 persen. Sebelum dua tahun ini, biasanya tingkat penyusutan ayam mencapai 8-10 persen.
Selain soal produktivitas, harga pakan yang tinggi juga menjadi penyebab. Dia menjelaskan, peternak terpaksa menjual induk ayam disebabkan pula oleh kenaikan harga pakan ternak yang mencapai 30 persen komponen pakan didapat dari impor.
“Para peternak banyak yang kemudian, 'apkir aja ayamku karena biaya pakannya mahal'. Di satu sisi, peternak enggak berpikir [bahwa] begitu ayamnya diapkir, suplai telurnya juga turun,” kata Musbar.
Sejak Maret 2018, semua bahan baku pakan impor seperti bungkil kedelai, soy been meal, meet bone meal, mengalami kenaikan.
Belum lagi faktor melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sejak April lalu. Hal ini, kata Musbar, mempengaruhi meningkatnya harga pakan, biaya produksi telur, dan harga penjualan. “Dengan dolar naik, harga pakan naik. Yang tadinya biaya pakan 60 persen dari total biaya produksi, sekarang biaya pakan jadi 70 persen,” kata Musbar.
Harga pakan saat ini sekitar Rp48-49 ribu per kg. Ada kenaikan Rp5 ribu per kg dari semula. Artinya, kata Musbar, harga pokok produksi naik menjadi sekitar Rp19.800 per 1 kg telur. Sementara harga farm grade yang ditetapkan Permendag Nomor 58/2018 adalah Rp18 ribu. Harga tingkat peternak (farm grade) adalah harga jual di tingkat peternak kepada pedagang.
“Artinya, biaya pokok kami lebih tingi dari farm grade-nya. Kalau kami jual dengan harga pokok farm grade, sudah ada selisih Rp1.800 per Kg. Belum lagi ada kenaikan harga BBM, tol segala macam," kata Musbar.
Pemerintah: Kenaikan Harga Hanya di Wilayah Tertentu
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengakui kenaikan harga telur di sejumlah wilayah beberapa waktu terakhir disebabkan melonjaknya harga pakan ayam petelur serta melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Dalam konteks ini, Mendag Enggartiasto mengatakan pihaknya sudah berkomunikasi dengan pelaku industri dan perkumpulan pedagang telur untuk memetakan masalah kenaikan harga produksi tersebut. “Nanti akan terus kami intensifkan, berapa sih marginnya yang tertekan,” kata dia, seperti dikutip Antara, Rabu (11/7/2018).
Sementara itu, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Tjahya Widayanti mengatakan pihaknya berharap harga telur yang naik tinggi di sejumlah daerah kembali normal sesuai aturan Kementerian Perdagangan dalam Permendag 58/2018.
"Mudah-mudahan tidak lama lagi akan normal," kata Tjahya saat dikonfirmasi Tirto, Rabu (11/7/2018).
Sayangnya, Tjahya tidak menerangkan langkah yang akan diambil, kendati ia tahu kenaikan harga telur secara dominan dipengaruhi oleh kenaikan pakan ternak. “Saya sedang komunikasi dengan peternak, sepintas disampaikan [kenaikan harga telur] karena pakan,” kata Tjahya.
Alih-alih menjawab soal solusi yang akan diambil pemerintah, Tjahya mengklaim kenaikan harga telur saat ini tidak terlalu tinggi. “Di catatan saya, secara nasional harga tidak begitu naik. Mungkin hanya di beberapa wilayah saja,” kata Tjahya.
Saat disinggung soal data PIHPS Nasional yang menunjukkan harga rata-rata telur di sejumlah provinsi wilayah timur Indonesia, seperti Maluku Utara, Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur yang cukup tinggi, berkisar Rp30.600 hingga Rp37.850, Tjahya menyebut, hal itu bisa terjadi karena biaya transportasi dalam distribusi.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Abdul Aziz