Menuju konten utama

Harga BBM di Tahun Politik

Tepatkah langkah pemerintah menahan laju harga minyak di tahun politik? Apa risikonya?

Harga BBM di Tahun Politik
Thonthowi Djanuari, rekanan pendiri Indonesia Energy and Enviromental Institute (IE2I). Tirto/Sabit

tirto.id - Barangkali tak ada sumber daya alam selain minyak yang pengaruhnya sangat kuat dalam politik abad 20. Pemerintah bisa jatuh dari imbas harga minyak yang naik—atau saat menasionalisasi industri minyak. Di tempat lain, pergolakan massa melambungkan harga minyak. Ada masanya pula kombinasi krisis politik dan perang di luar negeri memaksa pemerintah mengambil tikungan tajam.

Salah satu yang paling fenomenal adalah embargo minyak dari negara-negara Arab ke Amerika Serikat dan sekutunya pada 1973, menyusul Perang Arab-Israel. Embargo diikuti pengurangan produksi minyak di sejumlah negara Timur-Tengah.

Akibat embargo tersebut, pertama kali sejak Perang Dunia II Amerika Serikat mengalami kemerosotan pasokan bahan bakar impor. Impor minyak AS dari Timur Tengah turun tajam dari 1,2 juta barel per hari menjadi 19 ribu barel per hari.

Inflasi dan angka pengangguran pun membengkak di AS. Tak sedikit sekolah, kantor, dan pabrik yang berkali-kali ditutup untuk menghemat mesin pemanas ruangan yang menggunakan BBM. Waktu itu Bursa Efek New York menderita kerugian sekitar 97 miliar dolar AS.

Pada tahun-tahun inilah Menteri Luar Negeri AS Henry Kissinger melontarkan pernyataan terkenal: ”Dengan mengontrol minyak, Anda akan mengontrol suatu negara. Dengan mengontrol pangan, Anda akan mengontrol rakyat.”

Menghadapi situasi itu, Kissinger mengajukan proposal Project Independence. Tujuannya agar sektor energi Amerika Serikat bisa independen dari faktor-faktor eksternal.

Pada 2000-an independensi Amerika Serikat terhadap produsen minyak kian menguat seiring teknologi untuk mengambil minyak dan gas serpih (shale oil and gas) berhasil diaplikasikan. Untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri, AS tak lagi bergantung pada minyak dari negara-negara Timur Tengah.

Berbeda dari krisis minyak 1973, negara-negara Timur Tengah justru menggenjot produksi minyak. Mereka sengaja membanjiri pasar dengan pasokan yang melebihi permintaan. Mereka tak ingin Amerika Serikat menikmati keuntungan dari produksi minyak dan gas serpih, karena tingginya harga minyak.

Setelah mencapai harga di atas 100 dolar AS per barel pada 2011, harga minyak terus merosot tajam dan bertahan hingga awal 2016 menjadi di bawah 30 dolar AS per barel. Industri hulu migas pun lesu.

Namun, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak Mentah (OPEC) yang mayoritas adalah negara-negara Timur Tengah rupanya tak tahan dengan harga rendah dalam waktu cukup lama. Mereka lantas memangkas pasokan. Produsen migas besar lain seperti Rusia turut melakukannya. Efeknya, sejak paruh kedua 2016, harga minyak kembali terkerek. Dan pada awal Maret ini harganya menyentuh 65 dolar AS per barel.

Pengaruh terhadap Indonesia

Naik-turun harga minyak dunia berpengaruh besar di Indonesia. Apalagi Indonesia belum sekuat Amerika Serikat untuk independen dari faktor eksternal di sektor energi. Ketika terjadi krisis minyak pada 1973, Indonesia justru mendapatkan keuntungan besar dari ekspor minyaknya.

Namun, 35 tahun kemudian, Indonesia justru ngos-ngosan ketika harga minyak mencapai rekor tertinggi, 147 dolar AS per barel. Maklum saja, produksi minyak dalam negeri terus merosot dan Indonesia justru menjadi net importir karena sudah harus mengimpor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pada 2008, pemerintah terpaksa menaikkan harga BBM karena APBN 2008 menetapkan harga minyak "hanya" 95 dolar AS per barel.

Setelah keputusan tersebut, muncul gejolak politik di dalam negeri. Unjuk rasa terjadi di mana-mana. DPR lantas membentuk panitia khusus untuk menggunakan hak angket guna menyelidiki kebijakan pemerintah tersebut. Saat itu salah satu hasil rekomendasi panitia angket adalah perlu revisi UU Migas. Inisiatif revisi UU Migas dari DPR hingga kini tak juga rampung.

Keputusan pemerintah menaikkan harga BBM memang hampir selalu memicu aksi demonstrasi. Maklum, harga energi, khususnya harga BBM, berpengaruh besar terhadap kemaslahatan masyarakat luas yang masih sangat tergantung BBM.

Melihat pengalaman tersebut, banyak kalangan yang memprediksi Presiden Joko Widodo tak akan menaikkan harga BBM pada 'tahun politik' 2018. Pada tahun ini Indonesia menggelar 171 pemilihan kepala daerah dan pendaftaran calon presiden. Kenaikan harga BBM diperkirakan akan menambah riuh situasi politik dan berpotensi mengganggu stabilitas.

Perkiraan ini terbukti. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan akhirnya mengumumkan bahwa pemerintah tak akan menaikkan harga BBM, juga listrik, hingga 2019. Kenaikan harga baru akan dipertimbangkan jika harga minyak dunia sudah di atas 100 dolar AS per barel. Sebagai menteri teknis, Jonan tidak memasukkan pertimbangan tahun politik di balik keputusan tersebut. Keputusan ini semata-mata didasari pertimbangan daya beli masyarakat.

Pertimbangan utama tersebut banyak benarnya. Naiknya harga BBM dan listrik diperkirakan akan melemahkan daya beli masyarakat, lantaran kemungkinan naiknya harga-harga barang.

Strategi Pengaturan BBM di Tahun Politik

Keputusan berat tersebut layak diapresiasi, mengingat diambil di tengah kondisi finansial PT Pertamina dan PT PLN yang tidak bisa dibilang menggembirakan. Apalagi, dua BUMN tersebut pada saat yang sama harus menjalankan agenda strategis pemerintah yakni "BBM Satu Harga" dan pembangunan kilang untuk Pertamina. Ada juga target elektrifikasi 99,9 persen dan pembangkit 35.000 MW untuk PLN.

Di sisi lain, agaknya Menteri Jonan sudah menyiapkan exit strategy menghadapi situasi pelik tersebut. Pertamina, misalnya, diberi hak untuk mengelola blok-blok migas yang habis masa kontrak. Salah satu blok migas besar yang pengelolaannya sudah beralih ke Pertamina adalah Blok Mahakam, yang sebelumnya dikelola oleh Total E&P Indonesie. Sementara delapan blok migas lagi yang rencananya akan diberikan kepada Pertamina adalah Blok Ogan Komering, Blok Sanga-sanga, Blok Tuban, Blok Tengah, Blok East South East Sumatera, Blok East Kalimantan, Blok NSO, dan Blok Attaka.

Dengan sejumlah aturan baru yang diterbitkan pemerintah, PLN pun kini bisa membeli energi primer untuk pembangkit listrik dengan harga lebih murah dibanding sebelumnya. Menteri Jonan telah menetapkan harga batubara untuk listrik nasional senilai 70 dolar AS per ton. Ketika harga batubara naik, seperti Maret ini yang sudah menembus 100 dolar AS per ton, PLN tetap membelinya dengan harga 70 dolar AS per ton.

Pemerintah juga sudah berjanji akan menghitung risiko yang harus ditanggung APBN akibat naiknya subsidi terhadap harga BBM dan listrik. Kenaikan subsidi tentu akan mengubah postur APBN. Rencananya, besaran subsidi akan diajukan ke Komisi VII DPR untuk dimintakan persetujuan.

Dengan harga Solar Rp 5.550 per liter, saat ini pemerintah masih menyubsidi Rp500 per liter. Tahun ini alokasi solar subsidi mencapai 16 juta kilo liter (kl) dengan anggaran Rp7 triliun. Pemerintah mengusulkan ke DPR agar subsidi solar naik Rp500 menjadi Rp1.000 per liter.

Sedangkan untuk subsidi gas LPG (liqufied petroleum gas) 3 kg tetap Rp7.008 per kg untuk volume 6,45 juta kg. Subsidi BBM jenis premium juga tetap. Adapun subsidi listrik akan diusulkan bertambah, karena ada penambahan jumlah pelanggan baru yang menjadi golongan pelanggan bersubsidi 450 volt-ampere (va) dan 900 va.

Jika semua terkendali, stabilitas politik dan ekonomi yang diinginkan pemerintah kemungkinan besar akan terkendali pula—dalam artian, keuangan negara terbukti mampu menahan naiknya subsidi terhadap harga BBM untuk menjaga daya beli masyarakat. Dan suhu politik di tahun politik ini diharapkan lebih sejuk jika "gorengan politik" tak mendapatkan “tambahan minyak” dari naiknya harga BBM.

Tentu hanya waktu yang akan membuktikan apakah risiko tersebut, dengan tak menaikkan harga BBM ini, sepadan dengan stabilitas politik dan ekonomi yang ingin dijaga pemerintahan Jokowi hingga 2019.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.