Menuju konten utama

Harapan Baru Kesembuhan bagi Pasien Hepatitis C

Kini, ada harapan bagi orang dengan hepatitis C memperoleh kesembuhan dengan harga lebih murah.

Harapan Baru Kesembuhan bagi Pasien Hepatitis C
Peserta demo membawa poster protes atas dugaan pemonolin obat-obat Hepatitis C di depan Kantor BPOM, Jakarta, Kamis (27/7). tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - Orang dengan hepatitis C harus rela kehilangan banyak uang demi menghilangkan HCV (virus hepatitis C) di tubuhnya. Tak hanya uang, banyak waktu tersita untuk pengobatan, tapi sehat belum tentu didapatkan. Kini, harapan baru muncul. Mereka tak perlu menyerah karena biaya, atau efek samping yang membikin depresi, karena era Direct Acting Antiviral (DAA) telah tiba.

Sudah setahun Ferry melakukan pengobatan Hepatitis C menggunakan ribavirin dan interferon. Setiap seminggu sekali, ia harus pergi ke dokter untuk menyuntikkan cairan interferon. Setiap hari, setidaknya ia harus minum ribavirin pagi dan sore hari. Bukan hanya berjuang untuk tetap konsisten melakukan pengobatan, Ferry juga harus berjuang melawan efek-efek obat yang dikonsumsinya.

“Kombinasi obat tersebut bikin kita depresi dan moody. Saya jadi cepat lelah dan kurang bisa mengatur emosi. Semua orang diajak berantem,” cerita Ferry kepada Tirto, Jumat (4/11/2017).

Pernah sekali waktu ia menghajar orang hanya karena disalip saat mengendarai motor. Ia sadar, amarah dan depresinya dapat berpengaruh buruk ke lingkungan pekerjaan dan sosial. Makanya, ketika sedang intensi menggunakan ribavirin dan interferon, Ferry memutuskan mengundurkan diri dari pekerjaan.

Baca juga: Menangkis Hepatitis

Kendati demikian, harapan sembuh hanya di kisaran60 persen, bahkan kurang. Benar saja, meski HCV di tubuhnya sempat tak terdeteksi, di masa akhir pengobatan virus tersebut muncul kembali.

“Udah capek-capek berobat setahun, eh nggak sembuh juga,” keluhnya.

Mungkin Ferry masih cukup beruntung karena seluruh pengobatannya tak dipungut biaya. Ia adalah salah satu pasien “uji coba” ribavirin dan interferon. Tapi, orang-orang dengan hepatitis C selain Ferry bisa mengeluarkan uang hingga Rp 120 juta dalam setahun hanya untuk pengobatan interferonnya saja.

Irsan Hasan, SpPD-KGEH, Ketua Peneliti Hati Indonesia (PPHI) menjelaskan, pemberian interferon dilakukan seminggu sekali. Dengan biaya sekali suntik Rp 2,5 juta, maka dalam sebulan, pasien harus mengeluarkan biaya Rp 10 juta hanya untuk interferonnya saja.

Selain itu, untuk mengontrol hasil pengobatan, pasien masih harus melakukan tes HCV guna mendeteksi keberadaan antibodi terhadap virus hepatitis C dalam darah. Juga tes HCV RNA untuk mengetahui tingkat keaktifan virus. Sekali tes HCV memakan biaya sekitar Rp 200 ribu, dan tes HCV RNA mencapai Rp 2,5 juta.

“Dan pengobatannya tidak boleh bolos, walau sehari. Makanya saya sering ajarkan ke pasien untuk suntik interferon sendiri,” terangnya dalam pelatihan mengenai Hepatitis C di Bogor, Jumat, (4/11/2017).

Baca juga: Hepatitis Lebih Mematikan dari TBC dan AIDS

Obat Baru, Harapan Baru

Di Asia Tenggara, diperkirakan terdapat 30 juta orang yang hidup dengan hepatitis C kronis. Setiap tahunnya, hepatitis C menyebabkan 500 ribu kasus baru dan 160 ribu kasus kematian. Sebanyak 75 persen penderita HCV bahkan tidak menyadari status mereka. Sementara di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar (Riskesda) 2013 memperkirakan ada sekitar 3 juta orang Indonesia mengidap virus ini.

“Hepatitis C menyerang liver yang tak memiliki saraf. Sehingga, meski dia rusak, tak ada keluhan apapun,” jelas Irsan.

Selama ini, pengobatan hepatitis C di Indonesia masih menggunakan interferon dan ribavirin yang mulai ditinggalkan di sejumlah negara. Selain karena tingkat kesembuhannya kecil, obat ini juga membikin depresi, batuk, demam, ruam, mual, anoreksia, anemia, leukopenia, trombositopenia bagi penggunanya. Bahkan Irsan menceritakan salah satu pasiennya yang hampir bunuh diri akibat efek samping obat tersebut.

“Makanya jarang dokter berani kasih obat ini,” kata Irsan.

Infografik hepatitis c

Kabar gembira datang ketika Kementerian Kesehatan memberikan izin edar pada obat DAA pada 19 Oktober lalu. Ini merupakan obat oral yang memiliki masa terapi lebih pendek dibanding interferon, yakni sekitar 3-6 bulan. Selain itu, efek samping yang disebabkan oleh DAA dipercaya lebih rendah. Juga diyakini memiliki tingkat keberhasilan penyembuhan di atas 90 persen.

Jenis obat DAA yang kemudian jamak digunakan di Indonesia adalah kombinasi daclastavir dan sofosbuvir. Sebelumnya, obat ini hanya dapat diimpor terbatas dari India dengan Special Access Scheme (SAS) BPOM dan Kemenkes. Namun, sistem ini hanya diperuntukkan bagi perorangan dan untuk sekali pengiriman obat. Jika ingin membeli obat lagi, maka izin SAS harus kembali dibuat. Makanya, banyak orang dengan hepatitis C yang menyelundupkan obat ini langsung dari India.

Baca juga: Jadi Penyelundup demi Mengobati Hepatitis C

Harga obat DAA saat itu masih terbilang mahal, yakni $1000 per butir. Untungnya, saat proses perizinan digodok, Indonesia dikategorikan sebagai negara miskin yang memperoleh pengecualian dalam pembayaran paten obat. Sehingga harga yang didapat jauh lebih murah dibanding negara lain, seperti Singapura, misalnya.

“Pengobatan era DAA ini bisa didapat dengan dua cara. Gratis lewat program khusus di Kemenkes di 13 Rumah Sakit atau bayar sendiri Rp 6 juta per bulan,” terang Irsan.

Mendengar izin edar obat DAA telah masuk ke Indonesia, semangat Ferry yang pernah pupus karena kegagalan dengan interferon bangkit lagi. Kini ia tengah menjalani pengobatan dengan kombinasi daclastavir dan sofosbuvir untuk waktu enam bulan. Cukup lama dibanding teman-teman seperjuangannya. Sebab, hepatitis C yang diidap Ferry telah mencapai sirosis. Di level itu, hati sudah membentuk jaringan parut akibat kerusakan jangka panjang.

Baca juga: Mengendalikan Perangkap Monopoli Obat Paten

Hasilnya, selama dua bulan pengobatan, ia merasakan kondisinya mulai membaik. Ada beberapa indikasi yang memperlihatkan perbaikan yang diceritakan Ferry.

Misalnya, jumlah limfosit (sel darah putih yang berfungsi untuk menjaga kekebalan tubuh) di tubuhnya tak pernah kurang dari 600. Padahal, biasanya hanya berkisar di angka kurang dari 500. Pada orang normal, jumlah limfosit bisa mencapai 1500 per mililiter kubik darah. Berat badannya juga naik, dari hanya 57 kg menjadi 70 kg.

Baca juga artikel terkait HEPATITIS C atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Zen RS